Don’t Forget Me (Sequel)

DON’T FORGET ME (SEQUEL)

Cast:

  • Hyoyeon
  • Eunhyuk

Other Cast:

  • SNSD members
  • Super Junior members

Author: Park Ye Lin/ tatabrigita01

Annyeonghaseyo, author datang dengan sekuel Don’t Forget Me! Tadi author rencananya bikin one-shot yang lebih panjang, cuma karena kesibukan author, sekuel ini nggak selengkap yang author inginkan T^T Oke, happy reading!

~AUTHOR’S POV~

“Omona!”

“Apa? Apa?”

Kim Taeyeon tersenyum lebar sambil memandangi temannya. Dia menyikut Lee Sunny di sampingnya. “Sunny-ah, kakak iparmu ini cantik sekali, kan?”

Sunny manggut-manggut. “Untung saja Eunhyuk oppa memilih kau menjadi istrinya, Hyoyeon-ah.”

Kim Hyoyeon, yang sedari tadi duduk sambil mendengarkan Taeyeon dan Sunny, mengangkat bahu. “Ya, begitulah.”

“Berdiri!” kata Taeyeon, menarik tangan Hyoyeon sehingga yeoja pirang itu berdiri.

Hyoyeon berputar menghadap cermin. Spontan, mulutnya terbuka. Apa benar yeoja di cermin itu dirinya?

Rambut Hyoyeon yang pirang digelung ke belakang dan diberi hiasan jepit perak yang gemerlapan. Gaunnya yang berwarna putih adalah gaun tanpa lengan, dengan bagian bawah yang mengembang seperti kapas dan bertumpuk-tumpuk. Hyoyeon tidak percaya bahwa itu dirinya. Bagaimana bisa dirinya secantik itu?

“Aku akan melihat kakak-kakakku dulu,” kata Sunny setelah mengagumi penampilan calon kakak iparnya. Dia berjalan keluar ruangan, setengah melambai sebelum pintu benar-benar tertutup.

“Taeyeon-ssi,” Hyoyeon berkata setelah keheningan yang cukup panjang. “Kau tidak akan mengecek buketnya atau yang lain?”

Taeyeon mengerti bahwa itu adalah kode Hyoyeon, bahwa dia perlu waktu sendirian. “Tentu saja. 20 menit lagi, arraso? Kau akan turun 20 menit lagi dan menikah.” Dengan senyum lebar, dia melambai sebelum keluar dari ruangan.

Hyoyeon duduk kembali di kursinya, matanya mengedari seluruh ruangan. Pernikahannya dilaksanakan secara outdoor, di taman rumah keluarga Lee yang luas. Lee Sunny, adik perempuan Eunhyuk, yang memberi usul. Hyoyeon berada di kamar tidur Sunny untuk dirias sebelum pernikahan, tapi dia tidak tahu di mana Eunhyuk berada sekarang. Bukannya bertemu pengantin pria sebelum menikah dapat membuat sial?

20 menit.

Mungkin sudah berkurang.

Hyoyeon menarik napas dalam-dalam. Dia akan menikah sebentar lagi. Bagaimana kalau dia terjatuh ketika akan berjalan menuju altar? Bagaimana kalau banyak orang mengomentari penampilannya? Bagaimana kalau tidak ada yang datang ke pernikahannya sama sekali? Bagaimana kalau—

“Hyoyeon noona?”

Hyoyeon mendongak. Di ambang pintu, seorang namja berambut coklat memanggil namanya. Hyoyeon tersenyum ramah—atau setidaknya berusaha untuk tersenyum ramah.

“Ne, Kyuhyun-ssi?”

Lee Kyuhyun nyengir. “Noona tidak perlu memakai jondaemal denganku. Aku lebih muda, kan?”

“Aku tidak terbiasa dengan banmal,” Hyoyeon beralasan. “Ada apa?”

“Aku hanya ingin mengecek bahwa noona sudah di sini,” kata Kyuhyun kalem. “Biasanya pengantin yang panik akan kabur dari jendela… Tapi untungnya Eunhyuk hyung dan Hyoyeon noona tidak kabur.”

Hyoyeon tertawa. Adik kedua Eunhyuk ini memang konyol. “Tenang, aku baik-baik saja.”

Setelah mengatakannya, justru kepanikan itu lebih hebat. Hyoyeon sadar bahwa keringat mulai membasahi tengkuknya, dan dia bersyukur karena rambutnya digelung ke bawah.

Kyuhyun manggut-manggut, dan melihat jam tangannya. “Sepuluh menit lagi, noona. Aku akan pergi dulu ke bawah. Tenang saja, Eunhyuk hyung baik-baik saja. Semuanya sempurna sesuai rencana.”

Begitu Kyuhyun menutup pintu dan hilang dari pandangan, Hyoyeon menarik napas dalam-dalam. Tenangkan dirimu. Sebentar lagi semuanya akan berakhir. Kau akan baik-baik saja, kau akan baik-baik saja.

Pintu terbuka lagi. Kali ini Taeyeon yang berjalan masuk.

“Sepuluh menit lagi, ya?” tanya Taeyeon, tapi Hyoyeon tidak memberikan jawaban.

