First Meeting [Part 3)

first-meeting-andinarima-storyline-part-3

Author : andinarima

Title : First Meeting

Genre : Romance, drama, family

Main Cast : – Jessica Jung Girls’ Generation

– Kris Wu EXO

– Lee Donghae Super Junior

– Tiffany Hwang Girls’ Generation

Support Cast : – SMTOWN Family

Rating : PG+17

Length : Chapter – Ongoing

Disclaimer : Hello, maaf nih buat kalian yang menunggu lama FF HaeSica ini Dan maaf banget untuk part ini pendek sekalii… Dan beberapa part lagi sudah masuk ke klimaksnya nih. Cinta segiempat antar tokoh utama. Komen kalian sangat berarti untukku melanjutkan FF ini.

Inspired by Novel Karya Kim Eun Jeong > My Boyfriend Wedding Dress
Baca lebih lanjut

Three Little Words (Chapter 5)

Three Little Words

Title: Three Little Words (Chapter 5)

Author: tatabrigita

Main Characters: Siwon, Tiffany, Donghae, Yoona, Kyuhyun, Seohyun, Sungmin, Sunny

Main Songs: BoA – Only One, Girls’ Generation – Not Alone

Started: 060313

Genre: Romance, angst

Rating: General

Author’s Note: Author juga bikin versi bahasa Inggris-nya, bisa dilihat di sini.

***

Selasa, 24 Juli 2012

17.35 CEST

Rue Saint-Marc, Paris, Prancis

***

Tiffany berjalan sambil mengamati segala hal di sekelilingnya. Sudah nyaris gelap, dan dia hanya ingin kembali ke apartemennya (yang hanya beberapa meter dari sini) dan tidur nyenyak. Seperti biasa, harinya adalah hari yang melelahkan di kantor.

Dia lanjut berjalan hingga dia melihat apartemennya dari kejauhan. Tiffany tersenyum lega dan berjalan ke arahnya. Lalu, dari sudut matanya dia menangkap sesuatu—seseorang—yang familiar…

“Tiffany!”

Jelas-jelas dia tidak salah. Yoona berlari ke arahnya dari arah yang berlawanan dan memeluknya erat-erat. “Oh, Tiffany! Aku merindukanmu! Aku benar-benar merindukanmu! Aku merasa aku akan menangis sekarang!” teriaknya.

Tiffany masih kaget. Dia tidak menduga akan melihat Yoona berkeliaran di jalanan Paris pada waktu seperti ini. Dia baru saja bertemu dengan Kyuhyun—dan sekarang Yoona?

Yoona melepas pelukannya, tangan masih di bahu Tiffany. Dia tidak berhenti tersenyum, malah tersenyum lebih lebar. “Tiffany, bagaimana kabarmu? Aku selalu tahu kau di Paris, tapi aku tidak berpikir bahwa kita akan benar-benar bertemu!”

Tiffany mengedipkan matanya. “Eh, apa? Oh, ya—aku baik-baik saja. Aku juga merindukanmu, Yoona, dan yang lain, tapi aku baik-baik saja.” Dia memberikan eye-smile-nya untuk meyakinkan Yoona.

Yoona tertawa dan menyingkirkan rambut dari wajahnya. “Tiffany, kau tidak bisa membayangkan seberapa besar senangnya aku melihatmu.”

Tiffany tersenyum tulus dan memeluknya. “Aku tahu. Aku sangat, sangat senang untuk melihatmu juga. Tapi apa yang kaulakukan di sini? Bukannya kau di London?”

Yoona balas memeluknya. “Hanya berlibur. Capek menari terus, kau tahu.” Dia tertawa ringan.

Tiffany melepas pelukannya, tersenyum. “Kapan kau datang?”

“Bisakah kita berbicara sambil berjalan?” Yoona mengubah topik. “Tidak enak dilihat jika kita berbicara di luar dalam waktu seperti ini.”

Tiffany melihat sekeliling, menyadari bahwa nyaris tidak ada seorang pun di situ. Dia tidak ingin mengambil risiko ditangkap oleh penculik. “Kau benar,” katanya, berjalan ke arah kedatangan Yoona. Yoona cepat-cepat berjalan di sampingnya.

“Aku baru saja datang kemarin. Dan aku mengunjungi Sacre-Coeur pagi ini, dan kau tidak akan percaya siapa yang kutemui.”

“Siapa?”

“Sungmin!”

Mata Tiffany terbelalak. “Sungmin? Benarkah? Aku sedang sarapan di kafe dan aku bertemu Kyuhyun!”

Yoona berdecak. “Tidak mungkin hanya kebetulan,” ujarnya, memutar kepalanya untuk melirik Tiffany.

Yang lebih pendek mengangguk. “Ya. Mungkin ini sesuatu yang lain. Alam semesta berusaha memberitahu kita sesuatu?”

Keduanya tertawa.

“Omong-omong, kau mau ke mana, Fany?” tanya Yoona ceria. Dia hanya merasa sangat senang bisa bertemu temannya setelah waktu yang lama.

“Rumah. Aku capek,” balas Tiffany sambil mengeluarkan kunci apartemennya. “Kau boleh menginap bersamaku, Yoona.”

Yoona menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Aku menginap di sebuah hotel di Rue Saint-Honoré.”

Tiffany merasa sedikit kecewa—dia berharap bahwa mereka bisa menginap seperti yang mereka lakukan dulu sewaktu remaja. “Oh, baiklah, kalau begitu.” Kemudian perutnya berbunyi. “Apa kau ingin makan? Aku tiba-tiba sadar aku lapar.”

Wajah Yoona berubah lebih cerah. “Oke! Apa kau punya rekomendasi?”

Tiffany berjalan ke arah yang berlawanan. “Yah, ada yang satu ini—”

“Fany, awas!”

Yang disebut terakhir merasakan dorongan di perutnya, membuatnya mengeluyur ke belakang. Hal berikut yang diketahuinya, dia sedang bersandar di dinding sebuah bangunan dan rasa sakit menusuk-nusuknya.

“Tiffany! Apa kau baik-baik saja?”

Yoona berusaha untuk membuat temannya berdiri tegak lagi. Dia terlalu panik ketika sebuah mobil hampir menabrak mereka di jalan; dia mendorong Tiffany menjauh, tidak mempertimbangkan rasa sakit yang disebabkannya. Bagaimanapun juga, Yoona punya lengan yang kuat.

Tiffany menganggukkan kepalanya. “Yeah… Aku baik-baik saja…”

Yoona menarik Tiffany naik perlahan-lahan hingga dia bisa berdiri tegak lagi. “Aku benar-benar minta maaf, Tiffany,” yang lebih tinggi meminta maaf. “Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu. Aku hanya panik dan kupikir—”

“Tidak apa-apa, Yoona,” Tiffany memotongnya, tersenyum. “Aku baik-baik saja. Aku paham kenapa kau melakukannya, jadi tidak perlu khawatir.”

Yoona menarik napas dalam-dalam. “Kau yakin? Ayo kita langsung pergi ke restoran itu, oke?”

Tiffany mengangguk.

“Kalian?”

Keduanya menoleh ke belakang. Mobil yang hampir menabrak mereka diparkir di pinggir jalan, tapi sekarang jendelanya terbuka, menunjukkan seorang pria muda dengan rambut hitam yang dipotong rapi.

“Siwon?!” kata Tiffany dan Yoona bersamaan.

Siwon tersenyum. “Aku tidak percaya ini! Ayo, masuk!” Dia turun dari mobil dan membuka pintu untuk kedua orang yang kebingungan. Tapi keduanya masuk ke mobilnya. Yoona duduk di kursi belakang, sementara Tiffany duduk di kursi penumpang depan.

Pria muda itu kembali ke dalam dan mulai menyetir. “Aku tidak—aku—astaga, aku minta maaf karena hampir menabrak kalian berdua!” katanya, matanya melirik ke arah mereka beberapa saat. “Aku hanya sangat lelah soal kerja, aku nyaris tidak memperhatikan jalan.”

“Tidak apa-apa, Siwon,” ujar Yoona ringan. “Yang penting kami berdua oke. Benar kan, Tiffany?”

Tiffany tersentak mendengar namanya dipanggil, dan buru-buru mengangguk. “Yeah, aku baik, Yoona.”

Lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, dan Siwon berhenti menyetir. Dia mengambil kesempatan untuk memandang Tiffany tepat di matanya. Tidak ada yang berubah dalam diri Tiffany—kecuali rambutnya jauh lebih panjang sekarang. Tapi bagi Siwon, Tiffany masih wanita muda yang ceroboh tapi manis yang membuatnya nyaris kehilangan napas.

Jantung berdegup kencang, Siwon mengulurkan tangannya dan memegang tangan Tiffany. Kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. “Bagaimana denganmu, Tiffany? Sudah cukup lama.”

Mata Tiffany terbelalak. Dia tidak kaget atas apa yang dilakukan Siwon—dia hanya kaget karena Siwon memutuskan melakukannya di depan Yoona. Tiffany lalu melihat ke belakang lewat kaca spion. Yoona menyeringai, matanya terpaku di tangan Siwon dan Tiffany.

“Aku baik-baik saja,” jawab Tiffany, tersenyum tulus. “Lagipula, kami baru saja akan pergi ke restoran, ya kan, Yoona?”

Yoona mengangguk. “Yeah. Apa namanya, Tiffany? Kau belum sempat memberitahuku sebelumnya.”

Perlahan, Tiffany menarik tangannya dari Siwon, membuat Siwon kelihatan sedikit kecewa. “Restoran Ratatouille, di Rue Montmartre. Kau harus mencoba makanan mereka.”

“Yah, kau pasti mengenal Paris seperti punggung tanganmu.” Yoona mengerutkan bibirnya. “Ayo kita ke sana.”

Di jalan, ketigany mengobrol dan bertukar banyak berita. Ketiganya lalu sadar—lagi—bahwa mereka merindukan mereka berdelapan bersama-sama.

“Aku pergi ke toko buku pagi ini,” jelas Siwon. “Sepertinya aku bertemu Seohyun di sana, tapi aku tidak yakin. Dia tidak mengenaliku.”

Yoona mengerutkan alisnya. “Apa? Bagaimana bisa?”

Siwon mengangkat bahu. “Dia mengaku bahwa dia Seohyun.”

“Ada sesuatu yang terjadi,” Tiffany angkat bicara. “Aku bertemu Kyuhyun pagi ini juga. Tapi dia mengenaliku. Kami bahkan bertukar nomor, hanya untuk jaga-jaga.”

Yoona mendengus. “Aku juga bertemu Sungmin dan bertukar nomor dengannya. Tapi tebak siapa yang bersamanya?”

“Siapa?”

“Seorang wanita!”

Mata Siwon melebar, tidak percaya. “Tidak akan! Sungmin benar-benar mencintai Sunny, aku yakin. Sungmin tidak akan mengkhianatinya seperti itu.”

