Title: Three Little Words (Chapter 1)
Author: tatabrigita
Main Character: Siwon, Tiffany, Donghae, Yoona, Kyuhyun, Seohyun, Sungmin, Sunny
Main Song: BoA – Only One
Started: 060313
Genre: Romance, angst
Rating: General
Author’s Note: Halo, author comeback dengan FF baru… Maaf ya, udah lama author nggak nge-post FF, jadi bisa dibilang comeback 🙂 Author juga nulis FF ini di AsianFanFics, bisa dilihat di sini. Happy reading!
***
Kamis, 30 Juni, 2011
14.25 KST
Kantor Pusat Hwang’s Fashion House, Paris, Prancis
***
Suara kertas-kertas yang dibolak-balik hanyalah suara yang bisa didengar dari dalam kantor desainer utama. Dia bahkan tidak mengedipkan matanya, berkonsentrasi pada tumpukan kertas di depannya.
Terdengar ketukan lembut di pintunya, dan akhirnya gadis itu mendongak.
“Ibu,” gumamnya lamban.
Ibunya tersenyum dan melangkah memasuki kantor, meski putrinya tidak menyuruhnya masuk. Dia duduk di sebuah kursi berpunggung tegak yang empuk. “Masih bekerja, Tiffany?”
Gadis di depannya tersenyum pahit. “Benar, Ibu,” jawabnya dalam bahasa Inggris. Dia selalu berbicara dengan keluarganya menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Korea, kadang-kadang, tapi tidak pernah berbicara dalam bahasa Prancis dengan mereka.
Tiffany Hwang kembali membenamkan dirinya ke dalam tumpukan kertas. Pensil yang sedang dipegangnya, seperti menari di atas material putih tersebut. Ny. Hwang menghela napas, tapi Tiffany tidak berhenti menggambar sketsa pakaian.
“Kau perlu istirahat, Tiffany.”
“Apa?” Tiffany mendongak. “Apa yang baru saja kaukatakan, Ibu?”
Ny. Hwang memutar bola matanya. “Istirahat. Kau bekerja terlalu keras.”
Tiffany sama sekali tidak menduga kalimat itu dari ibunya. Bekerja terlalu keras? Tiffany tidak akan mengatakan dia sendiri bekerja terlalu keras, tapi dia menghabiskan hampir setiap hari di dalam gedung besar itu, mengendalikan label fashion-nya.
Pekerjaannya merupakan seorang desainer. Desainer yang berbakat. Dia tidak pernah menikmati sesuatu lebih dari menghabiskan waktunya menggambar sketsa dan mencocokkan pakaian. Apakah benar dia bekerja terlalu keras? Itu adalah hal kesukaannya, bagaimana pun juga.
“Ibu, aku—”
Tapi Ny. Hwang menggelengkan kepalanya. “Sekarang musim panas, Sayang. Kau sebaiknya menghabiskan waktumu di luar kantor. Biarkan aku dan ayahmu mengendalikan hal ini untuk sementara.”
Tiffany ingin membantah. Bagaimana pun juga, pekerjaannya merupakan kewajiban sekaligus hobinya. Tapi Tiffany adalah tipe orang yang tidak berani untuk melawan orangtuanya.
“Baiklah,” dia memutuskan. “Aku akan menghabiskan musim panas di apartemenku.”
Ny. Hwang tertawa pahit. “Itu adalah ide yang buruk. Bagaimana dengan melihat matahari untuk sementara?”
***
Sabtu, 2 Juli, 2011
8.00 KST
Bandara Internasional Charles de Gaulle, Paris, Prancis
***
“Hati-hati, unnie!”
Tiffany menoleh ke belakang, melihat adiknya melambai ke arahnya. Dia menunjukannya eye-smile-nya yang terkenal. “Tak perlu khawatir, Sulli-ah. Aku akan kembali secepatnya.”
Sulli Hwang menganggukkan kepalanya, masih melambaikan tangan. “Aku berharap liburanmu menyenangkan.”
“Sayangnya aku tidak menghabiskannya di sini,” Tiffany berbisik pelan. Dia selalu tidak suka meninggalkan negara ini.
“Apa yang kaukatakan?”
Tiffany buru-buru menggelengkan kepalanya. “Bukan apa-apa. Aku akan bertemu denganmu secepatnya, Sulli-ah!” Dia menyeret koper berodanya sebelum memasuki bandara.
***
Tiffany memasuki pesawat dan menemukan tempat duduknya. Dia duduk dan membuka jendela, menunjukkan pemandangan lapangan terbang di luar.
“Berapa lama sih, penerbangan ini?” gumamnya.
Lalu, suara seorang wanita terdengar dari speaker. “Selamat pagi, bapak-ibu sekalian. Kami ingin menyambut Anda di penerbangan France Airlines nomor KE 657 menuju Bali, Indonesia. Lama penerbangan 14 jam 24 menit, dan kami mengharapkan penerbangan yang lancar hari ini. Terima kasih karena telah memilih kami untuk terbang bersama Anda dan kami harap Anda menikmati penerbangan ini.”
Mata Tiffany melebar setelah wanita tersebut selesai berbicara. Empat belas jam? Apa yang akan dilakukannya di dalam sebuah pesawat yang penuh sesak selama empat belas jam?
Dia bersandar di kursinya, cemberut. Setidaknya dia berada di area first class.
***
Sabtu, 2 Juli, 2011
11.30 KST
Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Indonesia
***
Tiffany segera pergi untuk mengambil kopernya. Penerbangan tadi baik, tapi Tiffany tidak pernah menikmatinya. Dia mengambil koper berodanya dan pergi ke kamar mandi untuk memeriksa penampilannya. Dia tidak memakai make-up, tapi dia terlihat cantik seperti biasa.
Dia menarik napas sejenak di dalam kamar mandi yang kosong, kedua tangan berada di pinggiran wastafel. Tiffany menatap ke cermin. Seorang wanita muda yang periang menatap balik ke arahnya, rambut hitamnya yang pendek berantakan. Setelah menghabiskan waktu di dalam kamar mandi yang besar selama hampir setengah jam, Tiffany berjalan keluar dan naik taksi.
Untungnya, Tiffany menguasai bahasa Indonesia. Aksennya mungkin bukan yang terbaik, tapi setidaknya dia menguasai dasar-dasarnya.
“Ke mana, Nona?” Si pengemudi berbicara dalam bahasa Indonesia.
Tiffany ingat nama resor yang diberitahukan oleh ibunya. “Resor Karma Kandara Ungasan, please.”
Si pengemudi menganggukkan kepalanya dan mulai menyetir. Tiffany bersandar, memejamkan matanya. Ketika dia sampai, dia akan langsung pergi tidur.
***
Resornya luar biasa. Dinding-dindingnya terbuat dari bebatuan putih dan Tiffany merasakan angin sepoi-sepoi malam yang dingin di kulitnya. Setelah check in, dia berjalan menuruni undakan, melewati sebuah gym dan spa, sebelum menyeberangi sebuah jembatan kayu. Di bawahnya, ada semacam hutan, dan Tiffany langsung mendengar suara-suara monyet.