Taeyeon sudah membawa buket bunganya dan buket bunga Hyoyeon. Taeyeon dan Sunny adalah pengiring pengantin untuk acara pernikahan ini. Hyoyeon tidak mencemaskan soal siapa yang bakal bersinar lebih terang sewaktu berjalan menuju altar—dia lebih tinggi daripada kedua yeoja itu.

Tangan Hyoyeon gemetaran sewaktu Taeyeon memberikannya buket bunga mawar putih itu. Taeyeon tertawa. “Santai saja, Hyoyeon-ah.”

“Bagaimana kau bisa santai?” gerutu Hyoyeon.

Mereka berdua tidak berbicara setelahnya, dan Hyoyeon semakin gugup seiring waktu berlalu. Lalu Taeyeon melihat jam dinding. “Lima menit,” katanya riang. “Ayo, kita turun.”

Turun? “S-Sekarang?” ratap Hyoyeon.

Taeyeon memandangnya. “Tentu saja, choding. Ayo.” Dia membantu Hyoyeon berdiri dan menggandeng tangannya ke lantai dasar, lalu keluar dari rumah dan menuju halaman belakang rumah keluarga Lee.

Halaman belakang itu luas, dan terpasang kanopi besar di tengah-tengah taman, dengan para tamu acara pernikahan duduk di bawahnya. Hyoyeon merasakan sesuatu yang tidak nyaman di perutnya. Rasanya dia ingin muntah.

Taeyeon menariknya ke balik semak-semak. Di situ, Sunny dan Tn. Kim sudah menunggu. Tn. Kim menawarkan lengannya, dan Hyoyeon mengaitkan lengannya. Ayahnya kelihatan rileks, berbeda dengan Hyoyeon. Sunny menepuk bahu Hyoyeon.

“Gwenchanayo?”

Hyoyeon spontan mengangguk.

Musik mulai terdengar. Jantung Hyoyeon berdebar begitu cepat sehingga terasa sakit.

Sunny, yang berada di paling depan, berjalan ke arah altar. Diikuti Taeyeon. Begitu sudah gilirannya, Tn. Kim sedikit membungkuk untuk berbisik, “Siap?”

Hyoyeon menghela napas dalam-dalam. “Siap.”

Mereka pun menyamakan langkah dan berjalan menuju altar. Hyoyeon langsung mendengar bisikan dan orang-orang terkesiap. Dia memberanikan diri untuk melihat tepat ke depan.

Hyoyeon tercengang.

Eunhyuk memakai tuksedo dan berdiri tegap di altar, tersenyum lebar ke arahnya. Bagaimana Eunhyuk bisa setampan itu?

Untung Hyoyeon berhasil tiba di altar tanpa terjatuh. Ketika tangannya menggenggam tangan Eunhyuk, dia menikmati kehangatan tangan tunangannya itu—tepatnya, calon suaminya.

Hyoyeon menggigit bibir sewaktu upacara hampir selesai.

Pendeta di antara mereka menoleh ke arah Eunhyuk. “Anda boleh mencium pengantinnya.”

Eunhyuk tersenyum lebar, lalu dia sengaja memeluk pinggang Hyoyeon, dan Hyoyeon melingkari leher namja itu—suaminya—dengan kedua lengannya. Eunhyuk membungkuk dan bibirnya bertemu bibir Hyoyeon. Tepuk tangan riuh langsung terdengar, tapi keduanya tidak berhenti.

“Hyuk-ah.” Hyoyeon berusaha menghentikan Eunhyuk, tapi Eunhyuk sepertinya lupa waktu. Hyoyeon segera menginjak kaki Eunhyuk, membuat namja itu menarik diri dari ciuman mereka.

“Aduh!” gerutunya, dan pendeta di samping mereka terkekeh.

Hyoyeon menatapnya galak. “Kau seharusnya tidak—”

Tapi Eunhyuk sudah menggandeng tangan Hyoyeon. “Lanjutkan nanti saja,” bisiknya di telinga Hyoyeon.

Mereka berdua turun dari altar, dan yang pertama memeluk Hyoyeon adalah ayahnya. Hyoyeon tersenyum dan balas memeluk Tn. Kim. Kemudian Taeyeon, lalu Sunny, Kyuhyun, dan ketiga member Unity.

Para tamu berjalan ke bagian lain taman untuk acara resepsi. Eunhyuk dan Hyoyeon kembali bergandengan tangan. Hyoyeon tidak bisa berhenti tersenyum, dan Eunhyuk tertawa.

“Mwo? Apa yang lucu?” tanya Hyoyeon.

Eunhyuk menggeleng. “Aku tidak percaya aku sudah menikah.”

Hyoyeon tertawa pelan. “Berarti aku bisa mengaturmu.”

“Enak saja. Aku yang mengaturmu.”

Percakapan mereka segera diinterupsi oleh Taeyeon. “Kalian berdua! Potong kuenya!”

Eunhyuk dan Hyoyeon berjalan menuju kue pernikahan mereka yang tiga tingkat tingginya, karena desakan Sunny. Eunhyuk mengambil pisau dan meletakkan tangan Hyoyeon di atas tangannya. Hyoyeon menatap ke arahnya.

Eunhyuk hanya berkata, “Bersama-sama.”