“Yah, itu yang dikatakannya padaku,” Yoona memberitahu mereka. “Mungkin mereka hanya mengalami kisah cinta musim panas. Sungmin tidak akan melupakan Sunny.”

Mobil berhenti ketika lampu lalu lintas berubah merah lagi. Siwon bersandar di kursinya. “Entah dia punya pacar atau tidak, Sungmin pasti masih punya perasaan terhadap Sunny.”

“Omong-omong tentang Sunny…” Tiffany menegakkan badan dan menunjukkan ke pemandangan di luar. “Lihat siapa di sana.”

Dua lainnya melihat ke arah yang ditunjuk Tiffany. Wanita muda pendek itu berdiri di depan sebuah department store, dan jelas-jelas membeli banyak barang, dilihat dari jumlah tas belanja yang dibawanya. Sunny memakai kacamata hitam, tapi dia gampang dikenali oleh ketiganya, bahkan ketika rambutnya berbeda dari setahun yang lalu.

“Kita harus menawarinya tumpangan,” usul Yoona, berusaha melihat Sunny dengan lebih jelas.

Tiffany menekan tombol untuk membuat kaca jendela turun. “Sunny!”

Yang dipanggil tersentak. Dia menoleh kiri dan kanan, hingga matanya menangkap gerakan tangan Tiffany. Sunny berkedip beberapa kali, dan bibirnya melengkung membentuk senyuman.

Dia buru-buru berjalan menyeberangi zebra cross, dan sampai di sisi lain jalan. Sunny berlari ke arah mobil hitam Siwon, tepat ketika Yoona membuka pintu belakang dan dia meluncur masuk.

“Sunny!” Yoona langsung menariknya untuk sebuah pelukan.

Sunny menutup pintu dengan kakinya dan tersenyum. “Yoona! Astaga, sangat menyenangkan untuk bertemu kalian semua!”

Lampu lalu lintas pun berubah menjadi hijau, dan Siwon menginjak pedal, membuat mobil bergerak lagi. “Bagaimana kabarmu, Sunny? Sudah cukup lama.”

“Selama ini menyenangkan,” jawab Sunny cerah, menaruh tas-tas belanjanya di sampingnya. “Kecuali bahwa aku sangat merindukan kalian. Aku bilang ke anak-anak di Cina tentang liburan kita bersama—mereka selalu ingin aku menceritakannya berulang kali.

Tiffany tersenyum. “Hal yang bagus bahwa aku terkenal di kalangan anak lima tahun.”

Sunny tertawa. “Tapi sekarang kita kembali bersama! Yah, tidak kita semua. Tapi aku tadi bertemu Donghae di Cannes. Aku berada di sana dengan sepupuku.”

Yoona berkedip beberapa kali, kelihatan kaget. “D-Donghae?” dia terbata-bata.

“Yeah,” Sunny mengiyakan. “Dia sudah debut sebagai pianis dengan album terbaru. Katanya dia akan datang besok.”

“Kenapa kita tidak menelpon ketiganya dan bertanya tentang makan malam bersama?” Siwon berbicara.

Tiffany mengangguk, antusias. “Ya, itu ide bagus!”

“Oh, bagus,” erang Sunny. “Kelihatannya aku akan menambah lebih dari beberapan pon.”

***

Selasa, 24 Juli, 2012

18.15 CEST

Restoran Ratatouille, Rue Montmartre, Paris, Prancis

***

“… Dan kau menumbuhkan rambutmu?”

“Sama seperti Tiffany!”

“Tapi Sunny, sungguh, kau kelihatan cantik dengan rambut pirang panjangmu.”

Sunny terkikik. “Trims, Kyuhyun. Kau belum pernah semanis ini.”

Kyuhyun mengangkat bahu. “Apa yang bisa kukatakan? Aku menyesuaikan diriku dengan gaya hidup Prancis.” Semuanya tertawa.

Di perjalanan, Tiffany dan Yoona menelpon. Kyuhyun bisa datang untuk makan malam, tapi sayangnya Sungmin tidak bisa (“Aku minta maaf, Yoona, tapi aku tidak bisa pergi dengan kalian. Ada sesuatu dengan anak-anak—aku harus mengajar mereka sekarang. Bisakah kau menyampaikan salamku pada mereka?”). Sunny sedikit kecewa ketika Yoona memberitahu mereka, tapi ketidakdatangan Sungmin tidak akan membuat Sunny tidak menikmati waktu bersama teman-temannya.

Siwon terutama, mengalami waktu yang luar biasa. Di antara kedelapan orang, hanya Siwon dan Tiffany yang saling memiliki “partner” mereka. Dan Siwon sangat senang dengan itu. Dia tidak pernah merasa serileks ini dalam waktu yang sepertinya sangat lama.

Tiffany sedang menceritakan pada mereka sebuah lelucon Prancis ketika Siwon merasakan ponselnya bergetar. Dia mengeluarkannya dari sakunya. SMS lain.

Dari: Ibu

Siwon, apa kau sudah mengunjungi adikmu? Aku baru saja menelpon salah satu pelayan di sana. Katanya kau belum datang dan tidak meninggalkan pesan. Siwon, kumohon. Setidaknya cobalah untuk berbicara dengannya.

Siwon mendengus. Memang jarang, tapi hubungannya dengan ibunya sedang tidak baik. Hubungan mereka baik-baik saja sebelumnya, karena mereka berdua jujur satu sama lain, sama seperti orangtua dan anak yang lain.

Tapi satu dari mereka tidak sepenuhnya jujur.

Ibunya, Moon Ahyoung, telah menyembunyikan fakta bahwa dia berselingkuh sewaktu Siwon masih bayi. Tentu saja, ayahnya tahu—tapi Siwon masih merasa dikhianati. Apa dia anak yang buruk? Kenapa ibunya sendiri menyembunyikan fakta yang sudah seharusnya diketahuinya sejak waktu yang lama?

Ibunya berselingkuh dengan salah satu pewaris keluarga Kim, dan memiliki seorang putra. Siwon tidak ingat bagaimana ibunya bisa menyembunyikan fakta bahwa dia sedang hamil, meski mereka dan ayah Siwon tinggal di bawah satu atap yang sama. Tidak seperti Siwon, ayahnya sudah tahu sejak dulu. Sekarang Siwon tahu kenapa hubungan kedua orangtuanya buruk sejak dia kecil.

Pertengkaran mereka akhirnya berujung ke suatu keputusan. Kedua orangtuanya akan bercerai. Siwon adalah pria dewasa sekarang, dan dia bisa mengendalikan diri dengan baik. Tapi Moon Ahyoung, tetap saja, masih ibu biologisnya. Dia adalah orang paling penting dalam hidup Siwon. Siwon tidak bisa mengabaikannya seperti itu.

Ibunya ingin Siwon bertemu adik tirinya. Siwon telah melihat fotonya, tapi dia belum pernah bertemu dengannya karena adik tirinya berada di Paris, sementara Siwon berada di Seoul. Jelas-jelas, dia tidak ingin pergi keluar negeri hanya untuk melihat adik tiri yang tidak pernah diketahuinya.

Siwon hampir melupakan namanya. Ah, ya. Kim Ryeowook. Setahun lebih muda darinya. Siwon ingat bahwa mereka tidak punya kesamaan secara fisik—Siwon tinggi dan berotot, sedangkan Ryeowook sedikit pendek untuk usianya dan sedikit kurus.

Dia tidak tahu kapan dia akan bertemu Ryeowook. Malam ini? Besok? Dia masih belum siap.

Dia hanya ingin melupakan seluruh masalahnya dan melanjutkan hidup.

“Hei, kau baik-baik saja?”

Siwon dibawa kembali ke dunia nyata. Tiffany memandanginya lekat-lekat, menggenggam tangannya. Seperti yang sering dilakukannya dulu. Tiffany kelihatan khawatir, dan telah meninggalkan percakapan ria dengan ketiga orang lainnya.

“Aku baik-baik saja.” Siwon mengangguk. “Kau harus makan, Tiffany. Makananmu bertambah dingin.”

Tiffany mengabaikan perkataannya. “Persetan dengan itu. Ada yang menganggu pikiranmu, Siwon. Apa itu?”

Siwon tahu bahwa dia adalah pria yang jujur kepada orang lain—tapi tidak ingin membuat orang lain stres dengan masalahnya berbeda dengan berbohong.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya capek. Makan yang banyak, Tiffany. Kau lebih kurus daripada setahun yang lalu, kau tahu?”

***

“Maksudkmu kau akan benar-benar mengambil organ seseorang?”

Kyuhyun terkekeh. “Tergantung. Jika diperlukan—kalau organnya ada semacam virus atau penyakit apapun—dan aku akan melakukannya.”

Yoona melirik ravioli-nya. Tiba-tiba dia kehilangan selera makannya. “Misalnya kau akan mengoperasi jantung seseorang. Kau mengeluarkan jantung itu dari sistemnya untuk sementara. Benda… itu berdetak tepat di tanganmu. Dan kau tidak akan merasa… takut?”

“Tidak, tentu saja tidak!” Kyuhyun tertawa keras. “Aku sudah berlatih di Harvard. Aku sudah siap untuk apapun, kapanpun, dan di manapun.”

“Lalu, bisakah kau membuat daftar tentang cara menurunkan berat badan dalam beberapa hari?” Sunny angkat berbicara, memandangi panacotta di depannya.

Kyuhyun menatapnya. “Itu bidang yang berbeda di dunia medis, Sunny.”

Sunny mendengus dan mendorong piring itu. Dia juga kehilangan selera makannya. Mungkin karena dia tidak takut berat badannya naik (yah, mungkin sedikit takut) tapi karena Sungmin yang mengganggu pikirannya.

Kenapa dia tidak datang? Sungmin yang dikenalnya adalah orang yang perhatian. Orang yang sangat baik. Dia tidak akan meninggalkannya—mereka—seperti ini. Yoona bahkan mengatakan pada Sungmin bahwa Sunny juga datang untuk makan malam. Dan kenapa Sungmin masih menolaknya?

Sunny sangat pandai menyembunyikan perasaannya. Tentu, dia sangat bahagia karena bertemu dengan teman-temannya (kecuali Sungmin dan Seohyun yang tidak ada di sini) tapi tawa dan senyumnya hanyalah kecoh untuk perasaannya yang sebenarnya.

Sunny sering mengkhawatirkan sesuatu dalam jangka waktu yang lama. Dan dia sedang mengkhawatirkan Sungmin. Bagaimana kalau dia sudah melanjutkan hidup? Bagaimana kalau Sungmin telah menerima bahwa dia tidak akan pernah melihat Sunny lagi, dan tidak mencintainya lagi?

Pikiran bahwa Sungmin tidak mencintainya lagi membuat hati Sunny patah. Meski mereka tidak pernah bertemu selama setahun, tapi cinta Sunny untuknya masih ada. Dia tidak akan pernah bisa mengabaikan perasaan yang begitu besar.