Setelah menyeberangi jembatan—yang membuatnya takut, Tiffany benci binatang—dia menaiki undakan lain sebelum akhirnya sampai di pintu kuning di rumahnya. Resor itu cukup besar, dan kamar-kamarnya merupakan rumah-rumah dengan nomor. Dia berjalan masuk, mengagumi dekorasinya yang minimalis, meski didominasi dengan kayu.
“Ini bagus,” Tiffany berkata dengan senyuman. Dia melempar tasnya ke sofa dan menyalakan TV berlayar datar. Tapi sebelum dia sempat memutuskan saluran mana yang akan ditontonnya, matanya terpejam dan dia melayang ke dunia mimpi.
***
Minggu, 3 Juli, 2011
10.30 KST
Toko Suvenir Krishna, Denpasar, Bali, Indonesia
***
“Dan jangan lupa untuk membelikanku barang-barang.”
“Baiklah.” Tiffany baru saja akan mengakhiri pembicaraan, ketika kakak laki-lakinya berbicara lagi.
“Dan aku tidak mau gantungan kunci—aku sudah punya cukup banyak. Mungkin sandal? Atau kaos?” Heechul Hwang tetap mengoceh di telpon.
Tiffany memutar bola matanya dan keluar dari taksi. Dia membayar supirnya dan memasuki sebuah bangunan besar. “Aku akan membelikanmu sesuatu, oppa.”
Heechul berbicara lagi. “Jangan gantungan kunci. Ingat itu, Tiffany. Kau orang yang pelupa.”
Tiffany mendengus. “Jika itu benar, aku tidak akan ingat untuk membelikanmu suvenir.”
Hening sesaat, dan Heechul menyerah. “Baiklah, baiklah. Belikan aku sesuatu. Tapi ingat, jika itu sandal, pastikan warnanya biru.”
“Baiklah,” Tiffany berbicara, dan sebelum kakaknya sempat berbicara lagi, dia mengakhiri pembicaraan. Anggota keluarganya bisa sangat mengganggu, kadang-kadang.
Tokonya luas, dan Tiffany sedang ingin berbelanja. Dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari batik, yaitu kain dengan pola-pola tertentu di atasnya. Tiffany tidak tahu banyak tentang Indonesia, tapi dia ingin tahu lebih banyak.
Tiffany ingin menemukan sandal untuk Heechul, ketika telinganya menangkap sesuatu.
“Dan aku beruntung dia tidak menggambar robot lagi—anak-anak sekarang! Bahkan cewek-cewek suka mobil-mobilan dan semacamnya!”
Tiffany tentu saja akan berjalan melewati wanita itu, yang sedang berbicara, tapi dia sedang berbicara dalam bahasa Korea. Dan Tiffany tidak tahu bahwa orang Korea—atau orang yang bisa berbicara dalam bahasa Korea—sering pergi ke Bali.
Tiffany sedang memeriksa rak berisi dompet-dompet ketika dia melihat sekilas wanita yang sedang berbicara. Seorang wanita pendek, dengan rambut coklat yang panjang. Dia sedang berbicara dengan kedua orang temannya. Keduanya sekepala lebih tinggi darinya—yang pertama berambut hitam sebahu dan sangat kurus, dan yang satunya berambut coklat lurus panjang.
Tiffany mengamati mereka. Dua wanita tinggi itu kelihatan familiar—dia tidak bisa melihat wanita pendek itu, karena punggungnya menghadap ke arah Tiffany—tapi Tiffany bersumpah bahwa dia belum pernah melihat kedua wanita itu sebelumnya. Lalu, kenapa tiba-tiba…?
Tiffany tidak menyadari bahwa wanita berambut hitam tadi sedang mengamatinya juga. “Tiffany!”
Wanita yang disebutkan, mengedipkan matanya beberapa kali. “Er—apa?”
Wanita berambut hitam itu mendekatinya, nyaris melompat. Tiffany tidak ingat siapa dia, tapi kelihatannya yang disebutkan belakangan mengingat dirinya.
“Fany-ah, kau ingat aku?” Wanita itu berbicara. Dia tersenyum lebar, dan matanya…
“Yoona?”
Wanita itu merintih senang. Dia menarik Tiffany untuk sebuah pelukan, masih tersenyum. “Fany! Kau ingat aku!”
Mata Tiffany melebar. Yoona? Itu benar-benar Yoona?
Dua wanita yang lain, yang sekarang mulai memandangi Tiffany dan Yoona, melihat mereka. Dia bisa melihat wajah wanita yang pendek—dan ingatan lain tentang seorang wanita muda, sangat pandai dalam melakukan aegyo, muncul di kepala Tiffany.
“Sunny?”
Yoona melepaskan pelukannya dan berputar ke arah dua orang lain. “Kalian, ingat dia?” Dia menunjuk Tiffany, melompat-lompat. Tapi dua orang yang lain terlihat seperti tidak melihat apa-apa.
Yoona mendecak dan berkata, “Ini Tiffany! Tiffany Hwang! Kapten tim cheerleader SMA kita! Yang menjadi homecoming queen dua tahun berturut-turut?”
Wajah keduanya tiba-tiba berubah cerah, dan mereka lalu memeluk Tiffany. Tiffany berhasil tahu identitas Yoona dan Sunny, tapi wanita satunya sedikit sulit.
Wanita tinggi itu tersenyum. “Unnie, aku Seohyun.”
Seohyun! Tiffany menyadari. Tentu saja itu dia! Seohyun adalah adik kelas Tiffany, jadi wajar dia tidak mengingatnya—tapi keempatnya dulu sangat dekat di SMA. Ketiganya bergabung di tim cheerleader sekolah, dan Sunny sering berada di atas piramid karena berat badannya yang ringan dan proporsi tubuhnya.
Lee Sunny memukul lengan Tiffany pelan, tersenyum. “Jadi, sekarang kau seorang desainer, eh?”
Sebelum Tiffany sempat berbicara, Im Yoona berkata, “Kenapa kita tidak makan siang saja? Aku tidak sarapan dan aku kelaparan.”
“Aku dengar ada restoran Indonesia yang bagus di dekat sini,” ujar Seohyun. Itu sangat lucu untuk Tiffany—Seohyun adalah tipe gadis yang kalem, dan dia jarang berbicara, meski dia orang yang ramah.
Sunny menganggukkan kepalanya dan mengaitkan lengannya dengan lengan Tiffany. “Baiklah, kalau begitu! Sudah lama sekali sejak kita semua terakhir kali bertemu! Ayo!”
Lima belas menit kemudian, keempat gadis itu sudah duduk melingkari sebuah meja bundar di dalam sebuah restoran. Tiffany sangat senang dia bertemu dengan teman-teman sekolahnya—menghabiskan liburan di tempat yang sangat indah tidak menyenangkan bila sendirian.
Setelah si pelayan datang dan mengambil pesanan, Sunny meanruh lengannya di atas meja dan menatap Tiffany. “Kenapa kau bisa di sini? Aku selalu tahu kau orang yang suka sekali bekerja. Dulu kau menjadi kutu buku yang cantik.”