“Satu,” Hyoyeon mulai menghitung. “Dua…”

“Tiga.”

Semua orang bertepuk tangan dan berteriak ketika keduanya selesai memotong kue. Taeyeon tetap menjepret kameranya, mengabadikan momen tersebut.

Hyoyeon menerima piring berisi kue pengantinnya dari Eunhyuk. Kini mereka harus bergantian menyuapkan kue. “Aku dulu,” kata Hyoyeon.

Eunhyuk menganggukkan kepalanya.

Sekarang waktunya balas dendam, Hyoyeon tersenyum jail.

Hyoyeon mengambil krim di potongan kuenya dengan jemarinya dan mengoleskan semuanya di pipi Eunhyuk.

“Yah!” teriak Eunhyuk kaget, sementara Hyoyeon hanya tertawa-tawa. “Apa yang kaulakukan?!”

“Itu karena ciumanmu tadi,” ujar Hyoyeon pelan supaya hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya.

Eunhyuk cemberut dan juga mengoleskan krim di pipi Hyoyeon.

Hyoyeon mengerang dan memukul bahu Eunhyuk. “Kenapa—kau—juga—harus—mengoleskan—ini—di—pipiku?!” Setiap kata ditekankannya dengan pukulan.

“Aduh! Aduh! Hentikan!” Eunhyuk juga mengerang, dan Hyoyeon berhenti memukulnya. Tanpa aba-aba, keduanya mulai tertawa.

Sunny mendekati mereka, membawa sekotak tisu di tangannya. Terlihat sekali bahwa dia kesal. “Kalian berdua, berhenti bersikap konyol!”

Eunhyuk tertawa. “Sunny-ah, santai saja.” Dia mengambil selembar tisu dan membersihkan krim di pipi Hyoyeon dengannya.

Hyoyeon juga mengambil tisu dan membersihkan krim di pipi Eunhyuk. Tak lupa, Taeyeon juga memotret momen itu. “Sunny-ah, minggir!” teriaknya.

Sunny beringsut menjauh, tapi Eunhyuk dan Hyoyeon tidak memerhatikannya. Jarak wajah mereka sangat dekat… Dan Eunhyuk tidak bisa menahan diri untuk tidak mencium bibir Hyoyeon sekali lagi. Meski ciuman itu hanya sebentar, Hyoyeon memukul bahu Eunhyuk lagi.

“Kalian harus menyalami para tamu.” Sunny muncul lagi. Dia menggandeng Hyoyeon ke sudut lain di taman, dengan Eunhyuk mengikutinya.

Barisan orang-orang sudah terbentuk, dan Eunhyuk serta Hyoyeon segera menyalami semua tamu. Banyak yang memberi mereka selamat—dan ada yang memberikan hadiah pernikahan juga—dan Hyoyeon tidak bisa berhenti berterima kasih.

Waktu berjalan dengan cepat. Tahu-tahu, Hyoyeon sudah berdansa dengan Eunhyuk. Sebagai member dari sebuah dance group, tentu mudah bagi Eunhyuk untuk berdansa. Tapi orang sepertinya tidak bisa menguasai tarian waltz dengan baik. Hyoyeon menatapnya, memperingatkan, sewaktu Eunhyuk menginjak kakinya untuk yang kesekian kalinya.

“Aduh, maaf,” gumam Eunhyuk.

Hyoyeon manggut-manggut. “Gwenchana.”

“Kenapa kita semua tidak break dance saja,” gerutu Eunhyuk lagi. “Akan lebih mudah seperti itu.”

Hyoyeon tertawa. “Kaukira aku bisa break dance dengan gaun ini? Yang benar saja.”

Eunhyuk mengangkat bahu. “Berarti tradisinya harus diubah. Pengantin wanitanya memakai pakaian dance…”

Hyoyeon memutar bola matanya.

Ternyata sudah larut malam ketika acara pernikahan selesai. Taeyeon dan Sunny segera menarik Hyoyeon masuk ke rumah keluarga Lee dan membantunya melepaskan gaun pengantin dan memakai dress selutut berwarna biru. Eunhyuk dan Hyoyeon akan langsung pergi ke bandar udara untuk honeymoon mereka.

“Aku tidak percaya aku sudah menikah,” gumam Hyoyeon.

Taeyeon mendengarnya dan tertawa. “Ny. Lee.”

Hyoyeon meringis. “Aku masih muda. Jangan panggil aku ‘nyonya’.”

Taeyeon tertawa lagi dan memeluk Hyoyeon. “Jaga diri, Hyoyeon-ah. Jangan sampai kau kenapa-napa saat kau pergi.”

Hyoyeon mengangguk. “Aku masih menunggu pernikahanmu dengan Leeteuk.”

Pipi Taeyeon memerah, dan Sunny yang melihatnya tertawa kecil. “Ah, itu masih lama.”

Hyoyeon tersenyum dan melepas pelukan mereka. “Bisa saja Leeteuk melamarmu—”

“Hyoyeon-ah!” Pipi Taeyeon semakin panas.

Hyoyeon menahan tawanya. “Oke, aku berhenti. Aku harus turun sekarang.” Dia menoleh ke arah Sunny dan memeluknya.

Sunny memeluknya erat. “Hyoyeon-ah, rawat kakakku baik-baik, ne?”