“Sunny?”

Sunny mendongak. Yoona sudah setengah selesai menghabiskan panacotta Sunny—dia tahu Sunny takkan keberatan. Matanya yang mirip mata kelinci betina menatap Sunny, berusaha menemukan sesuatu di bawah wajah cantiknya.

“Yeah? Ada apa?” tanya Sunny, berusaha terdengar ceria.

“Aku bisa melihat kau punya banyak pikiran,” Yoona menyimpulkan setelah mengamatinya. “Sekarang, ada apa denganmu?”

Sunny menghela napas. Dia ingin merahasiakan semuanya, tapi dia sudah terlalu sering melakukannya. Kadang, dia menangis pada malam hari atas segala tekanan yang diterimanya. Dia akan memberitahu Yoona sekali saja. Untuk membuatnya merasa lega.

“Aku hanya khawatir Sungmin tidak mencintaiku lagi.”

Sunny menduga Yoona akan mengasihaninya dan memeluknya erat, berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bukan karena Sunny ingin itu terjadi, tapi karena dia tahu Yoona adalah tipe yang akan melakukan hal itu pada situasi seperti ini.

Tapi ekspresi Yoona memancarkan rasa kasihan yang berbeda.

“Sunny, aku minta maaf.”

Sunny mengangkat alisnya. “Untuk apa?”

Yoona melirik ketiga orang lainnya—mereka sibuk berbicara sambil makan di sisi lain meja. Dia mencondongkan tubuh ke arah Sunny, berbicara pelan. “Kau tahu kan, aku bertemu Sungmin pagi ini?”

“Ya, ada apa memangnya?”

Yoona menghela napas. “Sunny, aku melihatnya. Tapi tidak sendirian.”

“Tentu saja tidak. Kau melihatnya dengan anak-anak yang diajarinya, kan?”

“Ya, tapi ada orang lain.”

“Kerumunan orang yang menonton?”

“Bukan.”

“Lalu siapa?”

Yoona benar-benar mengasihani Sunny, tapi yang disebut terakhir tidak ingin Yoona mengasihaninya seperti ini.

“Yoona.” Sunny memegang tangan orang yang lebih tinggi itu. “Katakan saja.”

“Pacarnya,” Yoona akhirnya menjawab. “Dia punya pacar. Aku tidak tahu namanya, tapi dia kelihatan dingin dan tegas.” Melihat ekspresi Sunny, Yoona cepat-cepat menepuk bahunya. “Sunny, aku minta maaf. Huh. Aku seharusnya tidak memberitahumu dari awal.”

Sunny menggelengkan kepalanya, memalingkan wajah. Dadanya tiba-tiba terasa berat, terlalu berat. “Tidak… apa-apa. Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Tapi, Sunny—”

“Jika dia sudah melanjutkan hidupnya tanpaku, biarlah. Aku harus melakukan hal yang sama. Aku bodoh sekali, berpikir bahwa dia akan menunggu setahun untukku.”

“Sunny—”

“Tidak, Yoona, aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja.” Sunny tersenyum samar tapi meyakinkan. “Lihat? Aku sempurna. Jangan mengkhawatirkanku. Aku senang kau memberitahuku tentang hal itu. Aku tidak bisa tinggal di abu-abu selamanya, meragukan apa dia masih mencintaiku atau tidak. Kau baru saja membantuku. Dan tolong jangan beritahu siapapun tentang hal ini. Aku tidak ingin mereka khawatir. Dan kau juga jangan mengkhawatirkanku.”

Yoona memandangnya. Dia tidak ingin menyetujuinya (Sunny adalah temannya! Yoona tidak ingin melihatnya terluka dalam cara apapun) tapi dia tidak punya pilihan lain. Ini demi Sunny.

“Baiklah.”

Sunny tetap tersenyum. “Terima kasih.”

Yoona mengangguk cepat.

Dan Sunny berputar ke arah yang lain, memakai senyum yang lebih lebar—salah satu senyum paling palsu yang pernah dilihat Yoona, tapi juga salah satu senyum yang paling meyakinkan.

“Jadi, siapa yang bayar?”

***

Rabu, 25 Juli, 2012

9.03 CEST

Monoprix, Avenue de l’ Opéra, Paris, Prancis

***

“Tiga bungkus mie instan… Enam apel… Empat coklat batangan…”

Kyuhyun sibuk memeriksa daftar belanja di ponselnya ketika dia menemukan rak penuh dengan keripik kentang. Dia tersenyum dan menaruh dua bungkus keripik itu di dalam trolinya. Ini acara belanja pertamanya di Paris, dan dia sedikit bangga bahwa orang lain bisa memahami bahasa Prancis-nya, yang menurutnya sendiri sangat buruk.

Setelah berbelanja selama satu jam, Kyuhyun mengantre untuk membayar makanan yang telah dibelinya. Karena itu hari Rabu, tidak banyak orang yang berbelanja. Lalu, giliran Kyuhyun untuk membayar.

Dia memandang ke sekelilingnya. Supermarket itu sangat bersih dan rapi. Aku bisa terbiasa dengan ini. Matanya berkeliaran ke manapun, memandangi orang-orang yang memasuki gedung itu…

Kyuhyun berkedip.

Tidak mungkin.

Melihat orang itu hampir meninggalkan supermarket, Kyuhyun tidak akan memiliki kesempatan lain bila dia menundanya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dan mengambil belanjaannya, berlari ke arah orang itu.

Ketika Kyuhyun berada di luar, udara hangat musim panas menyambutnya. Masih pagi, tapi matahari sudah menyengat. Dia berlari lebih cepat, dan lebih cepat, berharap bahwa dia bisa melihat…

Dan ketika jarak mereka cukup dekat, dia memeluknya dari belakang.

“Seohyun!”

Seperti orang lain, wanita muda itu melepaskan diri dari pelukan Kyuhyun dan berputar. Dia cukup tenang untuk seseorang yang kaget. Kyuhyun tersenyum, berusaha untuk tidak memeluknya lagi.

“Seohyun. Sudah cukup lama,” katanya, nyaris berbisik. “B-Bagaimana keadaanmu?”

Seohyun mengangkat alis. “Maaf?”

Kebahagiaan yang mengalir dalam Kyuhyun hilang. “A-Apa?”

“Maaf, tapi saya tidak mengenal Anda,” katanya. Seohyun merapikan rambutnya dan tersenyum sopan. “Saya rasa Anda telah salah orang. Permisi.”

Seohyun berputar pada tumitnya dan berjalan pergi.

Kyuhyun tidak memercayai matanya. Apa itu benar-benar Seohyun? Tapi memang benar! Dia sangat yakin. Rambutnya mungkin berbeda, dan dia sedikit lebih tinggi sekarang, tapi itu masih dia! Kyuhyun akan tetap mengenalinya dalam keadaan apapun.

Sekarang, kenapa Seohyun tidak mengenali Kyuhyun?

“Seohyun! Tunggu dulu!” Kyuhyun berlari lagi, mengejarnya. Dia terengah-engah—menjadi dokter terlatih tidak berarti dia adalah orang atletis. Dia akhirnya berhasil menyamai langkah-langkah Seohyun, menerima tatapan darinya.

“Maaf, tapi Anda—”

“Seohyun!” Kyuhyun melangkah ke depannya, menghalangi Seohyun untuk berjalan maju. Dia berusaha mengatur detak jantungnya kembali ke normal, tapi dia tidak bisa membuang sedetik pun. “Ini aku! Kenapa kau tidak mengenaliku? Apa kau tidak mengingatku?”

Seohyun mengerutkan bibirnya. Dia berusaha untuk sabar (baru kemarin, ada pria lain yang berkata bahwa dia mengenalinya) dengan semua ini, tapi apa yang sedang terjadi? Seohyun tidak tahu orang-orang ini, dan kenapa mereka mengenalnya?

Kecuali…

Wajah Seohyun berubah cerah.

Kyuhyun bingung melihat ekspresinya sekarang, tapi dia juga senang. Apa Seohyun sudah mengenalinya? Apa Seohyun mengingatnya?

“Tolong, ikut saya.” Seohyun berjalan melewati Kyuhyun, memimpinnya.

Kyuhyun mengangkat alisnya. Dia tidak yakin apa yang direncanakan Seohyun, tapi dia tetap mengikutinya.

Mereka sampai di tempat parkir, dan Seohyun berjalan ke sebuah mobil silver yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka. Dia membuka pintu depan, di mana kakak tirinya menunggu di dalam.

“Akhirnya!” ujar Kim Hyoyeon. “Kenapa lama sekali?”

Seohyun menaruh belanjaannya di kursi depan. “Unnie, seseorang mengenaliku. Mungkin sebelum…?”

Wajah Hyoyeon berubah cerah. Dia mengangguk. “Begitu. Aku akan bertemu dengannya.” Dia membuka pintu dan berjalan ke arah Kyuhyun, yang berdiri dengan canggung.

“Halo, aku Hyoyeon, kakak tiri Seohyun,” Hyoyeon mengenalkan diri, membungkuk. “Senang bertemu denganmu…?”

“Oh, aku Cho Kyuhyun,” balas Kyuhyun, masih kebingungan.

Hyoyeon tersenyum. “Kurasa kau bertemu Seohyun setahun yang lalu di Indonesia?”

Kyuhyun mengangkat alisnya. “Ya.”

Hyoyeon tetap tersenyum. “Kau bisa ikut kami, Kyuhyun-ssi. Aku akan menjelaskan semuanya setelah aku dan Seohyun berada di rumah.”

Kyuhyun ragu-ragu. Dia tidak ingin semobil dengan orang asing. Tapi Seohyun bukan orang asing. Dia adalah orang yang paling dikenal Kyuhyun, meski dalam waktu yang sedikit. Dia mencari jawaban kenapa Seohyun tidak mengenalinya—dan Kyuhyun menganggukkan kepalanya.

***

Rabu, 25 Juli, 2012

9.39 CEST

Rue de l’Exposition, Paris, Prancis

***

“Apa kau mau minum?”

“Teh saja.”

Hyoyeon mengangguk dan berjalan ke dapur. Kyuhyun sangat tenang dalam perjalanan ke apartemen, sementara Seohyun sedikit gugup. Seohyun segera mengikuti kakaknya, meninggalkan Kyuhyun sendirian di ruang tamu apartemen mereka yang mewah.

Hyoyeon mengerutkan alisnya. “Apa yang kaulakukan? Temani tamu kita!”

“Aku tidak mengenalnya!” bisik Seohyun, panik.

“Aku juga!”

Hyoyeon memutar bola matanya dan mengambil bungkus the dari kontainer. “Seohyun, aku sudah bilang berkali-kali. Dia pria itu.”

Seohyun mengerutkan bibir. “Bahkan bila dia yang kubicarakan, aku tetap tidak punya perasaan apapun padanya sekarang.”