Ketiganya tertawa, tapi Tiffany memutar bola matanya. “Aku ingin tetap berada di Paris, tapi kedua orangtuaku memaksaku untuk berlibur di sini.”
“Bagus untuk melihat matahari sesekali,” Yoona berbicara. “Aku sudah berada di sini selama berminggu-minggu. Aku sudah mengunjungi Pantai Kuta sekitar ribuan kali. Kau harus ke sana, Tiffany-ah. Selalu menyenangkan ketika kau mengunjunginya di sore hari.”
Tiffany mengangguk, menambahkan Pantai Kuta ke daftar tempat-tempat yang harus dikunjunginya di kepalanya.
“Kau menginap di mana, unnie?” tanya Seohyun. Tiffany cepat menyadari bahwa dia menggunakan jondaemal—bahasa formal.
Tiffany berdecak. “Kau masih menggunakan bahasa formal?”
Pipi Seohyun berubah warna menjadi pink terang. “Yah, ini kebiasaan, unnie. Dan kau tidak menjawab pertanyaanku.”
Tiffany tertawa. Seohyun sangat menggemaskan, tapi Sunny justru lebih menggemaskan ketika yang disebut belakangan menunjukkan aegyo-nya. “Di Karma Kandara. Kau tahu, resor itu.”
“Yang mana?” tanya Yoona. “Ada dua. Satu di Ungasan, dan yang satu lagi… Yah, aku tidak tahu di mana yang satu lagi.”
“Yeah, yang di Ungasan.”
Mata Yoona melebar. “Benarkah? Karena kami bertiga juga menginap di sana!”
Sungguh kebetulan.
Makanan mereka tiba, dan Yoona-lah yang paling bersemangat. Sunny, yang sedari tadi tidak berbicara, membuka mulutnya. “Kautahu, kita bisa saja menghabiskan seluruh musim panas bersama. Kita berempat.”
Ide itu kedengaran bagus untuk Tiffany. Itu adalah hari pertamanya di Bali, dan dia sudah tidak sendirian lagi. “Menurutku itu ide yang bagus.”
Sunny tersenyum ke arahnya sebelum menatap gadis-gadis yang lain. “Jadi?”
“Yah, aku oke-oke saja dengan itu.” Yoona mengangkat bahu. “Kau, Seo?”
Seohyun menganggukkan kepalanya. “Ya, menurutku itu bagus.”
“Sudah diputuskan, kalau begitu!” kata Sunny gembira.
***
Minggu, 3 Juli, 2011
5.25 KST
Pantai Namos, Denpasar, Bali, Indonesia
***
Resor itu luas, dan Tiffany baru saja tahu bahwa ada sebuah pantai bernama Pantai Namos di dekatnya. Yang perlu kaulakukan hanyalah naik ke lift putih yang akan menuruni jalan rel baja, dan kau sampai. Di sore hari, setelah berbelanja untuk semua suvenir untuk keluarganya—Heechul gembira sekali setelah Tiffany mengirimkan foto sandal barunya—dan berpisah dengan Yoona, Seohyun, dan Sunny, Tiffany menghabiskan waktunya di pantai.
Tiffany tidak berani bermain di air. Dia tidak ingin tenggelam atau semacamnya. Dia hanya berjalan di pantai, terkadang mengambil kerang sebelum mengembalikannya ke tanah. Dia mengeratkan syal sutra di lehernya. Agak dingin suasananya di sore hari.
Tiffany selesai berjalan berputar-putar seperti orang gila dan duduk di salah satu kursi pantai yang panjang. Setelah memesan minuman, dia bersandar, menikmati pemandangan langit yang berwarna abu-abu terang. Langit itu terlihat seperti lukisan dari bawah sini.
Ketika matahari sudah terbenam dan hanya sedikit orang yang berada di sana, Tiffany meninggalkan pantai. Dia memasuki lift dengan salah satu staf yang selalu berada di sana. Dia kembali ke rumahnya di resor, berbaring di tempat tidurnya yang bertiang empat.
“Berapa lama lagi sampai aku pergi?” Tiffany bergumam kepada dirinya sendiri. Dia ingin kembali bekerja… Dia jarang bersosialisasi sama sekali.
Tiffany pergi untuk mandi sebelum menyadari sesuatu. Dia menyentuh lehernya dengan tiba-tiba.
Di mana syalku?!
Dia memandang tempat tidurnya, yang tidak ada apapun di atasnya kecuali selimut dan beberapa bantal. Tiffany berjalan keluar dari rumah, panik terlihat jelas di wajahnya. Itu bukan hanya sebuah syal—itu adalah syal dari neneknya tersayang. Dan Tiffany tidak ingin kehilangan apapun di sini.
Tiffany pergi ke lift, tapi lift tersebut berada di bawah, di pantai. Dia perlu menunggu lift itu naik ke atas lagi. Tiffany bergumam pelan, ketika dia merasakan seseorang menyentuh bahunya pelan.
“Permisi, Nona?”
Itu adalah suara yang jelas-jelas suara pria, dan Tiffany berputar. Seorang pria tinggi dan berotot berdiri di depannya, memegang sesuatu yang tampaknya merupakan…
“Syalku!” tunjuk Tiffany.
Pria itu terkekeh dan memberikannya ke Tiffany. “Aku melihatmu meninggalkannya di kursi pantaimu tadi. Aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi—untung saja aku menemukanmu.”
Tiffany menerima kembali syalnya, menunjukkan senyum tulus ke pria itu. “Aku tidak bisa cukup berterima kasih padamu untuk ini.”
“Tidak apa-apa,” balas pria itu, memberi Tiffany senyuman lebar.
“Sungguh, adakah sesuatu yang bisa kulakukan untuk membalasmu?” Tiffany berkata, lebih terkesan memaksa.
Pria itu terdiam selama beberapa saat, sebelum tersenyum lagi. “Kau bisa membelikanku secangkir kopi besok.”
Kopi? Tiffany mengharapkan sesuatu seperti mencuci bajunya atau semacamnya. “Baiklah. Starbucks?”
Pria itu menganggukkan kepalanya, senyum masih terpasang di wajahnya. “Kita mungkin perlu memperkenalkan diri kita sendiri dulu.” Dia mengulurkan tangannya. “Choi Siwon.”
Tiffany menjabatnya. “Tiffany Hwang.”
***
Senin, 4 Juli, 2011
9.00 KST
Starbucks Coffee, Denpasar, Bali, Indonesia
***
Tiffany mulai merasa konyol.
Dia baru saja bertemu seorang pria kemarin. Apa itu baik untuk bertemu seorang asing di hari pertama liburanmu? Tiffany tidak suka bertemu dengan orang asing, tapi dia perlu berterima kasih kepada pria itu.
Tiffany mengetuk meja dengan jemarinya, menatap pemandangan di luar. Hari ini cerah, dan Tiffany ingat “janjinya” pukul satu siang nanti. Menghabiskan waktu dengan teman-temannya.
“Apa aku telat?”