“Tentu saja,” Hyoyeon berjanji.

Begitu melepas pelukan, ketiganya turun ke lantai dasar dan keluar dari rumah keluarga Lee. Hyoyeon melihat ayahnya dan langsung memeluknya.

“Jaga diri, Hyoyeon-ah,” pesan Tn. Kim. “Dan aku yakin kau akan bahagia dengan Eunhyuk.”

Hyoyeon mengangguk. “Terima kasih, appa.”

Hyoyeon menarik diri dan melambai ke arah ayahnya, kemudian dia memeluk Tn. dan Ny. Lee. Lalu dia merasa tangannya ditarik. Hyoyeon menoleh dan melihat Eunhyuk, sudah memakai kemeja putih dan celana panjang, tersenyum ke arahnya. Hyoyeon membalas senyumnya dan keduanya melambai ke arah tamu-tamu sebelum masuk ke dalam mobil.

***

“Chagi…”

Hyoyeon membuka matanya yang terasa berat. Yang dilihatnya hanyalah langit yang gelap tanpa awan. Jam berapa sekarang?

Hyoyeon duduk tegak di kursi mobil dan menoleh. Eunhyuk menatapnya, tersenyum. Sepertinya dia tidak bisa berhenti tersenyum bila ada Hyoyeon. “Ayo, kita sudah sampai di bandara.”

“Jam berapa sekarang?” tanya Hyoyeon seraya menguap.

“Jam empat pagi. Ayo, nanti kita ketinggalan pesawat.” Eunhyuk turun dari mobil dan mengeluarkan koper-koper mereka dari bagasi mobil. Hyoyeon ikut turun dan menarik kopernya menjauh dari tempat parkir, tapi Eunhyuk mencegatnya.

Hyoyeon mendengus. Matanya masih berat dan perih karena mengantuk. “Yah, oppa!”

“Aku saja yang membawanya,” kata Eunhyuk, menarik koper Hyoyeon dari genggaman yang disebutkan terakhir. “Kau masih mengantuk. Tahu-tahu nanti kau jatuh atau apa.”

Hyoyeon membiarkan Eunhyuk membawa koper mereka berdua. Dia terlalu mengantuk untuk berdebat. Karena koper Eunhyuk berbentuk tas besar dan koper Hyoyeon beroda, Eunhyuk menyelempangkan kopernya dan membawa koper Hyoyeon dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memeluk pinggang Hyoyeon, menariknya lebih dekat.

“Yah, oppa, apa-apaan?” gerutu Hyoyeon sementara keduanya berjalan memasuki pintu masuk bandara.

Eunhyuk terkekeh. “Kalau kau dibiarkan berjalan sendirian, pasti kau akan menabrak banyak orang. Aku suami yang perhatian, kan?”

Hyoyeon spontan memukul bahu Eunhyuk. “Berhenti memamerkan diri sendiri.”

Eunhyuk hanya tertawa. “Tunggu di sini. Aku akan mengecek ulang tiket kita, arraso?”

Hyoyeon menganggukkan kepalanya dan menunggu di salah satu bangku yang disediakan. Sepuluh menit kemudian, Eunhyuk kembali dengan tiket di tangannya. “Pesawatnya masih satu jam lagi,” kata Eunhyuk sambil melihat jam tangannya. “Mau makan dulu?”

Yeoja itu mengangguk lagi dan keduanya berjalan menuju kafe terdekat. Meski matahari belum terbit, kafe itu sudah cukup ramai. Keduanya duduk berhadapan di dekat jendela. Hyoyeon sudah tidak semengantuk tadi, dan Eunhyuk tertawa melihat ekspresinya yang seperti orang linglung.

“Oppa, berhenti mentertawakanku,” gerutu Hyoyeon, cemberut.

Eunhyuk berhenti tertawa, tapi dia tersenyum lebar. “Kau terlalu menggemaskan jadi harus ditertawakan, chagi.”

Hyoyeon menyipitkan matanya, namun tidak membalas perkataannya.

Begitu pesanan mereka tiba, Hyoyeon memakan makanannya dengan lahap. Jelas-jelas dia lapar, dan dia juga menghabiskan minumannya dalam sekali teguk hingga nyaris tersedak.

“Astaga, chagi, pelan-pelan saja,” tegur Eunhyuk ketika Hyoyeon nyaris tersedak.

Hyoyeon mengibaskan tangannya. “Aku baik-baik saja.”

Seusai sarapan, keduanya berjalan menuju lapangan tempat take-off. Angin yang “galak” langsung menyambut mereka berdua. Hyoyeon mengancingkan mantelnya rapat-rapat, agar udara dingin tidak membuat tubuhnya gemetaran. Ketika keduanya masuk ke dalam pesawat, Hyoyeon segera membuka penutup jendela.

“Enaknya duduk di first class,” gumam Eunhyuk sambil memejamkan matanya.

Hyoyeon meliriknya. “Aku sudah sering,” jawabnya sambil memeletkan lidah.

Eunhyuk mendengus. “Awas saja.”

“Awas apa?”

“Aku akan merencanakan sesuatu setelah kita mendarat.”

“Memangnya apa rencanamu?”

“Rahasia.”