“Maka kau harus mengenalnya,” yang lebih pendek menaruh bungkus teh di sebuah cangkir dan meraih ketel. “Kalian berdua akan sangat cocok. Aku janji.”

“Kurasa kau harus menjelaskan semuanya kepada dia dulu,” usul Seohyun.

Hyoyeon menuang air ke dalam cangkir dan mengaduknya. “Kenapa tidak kau saja?”

“Aku buruk dalam menjelaskan sesuatu.”

“Tentu saja tidak. Kau seorang penulis.”

Seohyun menggembungkan pipinya. “Kumohon, unnie?”

Hyoyeon mendesah. “Baiklah. Aku saja. Menyingkir, sekarang,” balasnya, membawa cangkir teh di tangannya.

“Trims, unnie!” teriak Seohyun.

Hyoyeon keluar dari dapur dan memasuki ruang tamu. Dia tersenyum pada Kyuhyun dan menaruh tehnya di atas meja, lalu duduk di sofa di seberang ruangan.

“Terima kasih,” ujar Kyuhyun ringan, meneguk tehnya. “Bisa aku bertanya, apa yang terjadi pada Seohyun?”

Hyoyeon menegakkan punggungnya. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. “Yah… Beberapa hari setelah Seohyun pulang dari Indonesia, dia mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya hilang ingatan sementara. Seohyun tidak ingat apapun tentang dirinya pada awalnya. Untungnya, ketika Seohyun mengalami kecelakaan itu, dia membawa identitasnya dan mudah bagi para polisi untuk mengidentifikasi dia dan mereka menelponku.

“Setelah Seohyun pulih dari kecelakaan, dia mulai belajar tentang dirinya sendiri. Kubilang kalau kami tinggal bersama karena orangtua kami berada di Korea. Lalu kami pindah ke sini beberapa bulan setelahnya. Seohyun mengalami kecelakaan itu seminggu sejak kepulangannya. Selama seminggu itu, dia memberitahuku tentangmu. Kalian semua. Tapi ingatannya hilang setelah kecelakaan. Kata dokter hanya sementara, tapi sudah setahun dan kami tidak yakin…”

Ketika Hyoyeon mengakhiri penjelasannya, semuanya menjadi jelas untuk Kyuhyun. Siwon bilang di restoran bahwa dia bertemu Seohyun di toko buku. Jadi itu kenapa Seohyun tidak mengenalinya!

“Kau sebaiknya berbicara dengan Seohyun,” tambah Hyoyeon tiba-tiba. “Aku sudah bilang padanya dia punya perasaan terhadapmu, tapi dia tidak pernah yakin.”

Kyuhyun menghela napas. Dia ingin. Tapi bagaimana reaksi Seohyun nanti?

Tanpa menunggu jawaban, Hyoyeon berdiri dan memanggil Seohyun.

“Ya, unnie?” Seohyun muncul.

Hyoyeon berjalan ke kamar tidurnya, melewati Seohyun di jalan. “Bicara dengannya,” bisiknya sebelum pergi.

Seohyun membeku. Berbicara dengan Kyuhyun? Dia bahkan tidak mengenalnya! Yah, mereka pernah mengenal satu sama lain, tapi tidak sekarang. Apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kulakukan?

Kyuhyun lalu memandangnya. Dia tersenyum ke arah Seohyun, berharap bahwa dia akan tersenyum balik. “Hei. Sini dan duduk.” Dia menepuk sofa yang didudukinya.

Seohyun menelan ludah. Perlahan, dia berjalan ke arah Kyuhyun dan duduk di ujung sofa, menjauhkan diri dari Kyuhyun. Pria itu hanya terkekeh. “Kita tidak akan dekat bila kau duduk di situ.”

“Tapi kita baru saja bertemu.” Seohyun tidak menghentikan mulutnya berbicara.

Kyuhyun tersenyum, dan Seohyun bisa melihat rasa kasihan di matanya. “Tapi kita pernah bertemu sebelumnya. Dan hari di mana kita membaca buku bersama? Mungkin itu hari terbaik yang pernah kualami.”

Seohyun cemberut. “Membaca buku? Lalu, kenapa hari yang terbaik?”

“Karena aku bisa bertemu denganmu.”

Jantung Seohyun berhenti berdetak.

“Coba,” Kyuhyun berbicara, mencondongkan tubuh lebih dekat. “Bagaimana kalau kau bertemu dengan yang lain?”

“Yang lain?”

“Teman-teman yang kita temui di Indonesia. Kau bisa mengenal mereka dari awal.”

Seohyun menggigit bibirnya. “Aku… tidak yakin.”

Kyuhyun cemberut. “Tidak ada salahnya bertemu orang baru. Lagi pula, aku akan ada di sana. Kau aman.”

Seohyun memandangnya, matanya. Mereka baru saja bertemu, tapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuat Seohyun yakin. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia tahu bahwa dia bisa mempercayai Kyuhyun.

“Baiklah.”

***

[A/N]: Makasih ya, udah baca ^^ Tadinya author mau update langsung tiga chapter, tapi chapter keenam masih diusahakan (?) Oh ya, author juga pengin bikin FF baru! Ada saran pairing apa aja? Boleh lebih dari 1 kok ^^ Jangan lupa comment, ya! Kamsahamnida~~

Three Little Words (Chapter 4)

Three Little Words

Title: Three Little Words (Chapter 4)

Author: tatabrigita

Main Characters: Siwon, Tiffany, Donghae, Yoona, Kyuhyun, Seohyun, Sungmin, Sunny

Main Songs: BoA – Only One, Girls’ Generation – Not Alone

Started: 060313

Genre: Romance, angst

Rating: General

Author’s Note: Author juga bikin versi bahasa Inggris-nya, bisa dilihat di sini.

***

Selasa, 24 Juli, 2012

8.05 CEST

Cour des Petites Écuries, Paris, Prancis

***

“Dan pastikan kau punya kain sutranya jam sebelas, oke?”

“Ya, mademoiselle.”

“Baiklah. Terima kasih, Elise.” Tiffany menutup telpon dengan asistennya dan melanjutkan berjalan.

Hari musim panas lagi di Paris. Matahari yang terik tidak menghentikan orang-orang melakukan aktivitas di luar ruangan. Tiffany selalu menikmati pergi keluar dari sekarang. Dia tidak sering berada di kantor sekarang—justru, dia menghabiskan waktu di luar, tersenyum ke arah langit yang biru, atau hanya mengagumi kota yang indah itu.

Tiffany merapikan rambutnya yang panjang dan hitam sebelum memasuki sebuah kafe. Dia selalu pergi ke sana untuk sarapan daripada memakan panekuk sendirian di apartemennya.

Sudah menghafal jalannya, Tiffany berjalan ke arah meja yang biasa ditempatinya di dekat jendela, menghadap ke arah jalanan. Dia memeriksa ponselnya sambil berjalan. Rapat lagi dengan

Ada serangkai suara keras, dan hal berikut yang diketahui Tiffany, dia berada di lantai. Dia baru saja menabrak seseorang.

“Astaga! Apa kau baik-baik saja, mademoiselle?” Seorang pria berkata dalam bahasa Prancis.

Tiffany mengeluh dan berusaha untuk berdiri, dengan bantuan pria tersebut. Untungnya hanya beberapa orang melihat mereka bertabrakan. “Aku baik-baik saja,” kata Tiffany, merapikan rambut dan pakaiannya.

Pria itu menarik tangannya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf—”

“Tidak apa-apa.” Tiffany mendongak. Dia tersenyum, berharap pria itu tidak merasa begitu bersalah. Dia anehnya kelihatan familiar. “Bukan masalah besar.”

Pria itu, yang sibuk merapikan pakaiannya, menatap Tiffany. “Yah, aku—Tiffany?”

Mata Tiffany terbelalak ketika pria itu menyebutkan namanya. Lalu dia sadar kenapa pria itu terlihat sangat familiar. “K-Kyuhyun?”

Kyuhyun kaget, tapi dia berhasil untuk tersenyum. “Tiffany! Sudah setahun! Ayo—” Dia melihat sekeliling dan menunjuk ke meja yang tadi dituju Tiffany. “Ayo kita duduk!”

Kyuhyun buru-buru duduk, dan Tiffany duduk dengan canggung di depannya. Melihat wajahnya yang bersemangat tapi menggemaskan, Tiffany ingin tertawa. Seorang pelayan datang dan memberikan mereka menu.

“Saya akan kembali setelah Anda mempertimbangkan pesanan Anda,” kata si pelayan sebelum pergi.

Tiffany tidak membaca menunya. Dia sudah membacanya ribuan kali dan selalu memesan makanan yang sama. Sementara, Kyuhyun membaca menunya hati-hati. “Aku belum pernah makan makanan Prancis sebelumnya. Apa saranmu, Tiffany?”

Tiffany mengangkat bahu. “Yah, ini kan sarapan. Menurutku kau harus memesan croissant-brioche dengan kopi sepertiku atau mungkin croque monsieur dengan jus de fruit.”

Croque apa?”

Croque monsieur. Roti panggang isi daging ham dan keju. Jus de fruit berarti jus jeruk. Croissant-brioche adalah semacam roti Prancis.”

Kyuhyun menganggukkan kepalanya. “Oh. Aku mengerti sekarang. Aku akan memesan roti dan jus jeruk tadi.”

Tiffany menjentikkan jemarinya dan si pelayan kembali dengan buku catatan dan pulpen di tangan. “Apa saya bisa mengambil pesanan Anda sekarang?”

“Ya. Aku pesan croissant-brioche dan secangkir kopi hitam, dan temanku ini memesan croque monsieur dan jus de fruit,” ujar Tiffany tanpa kesukaran dalam bahasa Prancis.

Si pelayan menganggukkan kepalanya. “Pesanan kalian akan diantar secepatnya, monsieur, mademoiselle.” Dia tersenyum dan mengambil menu sebelum berjalan pergi.

Tiffany lalu memfokuskan perhatiannya kepada Kyuhyun. “Jadi, bagaimana kabarmu, Kyuhyun? Sudah setahun.”

Kyuhyun tersenyum. “Aku baru saja lulus tes untuk menjadi dokter bedah. Butuh waktu berbulan-bulan. Jadi aku pindah ke Paris, dan aku sudah mulai bekerja di rumah sakit internasional.”

Tiffany bertepuk tangan. “Selamat!” katanya. “Aku sangat bangga padamu. Kau baru saja lulus dari Harvard, dan sekarang kau sudah menjadi dokter resmi.”

“Trims,” balas Kyuhyun riang. “Tapi aku masih harus berlatih bahasa Prancis. Tata bahasanya membunuhku. Aksenku juga.”

Tiffany tertawa. “Kau akan menguasainya secepatnya. Aku menguasai bahasa Prancis dengan cepat karena tradisi keluargaku. Kau ingin aku mengajarimu?”