Dia mendongak dan melihat pria itu berdiri di sampingnya. Tiffany berdiri dalam diam, tersenyum. “Tidak. Aku datang terlalu pagi.” Dia melambaikan tangannya, menyuruhnya duduk.
Setelah keduanya duduk dan mendapatkan pesanan mereka, Tiffany menatap pria itu. Siwon. Ya, itu namanya. “Apa yang membuatmu datang ke Bali?” tanyanya dalam bahasa Korea.
Siwon nyaris tersedak. “Kau bisa berbicara dalam bahasa Korea?”
Tiffany menganggukkan kepalanya. Siwon memang berbicara kepada Tiffany dengan bahasa Inggris kemarin. “Kau kelihatan seperti orang Korea.”
“Aku hanya menghabiskan liburan di sini,” jawab Siwon, tersenyum. Tiffany berpikir bahwa tidak melelahkan baginya untuk tersenyum sepanjang hari. “Enak rasanya keluar dari kantor sesekali.”
“Kantor?” Tiffany tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Siwon mengangguk. “Aku direktor eksekutif di perusahaan keluargaku.”
Tiffany mengerutkan bibirnya sambil mengangguk. “Begitu.”
“Kenapa kau di sini?”
“Orangtuaku.”
Siwon mengangkat sebelah alis, menunjukkan bahwa dia tidak mengerti.
Tiffany memandang pemandangan di luar. Entah bagaimana dia menyukainya. Dia tidak pernah melihat pemandangan luar dalam waktu yang lama, karena pekerjaannya. “Mereka ingin aku istirahat dari pekerjaanku.”
“Pasti susah menjadi seorang desainer.”
Tiffany mengamatinya. “Bagaimana kau tahu?”
Siwon terkekeh sambil meminum kopinya. “Kau terkenal, Tiffany-ssi. Ibuku sangat menyukai label fashion-mu. Hwang’s Fashion House, kan?”
Tiffany menganggukkan kepalanya. “Dan kau sendiri? Bidang macam apa tempat kau bekerja?”
“Arsitektur.”
“Ah.” Ekspresi Tiffany berubah cerah. “Keluargaku punya satu. Itu juga perusahaan arsitektur, tapi saudaraku yang mengelolanya.”
Siwon tersenyum. “Begitu,” dia meniru kata-kata Tiffany sebelumnya.
Tiffany tidak bisa menahan tawanya.
“Apa yang kautertawakan?” Senyum Siwon memudar.
“Aku tidak tahu. Kau hanya terlihat…” Tiffany berusaha menemukan kata yang tepat. “Lucu?”
Siwon mengangkat alisnya, sebelum tawanya meledak juga. “Lucu? Ini kali pertama seseorang menyebutku seperti itu.”
Tiffany tersenyum. “Kalau begitu, aku merasa terhormat.”
Dan Tiffany cukup kaget, karena percakapan mereka berjalan cukup baik. Mereka tidak kehabisan topik, dan bagus baginya untuk mengenal seseorang, terpisah dari pegawai baru. Tiffany langsung tahu bahwa Siwon adalah pria yang ramah—dan sangat sopan, pula.
“Oh, sudah hampir jam setengah sebelas!” Siwon memandang jam tangannya. “Kurasa kita telah lupa waktu.”
Tiffany memandangi jam tangan Siwon. Sudah hampir jam setengah sebelas. Lalu dia teringat. “Oh!” Dia buru-buru berdiri, membuat Siwon mendongak ke arahnya, kebingungan.
“Aku harus pergi.” Tiffany segera mengemasi barang-barangnya, meski barang-barangnya tidak begitu banyak. “Aku punya semacam janji dengan teman-temanku.”
Siwon menganggukkan kepalanya. “Begitu. Yah, senang bertemu denganmu, Tiffany-ssi.” Dia berdiri juga. “Dan terima kasih atas kopinya.”
Tiffany tersenyum, menunjukkan eye-smile-nya. “Tidak apa-apa. Aku berhutang padamu.” Dia membungkuk dan pergi, tapi kakinya berhenti ketika Siwon memanggilnya.
“Kita akan berbicara lagi, kan?”
***
Senin, 4 Juli, 2011
10.00 KST
Toko Buku Gramedia, Denpasar, Bali, Indonesia
***
“Di mana, sih?”
Yoona mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan ke rak buku yang lain, kedua tangannya berada di atasnya, mencari-cari sebuah buku bersampul coklat.
Tidak ada di sana.
Yoona cepat-cepat berdiri, menyeret kakinya ke rak buku lain.
Dia sedang mencari sebuah buku. Bukan hanya sebuah buku, tapi sebuah buku yang spesial. Judulnya An Autumn Symphony. Yoona tahu tentang buku ini dari ibunya—buku itu menceritakan tentang cinta, hidup, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Ny. Im sendiri punya buku itu, tapi sudah rusak—banyak halaman sudah sobek, tulisan yang kabur, membuatnya mustahil untuk dibaca.
Yoona melanjutkan mencari sambil berjalan. Matanya terpaku pada sebuah rak buku di sebelah kirinya, tidak melihat apa yang ada di depannya. Hingga…
BRUK.
Semuanya terjadi dengan begitu cepat.
Hal berikutnya yang diketahui Yoona, dia berada di bawah tumpukan buku, kepalanya berputar-putar hingga sakit.
“Oh!” Dia mendengar seorang pria berteriak. Tiba-tiba dia ditarik dari lautan buku itu.
Ternyata yang menariknya adalah seorang pria tinggi, berotot, dengan rambut coklat yang tidak begitu rapi. Dia kelihatan sangat terkejut. “Kau baik-baik saja?” katanya dengan bahasa yang asing.
Yoona mengangkat alisnya. Dia menebak itu pasti bahasa Indonesia. Yoona tidak memahami bahasa itu. “Maaf?” katanya dalam bahasa Korea.
Mata pria itu berubah cerah, tapi berubah lagi menjadi khawatir. “Apa kau baik-baik saja, Nona?” Dia bertanya dalam bahasa Korea kali ini.
Oh. Dia bisa berbicara bahasa Korea. “Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja,” Yoona cepat-cepat menyatakan. Dia benar-benar tidak suka menunjukkan kelemahannya kepada orang lain. Yoona ingin dianggap sebagai wanita yang kuat, bukan wanita yang manja.
“Apa kau yakin?” desak pria itu. “Menurutku buku-buku tadi mengenai kepalamu dengan cukup keras. Aku minta maaf karena telah menyebabkan insiden ini.”
Yoona menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku baik-baik saja, sungguh.”
“Apa kau perlu pergi ke rumah sakit?”
Mata Yoona melebar. “Tidak, tentu saja tidak. Aku bilang, aku baik-baik saja.”
Yoona baru saja akan membungkuk dan berjalan pergi, tapi pria itu memegang tangannya. “Kumohon. Aku masih merasa bersalah tentang apa yang terjadi.”
“Itu bukan salahmu,” kata Yoona, berharap hal itu akan menyelesaikan pembicaraan mereka.
Tapi Yoona bukanlah orang yang punya hati seperti es. Dia tidak bisa berjalan pergi meninggalkan seseorang yang jelas-jelas merasa bersalah.