“Yah, kau ingin membalas dendam padaku? Lalu untuk apa aku menjadi istrimu kalau kau hanya ingin membalas dendam saja?”

Eunhyuk membuka matanya. “Ah, sudahlah.”

Pesawat pun lepas landas dari bandara dan beberapa jam lagi akan tiba di tempat tujuannya.

***

“Omona!”

Hyoyeon berjalan memasuki rumah di resor tempat mereka menginap di Hawaii. Rumah itu berkesan minimalis, tetapi dihiasi dengan kayu dan terdapat kolam renang yang luas. Eunhyuk tersenyum senang melihat Hyoyeon yang terkagum-kagum mengamati rumah itu. Bagaimana pun juga, Eunhyuk-lah yang memilih resor itu.

Hyoyeon berjalan keluar dari kamar tidur. Sudah malam sekali, menurut waktu Hawaii. Hyoyeon membereskan koper-koper mereka sementara Eunhyuk berganti baju. Begitu Eunhyuk selesai, gantian Hyoyeon berganti baju. Hyoyeon ingat bahwa tadi Eunhyuk sengaja membawa roti dari pesawat dan mengeluarkannya dari koper.

Hyoyeon berjalan keluar kamar tidur menuju dapur, membawa roti. Dalam perjalanan ke situ, dia melewati Eunhyuk di ruang tamu yang sedang menonton TV. Mata Eunhyuk terbelalak melihat Hyoyeon yang hanya mengenakan nightdress yang panjangnya di atas lutut.

“Oppa, kau mau makan rotinya sekarang atau besok saja?” tanya Hyoyeon.

Eunhyuk tidak menjawab. Perhatiannya lebih terfokus melihat lekuk tubuh istrinya. Eunhyuk menelan ludah. Aniyo! Kau tidak boleh melakukannya sekarang, nanti dia marah…

“Oppa!” teriak Hyoyeon dari dapur.

“Ah, um… Besok saja!” Eunhyuk tersentak sadar dari lamunannya.

Hyoyeon pun menyimpan rotinya di dalam kulkas. Ternyata sudah ada banyak makanan di dalam kulkas yang disediakan oleh pihak resor. Ada coklat, puding, permen, buah, sayur, daging…

Tahu-tahu Eunhyuk sudah memeluk pinggang Hyoyeon.

“Yah, oppa!” gerutu Hyoyeon, menutup pintu kulkas dan berdiri tegak. “Kau membuatku kaget saja.”

“Memangnya kenapa?” tanya Eunhyuk di rambut pirang Hyoyeon. “Aku tidak boleh memeluk istriku sendiri?”

Hyoyeon merengut. “Boleh-boleh saja—”

Eunhyuk sudah memutar tubuh Hyoyeon sehingga menghadap ke arahnya, kemudian langsung mencium bibir Hyoyeon. Hyoyeon jelas-jelas kaget dengan tindakan Eunhyuk, tapi dia membalas ciumannya. Eunhyuk, yang sudah tidak tahan lagi, segera melingkarkan kaki Hyoyeon di pinggangnya dan menggendongnya menuju kamar tidur.

***

Matahari sudah tinggi di atas langit ketika Eunhyuk terbangun dari tidurnya. Dia duduk di ranjang, sadar bahwa dia tidak memakai pakaian apa pun. Eunhyuk memakai celananya dan berjalan keluar kamar tidur. Di dapur, Hyoyeon tengah membuat sarapan, mengenakan nightdress yang dipakainya kemarin.

Eunhyuk memeluknya lagi dari belakang. “Selamat pagi, chagi,” bisiknya.

Hyoyeon tertawa. “Pagi, oppa.”

“Bagaimana semalam?”

“Hah?” tanya Hyoyeon tidak mengerti. Lalu dia mengangguk-angguk. “Oh… Semalam. Ya, begitulah.” Pipinya mendadak memanas.

Eunhyuk tertawa. “Kau menikmatinya, kan?”

Hyoyeon cemberut. “Yah, oppa!”

Eunhyuk tertawa dan mencubit pipi Hyoyeon. “Aigoo, kau lucu sekali… Bagaimana kalau kita pergi keluar?”

“Aku belum mandi,” Hyoyeon beralasan.

Eunhyuk manggut-manggut, terdapat kilat menggoda di matanya. “Mau mandi bersama?”

Hyoyeon pun melayangkan pukulan bertubi-tubi ke bahu Eunhyuk. “Dasar namja mesum!”

***

Hari-hari berlalu, dan sudah hampir sebulan sejak Eunhyuk dan Hyoyeon pertama kali datang ke Hawaii. Hyoyeon merindukan banyak orang yang berada di Seoul, tapi dia juga menikmati honeymoon-nya bersama Eunhyuk. Mereka berdua tidak—belum—mendiskusikan kapan mereka akan kembali, dan sepertinya mereka berdua sama-sama tidak ingin kembali dan hanya ingin menikmati hidup mereka berdua saja.

“Bagaimana kalau kita ke kebun binatang hari ini?” usul Eunhyuk sewaktu keduanya memakan sarapan mereka.

Hyoyeon menganggukkan kepalanya. Entah kenapa tubuhnya terasa pegal dan kepalanya berdenyut-denyut. Mungkin kecapekan, pikir Hyoyeon. Kemarin kan kami pergi ke akuarium raksasa itu.