Kyuhyun tersenyum, tapi menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak apa-apa. Aku tidak ingin kau merasa terbebani.” Dia tetap diam. “Bagaimana denganmu, Tiffany? Apa beritamu?”

“Masih diriku yang dulu.” Tiffany mengangkat bahu lagi. “Kecuali rambutku tumbuh. Untung label fashion-ku berjalan dengan baik.”

“Aku senang mendengarnya. Aku bisa mendapatkan baju baru untuk menyesuaikan dengan fashion Prancis.”

Tiffany tidak bisa tidak tertawa. “Tidak begitu berbeda. Kau telah menguasainya dengan baik, Kyuhyun.” Dia memandangi pakaian Kyuhyun.

Si pelayan datang dengan pesanan mereka, dan Kyuhyun segera berkata, “Terima kasih.” Pelayan itu tidak terkejut dengan aksen aneh Kyuhyun—dia telah melihat banyak turis dengan aksen yang lebih buruk. Dia tersenyum sebelum meninggalkan mereka berdua sendirian.

Tiffany menggigit croissant-nya, masih mengawasi Kyuhyun. “Cobalah. Aku sudah makan croque monsieur ribuan kali. Percaya padaku. Rasanya enak.”

Kyuhyun memakan rotinya, tersenyum setuju. “Sangat enak,” pujinya. “Aku seharusnya makan makanan Prancis sejak dulu.”

Mereka melanjutkan berbicara, dan Tiffany sadar bahwa dia sangat merindukan Kyuhyun. Tidak hanya dia, tapi semuanya. Mereka berdelapan bersama-sama seperti setahun yang lalu.

Ketika mereka berdua berjalan keluar kafe, Kyuhyun menyentuh pundak Tiffany. “Apa kita hanya berpisah seperti ini?”

Tiffany berhenti berjalan. “Kau benar,” katanya, mengeluarkan ponselnya dan memberikannya kepada Kyuhyun .”Kita bertukar nomor telpon saja, oke? Untuk jaga-jaga.”

Kyuhyun menatap ponsel Tiffany sebentar, sebelum memberikan ponselnya juga. “Oke.”

***

Selasa, 24 Juli, 2012

10.00 CEST

Basilique du Sacre-Coeur, Paris, Prancis

***

Yang itu cantik!

Jepret.

Oh, yang itu kelihatan lucu!

Jepret.

Pohon! Tapi kelihatan keren!

Jepret.

Yoona melanjutkan memotret sampai baterai kamera digitalnya habis. Dia mendesah dan menyingkirkan rambut coklat panjangnya dari wajahnya. Dia masih ingin mengambil beberapa foto.

Sacre-Coeur adalah pemandangan Prancis terbaik yang dilihat Yoona sejauh ini. Dia datang ke Paris untuk berlibur, beristirahat dari menjadi instruktur tari di London. Rasanya senang sekali untuk mengunjungi tempat yang ingin sekali dilihatnya.

Yoona duduk di bangku terdekat dan mengeluarkan botol airnya. Yoona tidak ingin menghabiskan terlalu banyak uang di sini, meski dia tahu masakan Prancis sangat enak.

Setelah meneguk air minum, Yoona menarunya kembali ke tas dan lanjut berjalan. Setelah beberapa langkah, matanya menangkap sebuah titik di depan Sacre-Coeur yang dipenuhi orang-orang. Ada apa, ya? Dia berlari turun undakan tangga dan berjinjit di belakang orang-orang itu.

Beberapa anak-anak Paris sedang berlatih karate. Mereka tidak memakai pakaian putih karate—hanya pakaian sehari-hari mereka. Yoona menduga bahwa mereka adalah sekelompok anak yang berkumpul untuk berlatih bersama. Dia mengeluarkan kameranya, hingga dia ingat bahwa baterainya telah habis.

“Ugh. Tidak adil,” keluhnya pada diri sendiri, membuat beberapa orang di kerumunan menoleh ke arahnya.

Yoona mengabaikan mereka dan melanjutkan menonton anak-anak itu (“Ha! Ha!”) dan melihat seorang pria tinggi, mungkin berusia sebaya dengannya, berjalan mengelilingi anak-anak, melatih mereka. Rambutnya berwarna coklat dan agak runcing, dan wajahnya terlalu menggemaskan.

Apa itu… Sungmin?

Guru itu meneriakkkan sesuatu dalam bahasa Prancis yang tidak dapat dipahami Yoona, dan anak-anak tersebut mulai melakukan gerakan yang lebih kompleks, membuat kerumunan tersebut bertepuk tangan. Yoona pun lebih fokus kepada guru itu daripada anak-anak.

Setelah memperhatikan guru tersebut, Yoona yakin bahwa guru itu Sungmin. Gaya rambutnya memang berubah, tapi Yoona mengenali wajahnya. Tiba-tiba dia bertanya-tanya apakah Sungmin masih berkontak dengan Sunny dan “geng” mereka.

Sungmin meneriakkan beberapa kalimat dan melambai ke arah kerumunan orang, yang satu demi satu meninggalkan tempat mereka. Yoona tahu bahwa latihan sudah selesai. Anak-anak itu berlari ke arah yang berbeda setelah berterima kasih kepada Sungmin. Sungmin berjalan ke bangku kayu terdekat, membuka tasnya dan meminum air dari botol miliknya.

Yoona cepat-cepat berlari ke arahnya. “Sungmin!”

Yang dipanggil melihat ke arah Yoona dan hampir tersedak. Yoona kaget—semuanya terjadi begitu cepat. Hal yang diketahuinya selanjutnya, Sungmin batuk keras-keras.

“Astaga, Sungmin!” Yoona berjalan ke arahnya, tercengang. “Maaf! Aku—aku tidak bermaksud melakukannya! Kau tak apa-apa?”

Sungmin berhasil mengatur napasnya, dan menatap Yoona. “Yoona. Kau… Apa? Bagaimana ini bisa terjadi? Apa ini benar-benar kau?”

Yoona tersenyum dan mengangkat bahu. “Yeah. Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya. “Kukira kau di Roma, berlatih karate.”

“Aku sudah selesai,” jawab Sungmin. “Aku datang ke sini untuk mengajar. Seperti yang kaulihat sebelumnya, aku baru saja mengajar.” Dia melambaikan tangannya di udara.

“Oh.” Yoona menganggukkan kepalanya.

Sungmin lalu menyunggingkan senyumnya yang ramah. “Bagaimana denganmu sendiri, Yoona? Kenapa kau di sini?”

Yoona membalas senyumnya. “Liburan. Untung aku pergi ke sini atau aku takkan pernah bertemu denganmu.”

Sungmin terkekeh. “Ya, sudah lama, ya?” Hidungnya berkerut sedikit, dan matanya menunjunkkan sedikit ketidaknyamanan. Yoona melihatnya, tapi tidak berkata apa-apa.

“Y-Yeah. Sudah lama,” katanya terbata-bata. Lalu, dia ingat. “Oh, tunggu, bagaimana dengan Sun—”

“Oppa!”

Mereka berdua berputar. Yoona melihat sosok seorang perempuan dari kejauhan. Jelas-jelas, perempuan itu berbicara dengan Sungmin. Yoona mengawasi Sungmin, curiga. Apa tadi pacarnya? Tidak mungkin. Sungmin tidak mungkin punya pacar. Sunny adalah segalanya bagi dia, dan Yoona tahu itu. Berkencan dengan orang lain berarti membuat Sungmin mengkhianati Sunny.

Sungmin berdeham. “Umm, Yoona, kurasa aku akan melihatmu… kapan-kapan, oke?” Dia baru saja akan berlari ke arah perempuan itu, ketika Yoona menghentikannya.

“Tunggu! Kau akan meninggalkanku begitu saja? Kita baru saja bertemu! Setidaknya aku boleh punya nomor telponmu.”

Sungmin mengangkat bahu dan memberikan Yoona ponselnya. Yoona juga melakukan yang sebaliknya. Setelah bertukar nomor, Sungmin tersenyum, meski itu tidak se-“asli” sebelumnya. Yoona mengawasi wanita tadi, yang berjalan semakin dekat ke arah mereka.

“Siapa itu, Sungmin?”

Sungmin melirik ke arah wanita itu, yang sekarang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat mereka berdiri. “Oh, dia. Dia pacarku.”

Mata Yoona terbelalak.

“P-Pacar?”

“Oppa, kenapa kau lama sekali?” Wanita itu sekarang berdiri di samping Sungmin, mencondongkan badan ke arahnya. “Aku sudah menunggumu!”

Yoona masih tidak percaya apa yang dilihatnya. Dia menatap Sungmin, tidak percaya.

“Bagaimana—”

“Maaf, Yoona, aku harus pergi.” Sungmin memaksakan seulas senyum dan menarik tangan wanita itu, menyatukan jemari mereka. “Sampai jumpa!”

Sebelum Sungmin berjalan pergi dengannya, Yoona menatap wajah wanita itu hati-hati.

Matanya terasa dingin, seperti bisa melihat menembus tubuhmu, seperti seorang putri es.

***

Selasa, 24 Juli 2012

10.03 CEST

Bandara Internasional Charles de Gaulle, Paris, Prancis

***

Suara orang-orang berbicara terdengar ketika Siwon lanjut berjalan keluar dari bandara. Penerbangannya tadi lumayan. Sebagai seorang businessman, sudah keharusan baginya untuk bepergian kapan saja dan ke mana saja.

Choi Company sukses sekali belakangan ini. Mereka kini memperluas perusahaan ke Eropa—dengan Prancis sebagai target pertama mereka. Sebagai CEO perusahaan, Siwon bertanggung jawab atas semua itu.

Ponselnya bergetar—dia belum mengaturnya ke mode normal karena dia baru saja turun dari pesawat. Siwon berhenti berjalan dan mengambil ponselnya dari saku. Sebuah SMS.

Dari: Ibu

Aku dan ayahmu akan datang secepatnya. Dan jangan lupa untuk mengunjungi keluarga Kim, Siwon. Adikmu menunggu.

Siwon mendengus. Dia mematikan ponselnya, menaruhnya kembali ke sakunya.

“Persetan dengannya.”

***

Selasa, 24 Juli 2012

10.35 CEST

Champs-Elysées, Paris, Prancis

***

Siwon menaruh buku berjudul Bagaimana Menjadi Sukses Dalam Bisnis kembali ke raknya. Dia belum menemukan buku yang menarik. Menghabiskan waktu di toko buku setelah penerbangan mungkin bisa membuatnya “bersemangat” lagi.

Siwon lanjut menjelajahi gedung yang luas itu, mengambil acak buku-buku dan membaca cover belakangnya. Ada banyak orang di toko itu—dia kerap menabrak orang-orang yang meminta maaf (asumsinya) setiap kali. Sungguh keputusan yang buruk untuk memperluas perusahaan saat musim panas.