Setelah beberapa permohonan dari pria asing itu, Yoona mendesah. “Baiklah, kalau begitu. Kau bisa membawaku ke rumah sakit.”
Pria itu tersenyum dan menarik Yoona keluar dari toko buku. Mereka memasuki mobilnya, dan Yoona mulai merasa tidak nyaman. Dia sedang berada di dalam sebuah mobil dengan orang asing. Bagaimana kalau dia seorang penculik atau semacamnya?
Dalam perjalanan, Yoona mengecek jam tangannya. Dia masih harus ke mal untuk pergi janjian dengan teman-temannya. Dia tidak boleh telat. Yoona baru saja ingin bicara, ketika mobil berhenti. Mereka telah sampai.
Keduanya keluar dari mobil—pria itu menawarkan membukakan pintu untuk Yoona, tapi yang disebutkan belakangan menolak—dan Yoona pun diperiksa. Setengah jam kemudian, Yoona melihat pria asing itu lagi, dengan seorang dokter.
“Bagaimana dia?” tanya pria itu.
“Tidak ada masalah. Dia baik-baik saja,” kata dokter itu. “Kau telah melakukan hal yang benar, karena dia tenggelam di tumpukan buku. Tapi dia berada dalam kondisi yang bagus.”
Pria itu berterima kasih kepada dokter tersebut dan membawa Yoona keluar. Yoona menyunggingkan senyum tipis. “Terima kasih, tapi kau seharusnya tidak mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Pria itu mengangguk. “Tapi aku bukan tipe orang yang bisa mengabaikannya begitu saja.”
“Baiklah, kalau begitu. Terima kasih untuk tumpangannya, dan rumah sakit tadi—aku benar-benar harus pergi.” Yoona berjalan menuruni undakan tangga rumah sakit, tapi lagi-lagi pria itu menghentikannya.
“Bagaimana kalau aku membelikanmu makanan?”
***
Yoona belum pernah datang ke restoran Indonesia ini sebelumnya. Restoran itu mewah, sangat mewah. Pria itu mentraktirnya, masih merasa bersalah. Yoona tahu bahwa berdebat dengannya tidak ada gunanya.
“Jadi, karena kau mentraktirku,” Yoona berbicara setelah mereka memesan makanan, “bukankah aku harus tahu namamu?”
Pria itu tersenyum. Yoona bersumpah bahwa entah bagaimana, dia mengingatkannya akan ikan. “Lee Donghae,” dia menjawab.
Yoona juga terenyum. “Im Yoona.” Dia mengulurkan tangannya, dan keduanya berjabat tangan.
“Kau tidak bisa berbicara bahasa Indonesia?” Donghae bertanya.
Yoona menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku hanya bisa bahasa Korea, Jepang, dan Inggris. Kelihatannya ketiga bahasa itu tidak membantu banyak.”
Donghae terkekeh. “Kau harusnya membawa kamus bahasa Indonesia. Aku berani bertaruh kau tidak tahu apapun tentang apa yang dikatakan dokter tadi.”
Yoona memutar bola matanya. “Kau penejermahku.”
“Kau di sini sendirian, kalau begitu?”
“Tidak. Aku bertemu teman-temanku. Kami janjian jam satu.”
Donghae menganggukkan kepalanya, mengamati tempat itu. “Kurasa aku tidak akan membuatmu tinggal lama di sini.”
Yoona tertawa, meski tidak ada yang bisa ditertawakan.
Setelah makanan mereka tiba, mereka mengenal satu sama lain. Yoona tidak pernah merasa nyaman dengan orang asing—itulah alasan kenapa dia tidak punya banyak teman. Tapi, dengan suatu cara, Lee Donghae membuatnya nyaman.
“Astaga, sudah hampir jam satu!” Yoona melihat jam tangannya. Dia cepat-cepat berdiri, mengambil tas tangannya. “Aku minta maaf, Donghae-ssi, tapi aku harus pergi.”
Donghae mendongak ke arahnya, kaget. “Apa kau perlu tumpangan?”
Yoona menggelengkan kepalanya dan mulai berlari menuju pintu depan. “Terima kasih untuk segalanya, Donghae-ssi! Selamat tinggal!”
***
Senin, 4 Juli, 2011
10.05 KST
Time Zone Game Center, Denpasar, Bali, Indonesia
***
Sunny memasuki ruangan besar yang mengambil satu lantai untuk ruangan itu sendiri di dalam mal. Tempat itu adalah Time Zone, game center terkenal. Sunny selalu senang bermain games. Memenangkan hadiah dengan mengumpulkan tiket selalu membuatnya bersemangat.
Dia pertama-tama berjalan menuju game DDR—Dance Dance Revolution. Itu adalah game favoritnya, terutama karena dia bisa menari dengan cukup baik. Tapi sayangnya, seseorang telah memainkan game itu sendirian.
Orang itu laki-laki, dengan rambut hitam yang membingkai wajahnya dengan sempurna. Dia sedang memegang bar merah di belakangnya, sementara kakinya “bekerja” di lantai. Hal itu menarik perhatian orang lain, dan Sunny dengan cepat menjadi cemburu. Dia selalu suka menjadi pusat perhatian, dan itu membuatnya kesal bila orang lain juga menjadi pusat perhatian.
Lagu itu berhenti, dan orang-orang berjalan pergi. Sunny sedikit senang tentang ini, dan mendekati pria berambut hitam itu. “Permisi,” katanya.
Pria itu menoleh ke arah Sunny. Apa yang dilihatnya membuatnya terkejut. Tiba-tiba, jantungnya berdegup lebih cepat, tapi Sunny tidak menyadari ekspresi wajahnya.
“Apa kau selesai dengan itu?” Sunny menunjuk ke arah DDR.
Sunny menunggu respon pria itu, tapi kelihatannya dia tidak akan merespon. “Halo? Permisi?”
Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia tersenyum canggung, sebelum berkata, “Bagaimana kalau kau menari bersamaku?”
“Maaf?” Kata itu meluncur dari mulut Sunny.
Pria itu mengangkat bahu. “Aku mencari rival menari. Dan”—matanya mengamati Sunny sesaat—“kau kelihatannya… lumayan.”
Sunny tidak suka melakukan apapun dengan orang asing. Dia bisa saja berbahaya, pikirnya. Tapi bagaimana bisa, dengan wajah pria itu yang lucu dan menggemaskan—dan juga tampan?
“Halo? Nona?”
Sunny kembali ke dunia nyata. “Oh, ya.” Dia menatap Sungmin, menimbang-nimbang sejenak. Dia bisa saja bermain game yang lain, tapi bagaimana kalau mereka bertemu setelahnya? Pasti akan canggung, dan Sunny benci menjadi orang yang canggung.
“Baiklah, sekali saja.”
Sunny berjalan naik, dan tiba-tiba orang asing itu mengulurkan tangannya. “Kurasa kita harus mengenalkan satu sama lain dulu. Aku Lee Sungmin.”