Eunhyuk tidak menyadari keadaan Hyoyeon dan mendesaknya untuk segera berganti baju. Setelah itu, keduanya berangkat ke kebun binatang.

***

“Chagi, ayo, dimakan.”

“Aku tidak mau.”

“Nanti kau tambah sakit—”

“Aku tidak mau.”

Eunhyuk menarik napas. Hyoyeon tetap menutup mulutnya supaya tidak perlu makan bubur yang disodorkan suaminya. Sudah berhari-hari Hyoyeon jatuh pingsan, muntah-muntah, gemetaran, dan gejala-gejala penyakit entah apa lainnya. Eunhyuk tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Hyoyeon menyuruhnya untuk membiarkannya tidur saja supaya cepat sembuh. Tapi semakin lama Hyoyeon semakin pucat wajahnya.

Hyoyeon bersandar di tumpukan bantal-bantal di belakangnya. Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut… Wajah dan tubuhnya sedingin es… Perutnya terasa sakit… Nafsu makannya hilang dan dia jarang makan, tapi perutnya entah kenapa bertambah besar…

Kemudian dia sadar.

Hyoyeon tercengang. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang?

“Mwo? Chagi, ada apa?” Eunhyuk menyadari perubahan di wajah Hyoyeon dan menangkupkan kedua pipi istrinya di tangannya.

Mata Hyoyeon melebar. “Oppa…”

“Ne?”

“Bagaimana kalau…”

“Kalau apa?”

“Bagaimana kalau aku…”

“Kau? Kenapa?”

Hyoyeon menelan ludah. “Bagaimana kalau… aku hamil?”

***

Eunhyuk berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi. Jantungnya berdebar kencang.

Tahu-tahu pintu kamar mandi terbuka.

Eunhyuk mendongak dan melihat Hyoyeon berjalan keluar. Pandangannya kosong, tapi tiba-tiba dia memeluk Eunhyuk seerat mungkin. Eunhyuk mengangkat alisnya. “Chagiya?”

“Aku hamil, oppa.”

***

“Mwo? Hamil?” tanya Taeyeon.

Hyoyeon mengangguk. Dia dan Eunhyuk sudah kembali dari Hawaii, dan Eunhyuk tengah melaksanakan jadwalnya sebagai member Unity. Taeyeon mampir ke rumah baru yang dibeli Eunhyuk untuk dirinya dan Hyoyeon—rumah yang luas dan bergaya minimalis.

“Kalian pasti melakukannya berkali-kali,” celetuk Taeyeon polos.

Pipi Hyoyeon langsung semerah tomat. “Yah, hentikan!”

Taeyeon tertawa. “Pasti berat bagimu dan Eunhyuk.”

“Berat? Kenapa?” Hyoyeon bertanya.

Taeyeon mengangkat bahu. “Kalian kan baru saja menikah.”

Hyoyeon tersenyum. “Asalkan kami berdua tetap bersama, kami akan baik-baik saja.”

***

Lima bulan sudah berlalu. Eunhyuk dan Hyoyeon pergi ke rumah sakit untuk meng-USG bayi mereka. Di ruangan dokter tersebut, Eunhyuk memegang tangan Hyoyeon terlalu keras sehingga tangan Hyoyeon terasa sakit sekali.

“Selamat,” kata si dokter. “Bayi kalian laki-laki.”

Hyoyeon tercengang dan menatap layar di belakang dokter itu. Dari mana dokter itu tahu bayinya laki-laki? Tidak ada bedanya!

Eunhyuk tersenyum bahagia. “Kamsahamnida, sajangnim. Kami akan pulang sekarang.”

Begitu Eunhyuk dan Hyoyeon keluar dari rumah sakit, Eunhyuk melonjak-lonjak senang. “Chagi! Bayinya laki-laki!”

“Berhenti melompat-lompat seperti itu!” tegur Hyoyeon. “Itu memalukan!”

Eunhyuk tertawa dan menggandeng tangan Hyoyeon menuju mobil. Ketika mobil meluncur menuju rumah mereka, Eunhyuk menoleh ke arah Hyoyeon. “Jadi, apa namanya nanti?”

Hyoyeon mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku belum memikirkan satu nama pun.”

“Aku sudah,” jawab Eunhyuk bangga.

Hyoyeon mengangkat alis. “Apa itu?”

“Hyukjae Junior.”

Hyoyeon cemberut dan memukul bahu Eunhyuk. Sepertinya dia sering memukulnya setiap kali Eunhyuk berbicara. “Masa kita akan menamainya ‘Hyukjae Junior’?”

Eunhyuk mengangkat bahu. “Itu bagus! Dan kalau kita punya anak perempuan, kita akan menamainya Hyoyeon Junior!”

Hyoyeon memutar bola matanya. “Aish, aku tidak mau!”

“Ayolah, chagi…”

“Aniyo!”

“Ah, chagi…”

“Bila kubilang tidak, berarti tidak.”

“Lalu apa namanya?”

Hyoyeon berpikir sebentar, lalu tersenyum. “Lee Eun Woo.”

***

“Lee Eun Woo?” ulang ketiga member Unity lainnya.