Dia menaiki tangga, tiba di lantai dua. Lantai itu dipenuhi buku-buku juga. Siwon berjalan melewati beberapa rak, menyadari bahwa sebagian besar buku di sini adalah buku pengembangan diri.

Dia tidak butuh pengembangan diri (menurut dirinya sendiri), tapi dia membaca beberapa buku di situ.

Setelah menghabiskan lima belas menit berkeliaran tanpa guna, Siwon kembali berjalan menuju tangga. Saat dia berjalan, dia mengamati orang-orang yang berkunjung. Ada banyak orang Prancis berbicara, dan Siwon tidak memahami satu kata pun yang mereka bicarakan.

Seorang gadis kecil bermain dengan bonekanya di pojokan. Seorang remaja cowok membaca cover belakang sebuah buku tentang pengembangan diri dalam berkencan. Sepasang tua yang tertawa ketika memeriksa cover belakang sebuah buku.

Dan seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang, membaca sebuah buku tentang pengembangan diri mengenai kesehatan.

Siwon menyipitkan matanya. Tentunya, wanita muda itu kelihatan familiar. Dia tidak tahu di mana dia pernah melihatnya sebelumnya.

Siwon berhenti berjalan, matanya terpaku pada wanita muda itu. Dia tinggi, sedikit kurus, dan kelihatan seperti orang Asia. Siwon berpikir tentang masa lalu, ke tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, ke orang-orang yang pernah ditemuinya…

Dapat!

Tanpa ragu, Siwon berjalan ke arah wanita muda itu, yang hampir tidak memperhatikannya. “Permisi.”

Yang dipanggil mendongak, melihat Siwon. “Ya?”

Siwon berdeham. “Joo… Joo Seohyun?”

Alis wanita muda itu berkerut, dan dia tersenyum aneh. “Ya? Apa aku mengenalmu?”

Siwon mendesah lega. “Seohyun!” Dia ingin memeluknya, tapi ekspresi wanita muda itu membuatnya berhenti. “Sudah lama! Kukira kau di Sydney?”

Seohyun—asumsi Siwon—menyipitkan mata ke arahnya. “Maaf, saya tidak tahu dari mana Anda mengetahui namaku, tapi saya tidak mengenal Anda. Menurut saya Anda salah orang. Maaf, permisi.”

Wanita muda itu membawa buku tadi dengannya dan pergi, berjalan menuruni tangga. Siwon ditinggal di sana, membeku.

Tidak mungkin. Itu pasti Seohyun. Tadi memang benar Seohyun, kan?

***

Selasa, 24 Juli 2012

12.08 CEST

Pantai Palm, Cannes

***

“Sunny! Hentikan! Kau merusaknya!”

“Tidak!”

“Sunny!”

Dua wanita muda itu mengawasi saat istana pasir itu runtuh karena air yang dituangkan di atasnya. Wanita yang lebih tinggi cemberut, sementara yang lebih pendek tertawa.

“Sunny! Lihat apa yang kaulakukan!” Kwon Yuri berteriak ke arah sepupunya. “Aku sudah menghabiskan banyak waktu membangun istana pasir itu, dan kau hanya menumpahkan air di atasnya!”

Sunny tertawa. “Karena itu menyenangkan!”

Yuri tetap cemberut.

“Oh, ayolah!” Sunny menyodoknya, menyingkirkan rambut pirang panjangnya dari wajahnya. “Bicara padaku! Tidak mau? Oke. Kalau begitu aku akan membeli es krim.”

Mata Yuri melebar senang. “Es krim? Belikan aku juga! Vanila untukku!”

Sunny mendengus. “Traktiranku. Hanya saat ini.” Dia memakai sandalnya dan berjalan menuju kios-kios di mana orang-orang menjual cemilan dan yang lainnya di dekat pantai.

Sampai di sebuah kios es krim, Sunny mengantre. Matahari begitu menyengat, dan dia tidak bisa berhenti memikirkan es krim yang dingin dan manis yang akan dimakannya beberapa menit lagi.

Keringatnya mulai membuat wajahnya basah saat menunggu. Sunny mengeluarkan dompetnya dari saku, mengeluarkan beberapa lembar uang, dan menaruh dompet itu di atas kepalanya untuk mengurangi sinar matahari. Hanya membantu sedikit.

Karena antreannya terlalu panjang, antrean itu dibagi menjadi dua. Sunny menunggu di sisi kanan sampai gilirannya. “Dua es krim vanila dalam cup,” katanya dengan bahasa Inggris-nya yang buruk.

Penjualnya menganggukkan kepala dan menoleh ke arah pelanggan di samping Sunny. “Dan apa pesanan Anda?”

“Es krim… coklat,” pelanggan pria itu menjawab, juga dengan bahasa Inggris-nya yang buruk.

“Dalam cup?”

“… Ya.”

Penjual itu tersenyum dan membuat pesanan mereka. Sunny bersiul pelan, membuat pelanggan pria itu menolehkan kepala ke arahnya. Tiba-tiba, matanya terbelalak.

“Sunny?”

Sunny menoleh ke kiri. Ternyata si pelanggan pria itu. Tapi ingatan Sunny mulai muncul ke permukaan…

“Donghae?”

Pria muda itu tersenyum. “Aku tidak percaya ini kau! Sudah berapa lama, setahun? Apa yang kaulakukan di sini? Dan ada apa dengan rambutmu? Kau kelihatan menggemaskan!”

Sunny tersenyum. “Trims,” balasnya. “Aku sedang berlibur. Mengajar di Shanghai cukup melelahkan, kau tahu. Kau juga berubah! Apa kau memotong rambutmu? Apa yang kaulakukan di sini?”

“Aku memang memotongnya,” kata Donghae, tertawa. “Juga sedang berlibur. Mempromosikan albumku adalah kegiatan yang cukup keras.”

Sunny baru saja akan mengatakan sesuatu, tapi penjual itu menghentikannya. “Es krim kalian,” katanya sambil mendorong es krim di atas konter.

“Trims,” kata Sunny dan Donghae bersama-sama. Mengambil cup mereka, mereka berjalan menjauh dari antrean dan berjalan kembali ke pantai bersama-sama.

“Album?” tanya Sunny. “Album apa?”

Donghae mengangkat bahu. “Yah, aku telah debut sebagai pianis, Sunny. Maaf, aku tidak memberitahumu sejak dulu. Ini album terbaruku, yang kedua. Judulnya Apricot.”

Sunny terkikik sambil memakan es krimnya. “Apricot. Nama yang sepertinya menggemaskan.”

“Memang.” Donghae tertawa.

“Sepertinya aku telah mendengar namamu beberapa kali. Aku tahu kau Donghae, tapi aku tidak tahu kau Donghae yang kukenal.”

“Yah, kau tahu sekarang. Aku sudah menjalani tur keliling duniaku, jadi sedikit tenang bagiku untuk berada di sini.”

“Sepupuku adalah salah satu penggemarmu. Kurasa dia menonton konsermu semalam.”

Mata Donghae melebar, tidak percaya. “Benarkah? Kuharap dia menikmatinya.”

Sunny menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Dia penggemar beratmu.”

Hampir sampai di tempat di mana Yuri berada, Sunny berhenti berjalan. “Aku harus pergi, Donghae. Apa kau… mau bertukar nomor telpon atau apa? Kita tidak bisa pergi seperti ini.”

Donghae setuju. “Ide bagus.” Dia memberikan Sunny ponselnya, dan Sunny mengetikkan nomornya sementara Donghae melakukan hal sebaliknya.

“Ini,” kata Sunny ketika mereka mengambil ponsel mereka masing-masing. “Kuharap kita bertemu lagi, Donghae.”

Donghae tersenyum. “Aku juga berharap begitu. Aku akan pergi ke Paris lusa. Mungkin kita bertemu lagi di sana?”

“Aku akan pergi ke sana besok!” ujar Sunny cerah. “Yeah, mungkin kita akan bertemu lagi di sana. Sampai jumpa!”

***

[A/N]: Annyeonghaseyo! Maaf ya, update-nya lama, hehe. Tapi hari ini author update dua chapter! Jadi bisa langsung dibaca, yaa~ Makasih udah baca FF ini! ^^

Three Little Words (Chapter 3)

Three Little Words

Title: Three Little Words (Chapter 3)

Author: tatabrigita

Main Characters: Siwon, Tiffany, Donghae, Yoona, Kyuhyun, Seohyun, Sungmin, Sunny

Main Songs: BoA – Only One, Girls’ Generation – Not Alone

Started: 060313

Genre: Romance, angst

Rating: General

Author’s Note: Author juga bikin versi bahasa Inggris-nya, bisa dilihat di sini.

***

Kamis, 14 Juli, 2011

8.54 KST

Taman kota, Denpasar, Bali, Indonesia

***

“Hei, tunggu!”

Seohyun berhenti mengayuh. Dia menoleh ke belakang dan melihat Kyuhyun mengendarai sepedanya, terengah-engah. Dia hanya terkikik dan menunggu Kyuhyun berada di sampingnya.

“Aku tidak percaya kau sangat cepat,” gumam Kyuhyun ketika dia sampai di sisi Seohyun.

“Aku bersepeda setiap hari. Itu membuatku sehat,” kata Seohyun.

Kyuhyun menatapnya, tidak percaya. “Makan sehat dan berolahraga. Itu mustahil.”

Seohyun tertawa lagi. Dia menaruh kaki kirinya di salah satu pedal dan tangannya di stang sepeda. “Ayo, kita memutari taman sekali lagi baru istirahat.”

Kyuhyun mengerang, tapi dia mengikuti Seohyun, mengikuti jalan setapak. Kyuhyun jarang berolahraga, terutama bersepeda. Itu menjadi semacam hal baru baginya, dan memalukan bahwa Kyuhyun lupa dasar-dasar mengendarai sepeda beberapa jam sebelumnya, tepat di depan Seohyun.

Ketika Kyuhyun terlalu lelah untuk bersepeda cepat-cepat, Seohyun justru menikmati saat itu. Dia suka bagaimana angin meniup rambutnya dan mengenai wajahnya. Sudah seharusnya dia berolahraga, dan dia sangat bahagia ketika Kyuhyun memutuskan untuk ikut bersepeda dengannya.

Mereka sudah memutari taman, dan Seohyun berhenti. Dia turun dan memarkir sepedanya di depan sebuah bangku kayu, dan duduk di atasnya. Kyuhyun meniru tindakannya dan duduk di samping Seohyun. Dia menarik napas dalam-dalam, tersenyum.

“Akhirnya. Ini surga.”

Seohyun tertawa. “Kau harus terbiasa berolahraga di pagi hari, Kyuhyun-ssi.”

“Aku masih mengantuk dan capek. Itu bukan pertanda yang bagus,” Kyuhyun bercanda sebelum ikut tertawa.

Seohyun mengangkat bahu. “Kau juga harus bangun pagi.”

“Aku selalu bangun pagi… kalau ada alarm.” Kyuhyun tersenyum.