“Lee Sunny.” Sunny menjabat tangannya. “Kita punya nama keluarga yang sama, eh?”
Sungmin tersenyum. “Mungkin itu hanya kebetulan.” Dia berdiri tegak dan mulai menginjak panah-panah di lantai, membuat bunyi yang keras. “Mau lagu yang mana?”
Sunny memilih satu lagu, dan Sungmin mengaturnya menjadi battle untuk dua orang. Ketika lagu dimulai, Sunny tidak memikirkan hal lain kecuali panah-panah yang berkelap-kelip di layar. Kakinya bergerak sesuai irama, dan itu merupakan hal yang gampang untuknya, karena dia adalah penari yang berbakat.
Ketika lagu itu akhirnya berhenti, Sunny mengalahkan Sungmin. Sunny tersenyum bahagia, menatap “teman barunya”, yang kelihatan capek. “Aku menang! Aku minta maaf aku mengalahkanmu saat kita pertama kali bertemu.”
Sungmin mengibaskan tangannya. “Tidak apa-apa, sungguh. Tapi… bagaimana dengan pertandingan ulang?” Dia nyengir.
Sunny menyipitkan matanya, kemudian nyengir balik. “Oke.”
Di babak kedua, Sungmin menang. Sunny ingin pertandingan ulang, dan kali ini Sunny menang lagi. Terus berlanjut, sampai mereka tidak tahu berapa kali mereka telah bermain DDR.
“Menurutku kita harus istirahat.” Sungmin turun dari “panggung” dan menaruh kedua tangan di pinggangnya.
Sunny mengangkat alisnya, dadanya naik-turun. “ ‘Kita’?”
Mata Sungmin dan Sunny bertemu. Tidak ada yang bicara, tapi Sunny mematahkan kontak mata yang tegang itu cepat-cepat.
“Yah, kau sendirian di sini, kan?” Sungmin berkata, berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa.
Sunny mengangguk.
“Kurasa kita bisa… bermain beberapa game bersama? Tidak akan seru kalau kita bermain sendiri-sendiri.”
Sunny tetap diam. Ya, itu tidak akan seru. Lagi pula, apa ruginya? Mungkin dia bisa membuka diri ke si Sungmin ini dan berteman dengannya.
“Baiklah,” balas Sunny. “Game apa lagi?”
Sungmin tersenyum dan meraih tangan Sunny, menariknya turun dari panggung. Mereka memainkan game yang bisa memberikan mereka tiket, dan mulai mengumpulkannya. Mereka menjelajahi lantai itu, dan mengumpulkan lebih dari selusin tiket dalam dua jam, lebih atau kurang.
Sunny, yang memegang semua tiket pink mereka, menjerit bersemangat. “Ini bagus! Kita bisa membaginya menjadi dua dan—”
“Jadi dua?” potong Sungmin. “Kurasa kita bisa memberikan semuanya ke salah satu staf. Mungkin kita akan dapat hadiah yang bisa kita bagi.”
Sunny setuju dan keduanya berjalan ke konter. Tiket mereka cukup untuk mendapatkan sebuah boneka teddy bear raksasa yang berwarna putih dan halus.
“Oh, lihat!” Sunny menunjuk ke arah boneka seperti anak kecil. “Sangat lucu!”
Seorang staf pria memberikan Sunny boneka itu, dan dia memeluknya erat-erat. Sisi kekanak-kanakannya sedang muncul lagi. Dia membenamkan wajahnya di bulu boneka yang lembut. Aromanya seperti permen lolipop.
“Terima kasih,” Sungmin berkata kepada staf itu dan menyeret Sunny menjauh dari konter, yang masih tersenyum dan memeluk boneka itu. “Kau kelihatan seperti seorang anak kecil, jujur saja, Sunny-ssi.” Sungmin terkekeh.
Sunny cemberut, menunjukkan aegyo padanya. “Aku hanya menyukai boneka.” Mereka melanjutkan berjalan keluar dari game center, hingga Sunny berhenti. “Tunggu. Kita tidak bisa memotong Lee menjadi dua.”
Sungmin menoleh ke arahnya. “Lee siapa?”
Sunny cemberut lagi dan setengah menggoyangkan tubuhnya, mengangguk ke arah teddy bear putih di pelukannya. “Aku menamainya,” jelasnya, sebelum Sungmin bisa bicara. “Karena nama keluarga kita sama. Aku ingin menamainya Lolipop, tapi dia kelihatannya laki-laki.”
Sungmin menahan godaan untuk memutar bola matanya. Lee Sunny sungguh berbeda dari cewek-cewek yang pernah ditemuinya sebelumnya. “Kurasa boneka ini tidak punya jenis kelamin.”
Sunny mengangkat bahu. “Pilih satu, kalau begitu.” Dia berputar ke arah Sungmin. “Apa kita perlu membaginya? Aku akan memegang sisi kanan bonekanya—”
Sungmin segera menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak! Jangan bagi dia. Itu untukmu,” katanya, tersenyum tulus.
“Kenapa?”
“Aku tidak suka putih. Aku suka pink.”
Wajah Sunny berubah kosong. Jarang bagi laki-laki untuk menyukai warna pink, tapi biarlah. “Aku masih merasa kita harus membaginya jadi dua.”
Sungmin tertawa dan mengibaskan tangannya. “Tak apa-apa. Aku baik-baik saja. Senang bertemu denganmu, Sunny-ssi.” Dia membungkuk, dan Sunny balik membungkuk. Ketika dia berdiri tegak lagi, dia teringat sesuatu.
“Oh, aku harus pergi!” Dia buru-buru berlari ke arah lift, meninggalkan Sungmin yang kebingungan sendirian.
***
Senin, 4 Juli, 2011
11.00 KST
Perpustakaan Kota, Denpasar, Bali, Indonesia
***
Perpustakaan itu tenang, seperti perpustakaan-perpustakaan lainnya. Tidak ramai, dan atmosfernya sunyi. Seohyun adalah salah satu orang yang senang membaca di sana.
Seohyun tersenyum dan menutup buku yang baru saja selesai dibacanya. Itu adalah buku tentang sejarah dunia. Dia mengambil jurusan Sastra dan Sejarah saat kuliah, dan Seohyun sangat tertarik dengan keduanya.
Dia berdiri, menaruh buku kembali di raknya, dan mulai mencari buku yang lain. Janjinya dengan teman-temannya masih dua jam lagi. Seohyun tidak tahu apa yang harus dilakukannya hingga pukul satu, jadi dia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan—dan itu adalah keputusan yang bagus.
Sebagian buku di sini berbahasa Indonesia, tapi itu bukan kesulitan untuk Seohyun. Dia menguasai bahasa Indonesia karena dia mempelajarinya di Australia.
Lalu, ada sebuah buku bersampul kulit coklat, huruf-huruf emas terembos di permukaannya. Judulnya tentang sebuah buku sejarah lainnya, dan Seohyun menariknya dari rak secepatnya. Tapi, yang membuatnya kaget, adalah buku itu tertarik kembali ke raknya, tidak memperbolehkan Seohyun menariknya keluar.