Eunhyuk mengangguk. “Hyoyeon yang mengusulkannya. Ya kan, chagi?” Dia menoleh ke arah Hyoyeon yang duduk di sofa. Hyoyeon mengangguk.

Donghae mengangkat bahu. “Bagus, menurutku.”

“Siapa yang akan jadi orangtua baptisnya?” tanya Shindong. “Kami bertiga saja, ya?”

Eunhyuk mendengus. “Mana mungkin. Kalian pasti akan mengajarinya hal-hal yang tidak baik!”

“Memangnya kau tidak?” goda Leeteuk.

Eunhyuk memajukan bibirnya. “Bagaimana kalau tidak ada orangtua baptis?”

“Yah, siapa yang akan merawat Eun Woo kalau kita meninggal, kalau begitu?” tegur Hyoyeon.

Eunhyuk menjentikkan jarinya. “Taeyeon dan Sunny! Mereka kan yeoja, jadi mereka pasti akan mengajarinya hal-hal yang baik.”

Leeteuk cemberut. “Taeyeon kan pacarku. Aku berarti juga harus menjadi orangtua baptisnya!”

“Hyung, jangan egois. Aku juga mau,” kata Donghae tidak mau kalah.

“Aku saja!” timpal Shindong.

“Sudah, sudah!” teriak Eunhyuk. “Lebih baik aku dan Hyoyeon saja yang menjadi orangtua kandung dan orangtua baptisnya!”

“Babo-ya!” Hyoyeon memukul kepala Eunhyuk dengan botol plastik kosong, membuat ketiga member Unity lainnya tertawa terbahak-bahak.

***

“Semuanya akan baik-baik saja, chagi,” kata Eunhyuk menenangkan. “Semuanya akan baik-baik saja.”

Hyoyeon berusaha menyerap pesan positif dari suaminya dan mengambil napas. “Semuanya… akan… baik… baik—aah!” Dia berteriak menahan rasa sakit. “KELUARKAN BAYI ITU!”

“Belum waktunya,” kata seorang perawat sambil berlari entah ke mana.

Hyoyeon mendongak tidak percaya. “Belum waktunya?! Ada satu bayi—arrgh!”

Eunhyuk kembali meremas tangan Hyoyeon. “Chagi, semuanya akan—”

“JANGAN BERANI-BERANINYA KATAKAN SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA!” hardik Hyoyeon.

Eunhyuk kaget melihat Hyoyeon semarah itu, tapi dia memakluminya dan tetap berusaha menenangkan istrinya itu. Lalu, seseorang—mungkin dokternya—memerintah Hyoyeon untuk mendorong.

Hyoyeon kelihatan seperti berusaha keras, dan Eunhyuk tidak melakukan hal lain kecuali menyemangatinya. Keringat mulai bermunculan di kening Hyoyeon, padahal bayinya belum benar-benar keluar. Eunhyuk menyambar handuk di dekatnya dan mengusapkannya ke wajah Hyoyeon yang basah.

“Ayo, chagi, dorong!”

Hyoyeon kembali berteriak menahan sakit, dan setelah prosesnya berulang-ulang, terdengar suara tangisan bayi.

Hyoyeon segera bersandar di tumpukan bantal di belakangnya. Akhirnya… Semuanya sudah berlalu…

Seorang perawat berjalan mendekati mereka, menggendong seorang bayi. Hyoyeon otomatis merentangkan lengannya dan menerima bayi itu di gendongannya. Hyoyeon tersenyum ke arah anaknya yang baru lahir.

“Omona, kau lucu sekali,” kata Hyoyeon sambil tersenyum.

“Lee Eun Woo,” bisik Eunhyuk di sampingnya.

Hyoyeon menoleh ke arah Eunhyuk, masih tersenyum.

***

Memang sudah berhari-hari sejak Eun Woo lahir, tapi Hyoyeon masih diharuskan untuk menginap di rumah sakit. Eunhyuk dan Hyoyeon sedang sama-sama memerhatikan Eun Woo yang tertidur ketika pintu terjeblak membuka.

“Selamat! Selamat!” teriak Shindong, melompat-lompat masuk. Di tangannya, terdapat belasan balon berwarna-warni. “Sudah kubilang dia akan menjadi bayi yang lucu!”

Donghae menyusul, membawa teddy bear coklat yang besar sekali, hampir lebih besar daripada dirinya sendiri. “Eunhyuk-ah, bonekanya!” Donghae nyaris saja terjatuh ke belakang ketika meletakkan boneka itu di lantai. Eunhyuk segera berlari membantunya.

Lalu Leeteuk berjalan masuk, membawa sebuah kotak besar yang dilapisi kertas kado. Hyoyeon berjalan mendekatinya—dia sudah diperbolehkan berjalan-jalan. “Mwo? Apa ini?” tanyanya ketika Leeteuk menyerahkan hadiah itu padanya.

“Buka saja,” ujar Leeteuk penuh rahasia. “Kalian pasti suka.”

Hyoyeon membuka kertas pelapisnya dengan cepat. Peralatan makan bayi. “Ah, terima kasih, Teuk-ssi!” Yeoja itu tersenyum girang.

Leeteuk mengibaskan tangan. “Bukan apa-apa. Itu hadiah dariku dan Taeyeon.”