“Maksudku bangun sendiri. Tanpa alarm.”

“Itu terlalu susah.”

“Kau seorang dokter. Kataku bangun pagi itu gampang sekali.”

Kyuhyun menganggukkan kepalanya hanya untuk menghentikan Seohyun berbicara seperti ibunya. Dia berdiri dan menatap Seohyun. “Kenapa kita tidak sarapan saja?”

Seohyun berpikir sebentar, sebelum berdiri. “Oke.”

Mereka bersepeda ke kafe terdekat dan memarkirnya di parkiran khusus sepeda. Itu adalah kafe sederhana, tapi membuat mereka merasa nyaman. Kafe itu dipenuhi perabotan kayu dan tanaman segar di luar jendela.

Mereka duduk di sebuah meja, berhadapan, dengan pesanan mereka di atas meja. Kyuhyun makan dengan bersemangat, sementara Seohyun hanya menggigit rotinya sedikit demi sedikit.

“Hati-hati, Kyuhyun-ssi, kau bisa membuat tenggorokanmu sakit,” Seohyun memperingatkan dengan lembut.

Kyuhyun menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Aku baik-baik saja.”

Seohyun kelihatan khawatir, tapi Kyuhyun hanya terkekeh. “Seohyun, ini hanya makanan. Tidak akan membunuhku—yah, kecuali kalau diracuni.”

Seohyun menganggukkan kepalanya. Dia sering menghabiskan banyak waktu dengan Kyuhyun belakangan, daripada dengan teman-temannya. Dia meragukannya setiap menit. Di satu sisi, dia ingin bersama Kyuhyun sampai liburannya habis… Tapi di sisi lain, dia tidak bisa berhenti berpikir tentang orang yang mengganggu pikirannya.

“Hei, kau baik-baik saja?”

Seohyun sadar dari acara berpikirnya, melihat Kyuhyun melambaikan tangannya di depannya. Seohyun memaksakan seulas senyum. “Ya.”

Kyuhyun menghela napas. “Sekarang aku mengkhawatirkanmu. Makan yang banyak.” Dia mengangguk ke arah piring Seohyun.

Seohyun tidak punya selera makan dari awal. “Aku selesai.”

“Ayolah, roti juga sehat!” erang Kyuhyun.

Seohyun terkikik. “Sungguh. Apa kau sudah selesai?”

Kyuhyun menggelengkan kepalanya, tapi dia tidak makan lagi. Malah, dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Benda itu bersinar di bawah cahaya lampu, menarik perhatian Seohyun.

“Ooh, apa itu?” tanyanya, menunjuk ke arah objek itu.

Kyuhyun tersenyum, tapi kali ini malu-malu. “Um, ini untukmu, sebenarnya.” Dia meraih tangan Seohyun, membukanya, dan menaruh  benda itu di tangannya.

Seohyun merasakan dingin di kulitnya. Sebuah kalung perak. Di bandulnya terdapat mutiara, yang berbentuk hati.

“Aku tahu ini terlalu biasa untuk laki-laki memberikan perempuan kalung dan perhiasan lain,” kata Kyuhyun, rasa panas mulai merayap ke pipinya. “Tapi aku tidak bisa menemukan apapun yang akan kelihatan lebih bagus denganmu daripada kalung itu.”

Seohyun tersenyum tulus. Dia memegang kalung itu dan memandangnya lebih dekat. “Aku menyukainya.” Dia mendongak ke arah Kyuhyun, mata mereka saling menatap. “Terima kasih.”

Kyuhyun menghela napas lega dan mengangguk. “Aku senang kau suka.”

Seohyun tidak berhenti tersenyum, dan dia baru saja akan memakai kalung itu, hingga Kyuhyun menghentikannya.

“Apa?” tanya Seohyun.

Kyuhyun mendadak berdiri dan berjalan ke belakangnya. “Biarkan aku memakaikannya untukmu.” Dia mengambil kalung itu dari genggaman Seohyun dan menyingkirkan rambut coklatnya dari punggungnya dengan hati-hati. Ketika kulit mereka bersentuhan, Seohyun merinding dan menggigit bibirnya. Kalung itu terasa dingin, meski jemari Kyuhyun terasa hangat ketika dia membelai bahunya.

“Nah.” Kyuhyun menyingkir ke kursinya dan tersenyum. “Kau kelihatan cantik. Seperti biasa.”

Pipi Seohyun memerah. “Terima kasih. Kau tidak perlu sebaik ini.”

Kyuhyun terkekeh. “Ini pertama kalinya aku memberikan sesuatu untuk cewek.”

Seohyun mengangguk, tidak berani menjawab. Jantungnya berdegup terlalu kencang. Dia melanjutkan memakan makanannya. Kyuhyun mengangkat alisnya dan mencondongkan tubuhnya. “Ada apa?”

Seohyun mendongak. Dia tiba-tiba merasa lemah di depan Kyuhyun. Matanya yang telah membuat hatinya serasa meleleh… “Aku hanya… Aku hanya senang aku bisa bertemu denganmu, Kyuhyun-ssi,” bisik Seohyun.

Kyuhyun tersenyum tulus. “Aku juga. Sungguh. Oh, dan aku lebih tua dua tahun darimu. Kau harus memanggilku ‘oppa’.”

“Baiklah, oppa.”

Kyuhyun bertepuk tangan senang. “Kau sangat lucu!”

Seohyun memutar bola matanya.

Ketika mereka selesai sarapan, Kyuhyun membayarnya setelah berdebat dengan Seohyun. Mereka berdua pergi keluar kafe, dan Kyuhyun memeluknya dengan lengan kanannya, sementara dia menaruh tangannya yang bebas di sakunya. Seohyun berusaha untuk tidak membuat pipinya panas, tapi sudah terlanjur.

“Bagaimana kalau kita kembali?” ujar Seohyun tiba-tiba.

Kyuhyun menatapnya, berhenti berjalan. “Kau tidak mau menikmati hari ini?”

“Aku ingin, setelah aku membawa sepedaku kembali ke resor.” Seohyun hati-hatimelepas pelukan Kyuhyun. Dia tiba-tiba merasa kosong, tapi Seohyun mengabaikannya.

Kyuhyun mengangkat bahu dan mengambil sepedanya juga. “Sayang sekali liburan kita akan berakhir,” katanya.

Seohyun memandangnya, tersenyum. “Kita harus menghabiskan sisa waktu ini bersama, oppa.”

Kyuhyun tersenyum. Menghabiskan sisa waktu ini bersama. Dia suka itu. Dia suka bahwa Seohyun mengatakannya.

“Kejar aku, oppa!”

Kyuhyun mengerang. “Oh, jangan ini lagi!”

***

Kamis, 14 Juli, 2011

10.23 KST

Taman Hiburan, Denpasar, Bali, Indonesia

***

“Tadi hebat sekali! Ayo, kita lakukan sekali lagi!”

Siwon mengerang. Dia menatap Tiffany, tidak percaya. “Menurutmu aku ingin menaiki roller coaster lagi?”

Tiffany cemberut. “Ayo!” dia memohon. “Aku benar-benar ingin naik sekali lagi!”

Siwon menggeleng dan menyeret Tiffany dari pintu masuk wahana roller coaster. “Tidak. Kali ini, kita pergi ke istana boneka.”

“Tapi—kita bisa pergi ke sana nanti!” Tiffany berusaha untuk melepaskant angannya, tapi Siwon terlalu kuat untuknya.

Sementara Tiffany terus mengeluh tentang menaiki roller coaster lagi, mereka berdua melihat istana biru raksasa di depan mereka. Ramai, seperti wahana yang lain, tapi Siwon tetap membeli tiket dan menunggu di antrean orang yang akan pergi masuk ke istana.

“Aku tidak percaya kita akan pergi ke tempat untuk anak kecil,” gumam Tiffany sedih.

Siwon terkekeh. “Kita sudah menaiki banyak wahana, tapi kita belum naik yang ini.” Dia tersenyum ke arah Tiffany, dan reaksinya hanya mengedipkan matanya beberapa kali.

Setelah menghabiskan beberapa jam di taman hiburan (kebanyakan menggenggam tangan satu sama lain), keduanya memutuskan untuk makan siang bersama. Mereka tidak mengatakan apapun, berjalan menuju restoran, masih saling berpegangan tangan.

“Kau ingin makan apa?” tanya Siwon ketika mereka duduk di kursi masing-masing di restoran.

Tiffany membaca menu itu dengan teliti. “Aku akan memesan steak.”

“Aku juga.” Siwon menarik menu Tiffany dan memberikannya kepada pelayan. Pelayan itu pergi, dan Siwon memfokuskan perhatiannya kepada Tiffany. Dia suka sekali melihat Tiffany duduk diam seperti itu. Cantik, seperti biasa.

“Tiffany,” panggilnya.

Tiffany menatapnya. “Ya?”

Sedikit ragu, Siwon mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Perak dan menyilaukan, menarik perhatiannya. Tiffany mencondongkan diri ke depan untuk melihat apa yang ada di tangan Siwon.

“Gelang?” Tiffany berbicara.

Siwon menganggukkan kepalanya. “Menurutku ini sedikit klise, tapi aku masih ingin memberikan ini padamu.” Dia menaruh benda perak itu di tangan Tiffany.

Tiffany hanya menatapnya. Gelang itu terbuat dari rantai perak, saling berhubungan. Tidak ada yang spesial—hanya gelang biasa. Tapi Tiffany merasa tersanjung telah memiliki benda itu.

“Terima kasih,” katanya, mendongak. Ketika mata mereka bertemu, dia merasakan gelombang kebahagiaan yang aneh menelannya.

Siwon tersenyum lebar. “Itu tidak mewah atau semacamnya, tapi menurutku kau akan menyukainya. Yang sederhana.”

Tiffany terkikik. “Ya. Aku akan menyimpannya. Ini sangat cantik.”

Siwon tersenyum. “Sepertimu.”

Tiffany terkikik lagi. “Kau harus berhenti dengan godaan-godaan itu.”

“Aku tidak menggoda, itu kenyataan!” Siwon membela diri sendiri.

Tiffany tertawa. Dia memasang gelang itu di pergelangan tangan kirinya, memeriksanya di bawah cahaya lampu. “Pas.”

Siwon tersenyum. “Aku tahu pasti pas.”

“Apa harganya mahal?”

“Tidak, lumayan murah sebetulnya, tapi kualitasnya bagus.”

Tiffany mengangguk dan mendongak begitu pesanan mereka tiba. “Apa kau selalu seperti ini?”

Siwon mengangkat alisnya. “Seperti apa?”

Tiffany menarik piringnya lebih dekat dan mulai makan. Dia tidak pernah memakan sesuatu yang lebih enak daripada ini. “Bersikap baik kepada cewek,” katanya setelah berpikir. “Kau tahu, membawa mereka ke berbagai tempat. Membelikan mereka hadiah.”