“Apa?” Seohyun tersentak, tangannya masih di buku itu. Dia menariknya lagi, dan hal yang sama terjadi.
Buku itu tetap menarik dirinya sendiri ke dalam rak, dan Seohyun mulai merasa kesal. Dia cemberut, tapi dia menarik buku itu lagi.
Dan kali ini, muncul sebuah cela di antara buku-buku, menunjukkan sepasang mata pria.
Jantung Seohyun melompat dan dia tersentak. Kalau bukan untuk kursi di belakangnya, dia pasti jatuh ke lantai. Ketika jantungnya stabil lagi, seorang pria sudah berdiri di sampingnya. Seohyun mengenali matanya. Itu pasti pria yang telah melihatnya lewat cela tadi.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya.
Seohyun mengedipkan matanya. “Y-Ya, aku baik-baik saja.”
Matanya menangkap buku itu, yang berada di lantai. Dia pasti tidak sadar buku itu jatuh ke lantai. Dia ingin mengambilnya, tapi pria itu jauh lebih dulu daripadanya.
“Maafkan aku, aku yang menarik buku ini dari sisi sebaliknya.” Pria itu meminta maaf.
Seohyun tersenyum. “Tidak apa-apa. Kau bisa membacanya duluan.”
Di luar dugaannya, pria itu cemberut. “Kita bisa membacanya bersama-sama. Tak akan adil kalau tidak.”
Seohyun menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, sungguh.”
“Aku bersikeras.” Pria itu tersenyum dan menarik kursi. Dia duduk, memberi Seohyun isyarat bahwa dia sebaiknya duduk di sebelahnya.
Seohyun merasa tidak nyaman—dia biasanya menghindari berkontak dengan orang asing dengan cara apapun—tapi apa yang bisa dilakukannya? Kabur dari perpustakaan?
“Tidak apa-apa, aku tidak menggigit atau semacamnya,” pria itu terkekeh.
Masih ragu, Seohyun duduk di sebelah pria itu. Pria itu membuka buku dan menaruhnya di atas meja. Dia mulai membaca, dan Seohyun juga. Setelah beberapa saat, Seohyun akhirnya mengabaikan jarak mereka dan membaca buku itu dengan nyaman.
“Siapa namamu?” Dia mendengar pria itu bertanya.
Seohyun menatapnya. Pria itu hanya tersenyum. “Aku hanya berpikir ini sedikit tidak nyaman, karena aku tidak tahu namamu.”
“Seohyun,” Seohyun berbicara. “Joo Seohyun.” Tanpa berpikir, dia mengulurkan tangannya.
Pria itu menjabatnya. “Cho Kyuhyun. Senang bertemu denganmu, Seohyun-ssi.”
“Senang bertemu denganmu juga.”
Mereka berhenti berbicara, dan pembicaraan mereka hanya, “Siap untuk pergi ke halaman selanjutnya?”, “Ya, silahkan”, dan “Sebentar, aku belum selesai”.
“Jadi, kenapa kau datang ke sini?” Kyuhyun tiba-tiba berkata.
Seohyun memandangnya, tapi Kyuhyun tidak memandang balik. “Aku hanya sedang berlibur.”
Kyuhyun mengangguk, membalik halaman. “Kau kelihatan muda, harus kukatakan.”
Seohyun tersenyum. “Aku sering mendapatkannya. Aku dua puluh dua tahun.” Seohyun tidak tahu kenapa dia baru saja memberitahunya usianya, tapi si Kyuhyun ini kelihatannya bisa dipercaya.
“Kau dua tahun lebih muda dariku,” Kyuhyun terkekeh. “Aku yang tua.”
Seohyun menggelengkan kepalanya. “Sebenarnya, kau kelihatan muda. Kau punya semacam wajah yang lucu.”
Mata Kyuhyun bertemu dengan mata Seohyun. Mereka saling menatap untuk beberapa saat, sebelum Kyuhyun akhirnya berbicara. “Wajah yang lucu? Itu kali pertama aku dipanggil ‘wajah yang lucu’.”
Seohyun terkikik. “Aku merasa terhormat.”
Mereka melanjutkan membaca, tapi Kyuhyun membuka mulutnya lagi. “Kau pasti sudah lulus kuliah.”
“Ya, aku sudah,” Seohyun mengiyakan. “Musim semi ini.”
Kyuhyun tersenyum. Entah bagaimana, Seohyun merasa terkesan telah melihat senyum indah itu. “Selamat.”
“Terima kasih.” Seohyun setengah membungkukkan kepalanya. “Bagaimana denganmu?”
“Aku?” Kyuhyun menunjuk ke dirinya sendiri. “Aku juga baru saja lulus. Harvard.”
Bibir Seohyun membentuk huruf O. “Itu luar biasa. Harvard adalah universitas yang sangat bergengsi.”
“Jurusan apa yang kau ambil?”
“Sastra dan Sejarah.”
“Aku mengambil medis.”
“Jadi, kau akan menjadi seorang dokter?”
“Semacam itu. Apa kau menulis buku? Kau mengambil sastra.”
Seohyun merasakan panas merayap ke pipinya. Selalu seperti ini bila orang-orang menanyakannya pertanyaan itu. “Ya. Hanya satu, sebenarnya. Aku mengerjakannya sejak dua tahun lalu. Untung publik menyukainya.”
Kyuhyun menatap Seohyun dengan penuh kekaguman. “Kau pasti terkenal!”
Mereka berbicara dalam waktu yang sangat lama, hingga Seohyun mengecek jam tangannya. Jam satu kurang empat puluh lima menit. “Oh, astaga, aku telat!” Dia berdiri dan mengambil barang-barangnya.
“Telat?” ulang Kyuhyun, bingung.
Seohyun mengangguk. “Aku punya janji dengan senior-seniorku.” Dia memakai jaketnya dan menyelempangkan tasnya di bahunya. “Sangat senang bertemu denganmu, Kyuhyun-ssi. Aku harap kita bisa bertemu lain waktu.”
Kyuhyun mengangguk, meski wajahnya dipenuhi ekspresi kecewa. “Sangat senang bisa bertemu dengan gadis mengagumkan sepertimu juga, Seohyun-ssi.”
Wajah Seohyun nyaris berubah warna menjadi merah seperti tomat, tapi dia segera keluar dari perpustakaan. “Selamat tinggal!”
***
Senin, 4 Juli, 2011
13.05 KST
Pizza Hut, Denpasar, Bali, Indonesia
***
Mereka sudah berada di dalam, duduk mengitari meja kayu bundar di dalam restoran Italia. Semuanya menatap Sunny, yang membawa boneka besar dengannya.
“Apa gunanya itu dibawa?” tunjuk Yoona.
Sunny memandang Lee dan tersenyum. “Aku memenangkannya.”
“Kukira game center buka jam sepuluh,” gumam Tiffany. “Kau pasti cukup cepat dalam mengumpulkan tiket.”
Sunny mengangkat bahu. “Aku bertemu seorang pria yang membantuku memenangkan ini.”