“Mana Taeyeon?” tanya Hyoyeon.

“Dia sedang ada jadwal syuting,” jawab Leeteuk. “Tapi dia sudah berkunjung kemarin, kan?”

Hyoyeon tidak sempat menjawab karena sudah terjadi keributan di sisi lain kamar rawat-inapnya.

“Biarkan aku menggendongnya!” teriak Shindong.

“Aniyo!” larang Eunhyuk, yang menggendong Eun Woo yang tertidur. “Nanti dia bakal gendut kalau kau yang menggendongnya!”

“Dia akan menguruskan badan! Apa susahnya?!”

“Kau tidak boleh menggendongnya!”

“Siapa bilang?!”

“Aku! Aku ayahnya!”

“Nanti Eun Woo malah terlalu kurus kalau kau yang menggendongnya!”

“Lalu? Masalah?!”

“Iya, masalah! Masalah!”

“Oh, ya sudah! Cukup tahu!”

***

5 tahun kemudian

“Eun Woo!” panggil Hyoyeon.

“Ne, eomma?” Eun Woo yang berusia 5 tahun berlari menghampiri ibunya.

“Bersikap baik di sekolah, ne?” pesan Hyoyeon. “Bersikap baik kepada guru dan teman-temanmu, arraso?”

Eun Woo menganggukkan kepalanya. “Ne, eomma! Siap!”

Hari ini adalah hari pertama bersekolah tahun ini. Eunhyuk dan Hyoyeon—sebagai orangtua yang baik—mengantar kedua anak mereka untuk pergi ke sekolah, meski hanya untuk hari pertama saja.

“Hyun Ae?” Kali ini Eunhyuk memanggil anak perempuannya.

Lee Hyun Ae berjalan mendekati ayahnya. “Ne, appa?”

“Bersikap baik, ya! Dan jangan curang saat mengerjakan pekerjaan sekolah! Dan jangan percaya apa yang dikatakan kakakmu!” nasihat Eunhyuk.

Hyun Ae tertawa sementara Eun Woo cemberut memandang ayahnya. “Ne, appa, aku akan bersikap baik!” kata Hyun Ae yang setahun lebih muda daripada Eun Woo.

“Ayo, kalian cepat masuk! Nanti terlambat!” Hyoyeon mendorong kedua anaknya memasuki gedung sekolah.

Eun Woo dan Hyun Ae pun melambaikan tangan kepada orangtua mereka—yang balas melambai—sebelum akhirnya mereka lenyap dari pandangan.

Eunhyuk tersenyum. “Mereka berdua sudah besar. Mungkin sebentar lagi mereka akan meninggalkan kita.”

Hyoyeon memandangnya. “Jangan berpikiran seperti itu. Waktunya masih lama untuk itu.”

Eunhyuk balas memandangnya dengan tatapan menggoda. “Chagi, bagaimana kalau kita pulang, lalu—”

“Aniyo!”

“Ayolah, chagi, sudah seminggu sejak yang terakhir kali…”

“Dasar namja mesum!”

“Ah, chagi, ayolah…”

“Aku sibuk! Pergi, oppa!”

“Kau mengusir suamimu sendiri? Lalu siapa yang akan mengantarmu kembali ke rumah?”

“Ya sudah, aku naik taksi saja!”

“Eh! Chagi, jangan begitu, ayolah…”

“Sekali tidak, tetap tidak!”

“Chagi…”

Hyoyeon melayangkan pukulan lagi ke bahu Eunhyuk. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. “Pervert! Namja mesum!”

*** THE END ***

Note:

Sekuelnya aneh, ya? O_O

Author emang nggak berbakat membuat sekuel, apalagi waktu author terbatas T_T Mian ya, untuk sekuel yang mengecewakan ini *nangis di pojokan* Sekali lagi, author minta maaf… *deep bow*

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya! Kamsahamnida!

16 pemikiran pada “Don’t Forget Me (Sequel)

  1. hahahaha kasian hyuk oppa , tiap hari selalu dipukulin ama hyo eonnie .. 😀
    Sequelnya Daebak … Feelnya Dapet banget .. 😀
    apalagi waktu acara mereka nikah .. hahaha HyoHyuk Konyol … >.<
    HyoHyuk JJANG !!
    thor ,ditunggu FF hyohyuk lainnya 😀

  2. Aigooo.. Ini ff bikin aku senyum2. Etdahh Hyuk bikin gregetan sifatnya.
    Wkwkwk. Keren lg kyk suami tAkut istri.
    Ngomong2 honeymoon ny lama banget ampe aku jenggotan #plakkk
    Keren dah thor. kalo perlu sequel lg 😀

    Bikin HyoHyuk lg ya thor!!

  3. Wah bagus chingu. Iya bener, Hyo lebih tinggi dari TaeSun, tapi lebih tingginya gak lebih dari 1 cm. Wkwkwkwk. 😀

      • Ortu/ wali baptis itu yang ngerawat anak kalo orangtuanya nggak bisa ngebesarin anaknya lagi atau sudah meninggal 🙂 Gomawo, ya, yang udah mau comment XD

Tinggalkan Balasan ke Syaid Seomates YoonHyun Loyalist Batalkan balasan