Ketiga orang lainnya langsung memfokuskan diri mereka ke Sunny. Sunny menatap balik. “Apa? Itu hanya seorang cowok, ya ampun. Bukan berarti kita berkencan atau apa. Kami bermain DDR dan lainnya, tidak ada yang istimewa.”
Yoona menganggukkan kepalanya, menyeringai. “Yeah. Tidak ada yang istimewa.”
Sunny menyipitkan matanya ke arah Yoona. “Yoona-ah, ada apa di dalam pikiranmu?”
Yoona menggelengkan kepalanya secara defensif. “Tidak ada, Sunny-ah.”
“Kenapa kita tidak memesan makanan?” timpal Seohyun.
Setelah si pelayan mengambil pesanan mereka dan pergi meninggalkan meja, Tiffany menghela napas. “Aku punya sesuatu untuk dibicarakan. Aku baru saja bertemu dengan seorang cowok hari ini. Yah, kami punya janji, sebenarnya. Aku membelikannya kopi.”
Yoona, Seohyun, dan Sunny kelihatan kagum. Tiffany sangat pemilih soal cowok. “Apa?” tanya Tiffany, menatap mereka semua. “Dia sangat baik.”
Seohyun tersenyum. “Itu bagus, unnie. Aku juga bertemu seorang cowok hari ini di perpustakaan. Dia dari Harvard. Dia mungkin sangat berbakat.”
“Kita semua bertemu cowok,” kata Sunny. “Dan bagaimana dengan Yoona kita?”
Semuanya secara otomatis berpaling ke arah Yoona. Yoona terbelalak dan menggigit bibirnya. “Apa? Aku, yah, aku juga bertemu cowok.”
Tiffany kelihatan tidak percaya. “Kita semua? Di hari yang sama?”
“Bagaimana kalau ini seperti di film-film?” bisik Sunny. “Kita berempat bertemu cowok yang sama.”
Seohyun menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak. Perbedaan waktunya. Aku sedang berada di perpustakaan dan pergi lima belas menit sebelum jam satu, ketika Sunny unnie pergi lima menit kemudian. Dia tidak bisa berada di empat tempat secara bersamaan.”
“Aku penasaran apakah aku akan bertemu dengannya lagi,” kata Yoona berangan-angan. “Dia sangat baik, kalian tahu.”
“Dan tampan,” tambah Tiffany.
“Dia tidak tampan, dia menggemaskan,” balas Sunny.
“Kurasa dia sama-sama tampan dan menggemaskan,” Seohyun berbicara.
Keempatnya berhenti berbicara, hanya bertukar senyum, pikiran mereka dipenuhi oleh pria yang telah mereka temui.
***
Senin, 4 Juli, 2011
14.15 KST
Resor Karma Kandara Ungasan, Denpasar, Bali, Indonesia
***
“Tiga puluh empat… tiga puluh lima… tiga puluh enam…”
Siwon melanjutkan kegiatan push-up-nya di lantai, ketika dia mendengar bel berbunyi.
Dalam beberapa detik, Siwon sudah berdiri, alisnya berkerut. Siapa yang datang? Tiffany hanya satu-satunya yang dikenal Siwon di tempat ini, kecuali…
Dia membuka pintu, menunjukkan tiga orang yang sudah diduganya.
“Hyung!” Kyuhyun tersenyum lebar dan memeluk Siwon. “Bagaimana keadaanmu?”
Siwon terkekeh. “Baik, seperti biasa. Silahkan masuk.”
Dia menyingkir, membiarkan Kyuhyun, Donghae, dan Sungmin berjalan masuk. Ketiga tamu itu melihat sekeliling, mengagumi rumah bergaya minimalis itu. “Hotel tempat aku menginap tidak begitu bagus,” gumam Donghae. “Kurasa aku harus pindah ke sini.”
“Dan check out beberapa minggu kemudian?” Sungmin mendengus. “Itu hanya membuang-buang uang, Donghae-ah.”
Siwon meraih handuk dan mengusap wajahnya dengan benda itu. “Jadi, apa yang membuat kalian datang kemari?” Donghae, Kyuhyun, dan Sungmin adalah teman-teman Siwon dari SMA-nya. Mereka berempat dekat, dan masih saling kontak sampai sekarang.
“Kami hanya berkunjung, hyung,” jelas Kyuhyun, duduk di atas bangku di sebelah Siwon. “Kami dengar kau juga menginap di sini.”
Siwon menganggukkan kepalanya. “Kukira kau orang lain.”
Donghae memandang Siwon, curiga. “Orang lain? Siapa? Kau bertemu seseorang di sini?”
Siwon menganggukkan kepalanya. “Yeah. Seorang cewek. Dia sangat baik. Dan cantik. Dan baik.”
Donghae dan Kyuhyun bertukar pandang, kemudian keduanya kembali menatap Siwon.
“Benarkah?” gumam Sungmin dari seberang ruangan. “Aku juga bertemu cewek.”
“Mwo?” Donghae berputar. “Sungmin-ah, benarkah? Siapa?”
Sungmin tertawa. “Aku tidak akan memberitahumu. Tapi dia sangat menggemaskan dan manis.”
“Hyung suka seseorang,” goda Kyuhyun.
Siwon pura-pura menonjok bahu Kyuhyun. “Bagaimana denganmu? Kau lebih muda daripada kami bertiga—seharusnya kau sudah bertemu cewek.”
Kyuhyun mengangguk. “Sudah. Di perpustakaan.”
Donghae menatap Kyuhyun. “Ah, jadi sekarang kau yang suka seseorang?”
Mulut Kyuhyun terbuka lebar. “Aniyo! Aku, maksudku—dia sangat cantik, tapi—”
Ketiganya tertawa. Donghae tersenyum dan menatap teman-temannya. “Aku juga bertemu cewek. Aneh. Kita bertemu cewek di hari yang sama.”
“Bagaimana dia, Hae?” tanya Siwon.
“Cantik, tinggi, dan kurus,” Donghae mendeskripsikan. “Aku mentraktirnya makan.”
“Kau pasti suka dia,” Sungmin berbicara. “Kalian berdua mengenal satu sama lain lewat acara makan.”
Donghae mengangkat bahu. “Yah, dia memang mirip tipe idealku.”
“Dia punya kening yang bagus?” balas Kyuhyun polos.
Donghae menyipitkan matanya ke arah Kyuhyun.
“Kau menyukainya, Wonnie?” tanya Sungmin, setengah berteriak.
Siwon menatap Sungmin. “Aku tidak tahu. Tapi kami cukup akrab.”
Kyuhyun mengangkat bahu. “Katanya, cinta sejati tidak akan pergi ke mana-mana.”
Donghae memutar bola matanya. “Yah, dia tidak bisa jadi cinta sejatiku.” Dia memukul Kyuhyun, yang buru-buru menghindar ke samping.
“Yah, kita tidak tahu itu,” gumam Sungmin.
Siwon ikut mengangkat bahu. “Siapa yang tahu?”
***
Author’s Note: Chapter pertama! Udah bisa nebak couple-nya, kan? Author sekalian nge-update 2 chapter, biar sama kayak yang di AsianFanFics. ^^