Dia menduga Siwon akan marah—dia menduga Siwon akan berpikir Tiffany menganggapnya seorang playboy. Bagaimanapun juga, Tiffany berpikir kata-katanya sedikit kurang nyaman. Dia tidak bermaksud meragukan perasaan Siwon padanya—atau perasaannya kepada Siwon—tapi itu hanya rasa ingin tahu belaka.

Tapi Siwon hanya tertawa. “Kenapa kau bertanya?”

“Hanya ingin tahu.”

Siwon tersenyum. Menurutnya pertanyaan Tiffany agak… konyol. Apa dia cemburu? Yah, Siwon tidak bisa menyalahkannya. Semua orang berpikir bahwa Choi Siwon yang kaya dan tampan telah berkencan dengan banyak wanita.

“Tidak. Kau yang pertama.”

Tiffany terbelalak. “Maksudmu kau selalu bersikap dingin ke cewek-cewekmu?”

“Cewek-cewekku?” Siwon terkekeh. “Aku belum pernah berpacaran. Aku selalu fokus ke pekerjaanku. Menurutku pacaran hanya… mengganggu.”

Hal itu cukup mengejutkan. Tapi Tiffany memahaminya. Seperti di film-film—si pria ideal, pria yang diidolakan semua wanita, tidak tertarik dengan cinta. Si pria ideal terlalu sibuk membenamkan diri dengan kewajibannya.

Tiffany sadar bahwa dia dan Siwon punya banyak kemiripan. Mereka berdua hampir mengucilkan teman-teman dan keluarga mereka, mereka sering dibilang terobsesi dengan pekerjaan mereka, dan mereka tidak pernah tertarik dengan cinta—sampai sekarang.

“Apa yang kaupikirkan, Tiffany?” Kata-kata Siwon menyadarkannya.

Tiffany cepat-cepat menggelengkan kepala. “Tidak ada. Hanya saja… menurutku kita punya banyak kesamaan.”

Siwon tersenyum senang. “Benar. Mungkin karena itu kita sangat dekat.”

Dekat? Mungkin. Mereka memang menghabiskan hari-hari liburan mereka bersama, dan Tiffany selalu merasa nyaman bersama Siwon—kehadirannya, senyumnya, kepribadiannya. Selalu bahagia baginya untuk berada di sekitar Siwon, dan mungkin Tiffany mengenal Siwon lebih daripada yang dia ketahui.

Siwon menarik napas, dan Tiffany menatapnya.

“Untuk sekarang, menurutku ini adalah waktu yang tepat untuk jatuh cinta.”

***

Kamis, 14 Juli, 2011

10.52 A.M.

Toko Buku Gramedia, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Suara buku-buku ditaruh di atas rak, halaman dibolak-balik, orang-orang berbicara, terdengar. Yoona tidak peduli dengan apapun dan tetap melanjutkan pencariannya. Dia berjalan melewati rak demi rak, tapi masih belum ditemukan.

“Beruntung?” Donghae tiba-tiba berdiri di depannya.

Yoona mendongak. Setelah beberapa detik, dia mendesah. “Tidak. Tidak beruntung sama sekali.”

Donghae tersenyum sementara dia menunjukkan Yoona sesuatu dari belakang punggungnya. “Yah, aku beruntung.”

An Autumn Symphony!” Yoona terperangah. Dia meraih buku itu dan menatapnya, tidak percaya. Dia memandang Donghae. “Kau menemukannya!”

Donghae mengangkat bahu. “Gampang, sungguh. Aku hanya bertanya kepada salah satu staf.”

Yoona merasa pipinya mulai memerah.

Donghae terkekeh. Melihat Yoona seperti itu hanya membuatnya bahagia. “Ayo,” katanya, menggenggam tangan Yoona. “Kita keluar dari sini. Yah, setelah kau membayarnya.”

Yoona menunggu di antrean di konter, dan mengalami sedikit kesulitan saat membayar karena perbedaan bahasa. Ketika dia selesai, dia berjalan keluar toko, di mana Donghae menunggunya.

“Terima kasih banyak,” ujar Yoona ketika mereka berjalan bersampingan di trotoar. “Aku pernah bertanya ke salah satu staf di sana dan katanya stoknya habis.”

Donghae menganggukkan kepalanya. “Mungkin mereka menambahnya.” Dia menarik napas. “Kalau begitu, ayo kita beli sesuatu.”

“Beli apa?”

“Es krim.”

Yoona tertawa, tapi dia setuju. Dia merasa lebih ringan dengan setiap langkah yang diambilnya. Dunia kelihatan indah, jauh lebih indah. Dan ketika dia menjatuhkan pandangannya ke Donghae… Yah, tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaannya.

Mereka berjalan di trotoar. Donghae tidak mengatakan apa-apa, begitu juga Yoona. Tapi itu bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang saling memahami.

Meski tidak ada kata-kata, Donghae bisa memahami semuanya. Dia merasa damai. Dia tahu bahwa segalanya akan baik-baik saja asal Yoona berada di sisinya. Yoona semacam oksigennya—Donghae tidak bisa bertahan bila bukan karena dia.

Donghae tidak pernah merasakan dia benar-benar membutuhkan sesuatu. Sekarang dia begitu. Dia benar-benar membutuhkan Yoona. Dia bertanya-tanya apabila dia tidak pernah bertemu Yoona. Mungkin dia akan tetap menjadi Donghae yang sama dengan yang dulu. Yah, sekarang dia Donghae yang berbeda.

Sekarang, dia adalah Donghae yang lebih periang daripada Donghae saat dia pertama kali datang ke Indonesia. Hari itu, segalanya terasa begitu muram, begitu gelap karena masalah-masalahnya. Masalah yang tidak bisa dipecahkannya hingga sekarang. Dia berpikir bahwa dengan datang ke sini, setidaknya dia akan terbebas dari masalah-masalah itu untuk sementara. Dan memang itu benar terjadi.

Tapi bahkan dalam kebebasannya, dia masih membutuhkan Yoona.

Mereka sampai di taman kota. Hari itu cerah, jadi taman itu ramai. Donghae tiba-tiba menggenggam tangan Yoona, menyatukan jemari mereka, sebelum mereka memasuki taman kota.

Sambil berjalan, Yoona mendekat ke arah Donghae. Ketika dia sedang bersamanya, Yoona merasa aman. Tentu, Yoona adalah orang yang riang dan keras kepala, dan dia berpikir bahwa orang sepertinya tidak butuh banyak perlindungan. Meski Donghae tidak melakukan apa-apa, Yoona mampu mengontrol rasa keras kepalanya, dan untuk pertama kalinya, dia menaruh kebahagiaan orang lain lebih dulu daripada kebahagiaan dirinya sendiri.

“Rasa apa?” tanya Donghae ketika mereka sampai di kios es krim.

“Vanila,” jawab Yoona.

Donghae memesannya, lalu dia memegang dua cone es krim. Yoona mengambil satu dan mulai makan. “Trims, Donghae.”

Dia menganggukkan kepalanya. “Bukan masalah,” balas Donghae, meraih tangan Yoona dan mereka berdua duduk di atas bangku.

Pemandangan kota kelihatan indah. Yoona selalu ingin pindah dari London. Tentu, London adalah kota yang sangat cantik, tapi dia hanya ingin pengalaman yang berbeda. Mungkin dia bisa pindah ke sini, ke Bali. Atau mungkin dia bisa pindah ke Tokyo, tempat Donghae tinggal…

Tapi itu tidak masuk akal. Dia masih punya pekerjaan yang harus dilakukan, dan dia juga tidak bisa meninggalkan teman-temannya di London begitu saja. Dan bagaimana dengan orangtuanya? Meninggalkan London dengan alasan seperti itu tidak akan meyakinkan mereka.

Yoona hanya bosan dengan hidupnya. Terus-menerus. Dia ingin sesuatu yang berbeda. Meski dia masih punya semangat muda dan riangnya, dia merasa bahwa dia dikurung.

Dan Donghae membuatnya merasa aman. Tapi aman yang berbeda. Yoona tidak merasa terkurung ketika dia bersama Donghae. Seperti seseorang melindunginya, tapi dia juga masih bisa mempunyai semangatnya. Seperti seseorang menontonmu dari jauh, tapi kau tidak akan terluka.

Yoona suka perasaan itu. Dia suka apa yang dia rasakan ketika dia bersama Donghae. Mungkin hidupnya tidak semembosankan seperti yang diduganya.

“Terima kasih,” kata Yoona tiba-tiba.

Donghae menatapnya. “Untuk apa?” Dia memandangi es krim mereka yang meleleh. “Oh. Ini? Bukan masalah. Aku masih punya banyak u—”

Yoona menggelengkan kepalanya. “Bukan itu.” Dia menggigit bibirnya, berpikir untuk sesaat. “Tapi karena telah menemukanku.”

Donghae sadar apa maksudnya, dan dia memberikannya seulas senyum—senyum yang bisa membuat hati Yoona meleleh seperti es krim yang dipegangnya. Yoona tidak merasa lemah atau kuat—dia hanya merasa pas, benar.

“Sama-sama.”

***

Kamis, 14 Juli, 2011

11.02 KST

Kebun Binatang, Denpasar, Bali, Indonesia

***

“Ayolah!”

“Aku tidak mau ke sana! Menyeramkan!”

“Berhenti bersikap seperti itu!”

Sungmin hanya mengeluh sementara Sunny menyeretnya masuk ke mobil. Dia menginjak pedal gas dan mobil mulai bergerak menuju para binatang. Di sini, binatang-binatang di kebun tidak dikurung, tapi di hutan di pegunungan. Kebun binatang itu cukup jauh dari kota, tapi Sunny yang menyarankan mereka pergi ke sana, dan Sungmin setuju.

Sungmin menatap keluar jendela. Mereka melewati sekumpulan rusa, dan Sunny memandang ke arah pemandangan beberapa kali. “Aku tidak sabar hingga kita sampai ke singa-singa.”

“Singa?” Sungmin menelan ludah.

Sunny menganggukkan kepalanya. “Yeah. Singa. Kenapa? Kau kedengaran takut.”

Sungmin menggelengkan kepalanya. “T-Tidak, aku tidak takut.”

Sunny hanya terkikik. “Tentu saja kau takut,” ujarnya, memutar mobil menuju jalan lain. Setelah lima belas menit yang panjang, mereka memasuki tempat para singa berada.

“Stop! Putar balik! Putar balik!” teriak Sungmin, berusaha menarik Sunny menjauh dari roda kemudi.

Sunny menggelengkan kepalanya. “Tidak! Tidak putar balik!”

Gerbang dibuka dan Sungmin bisa melihat singa di mana-mana. Dia membeku di kursinya, sementara Sunny menikmati Sungmin yang ketakutan. Ketika mereka akhirnya selesai melihat para binatang, Sunny memarkir mobilnya dan tertawa.

“Aku tidak tahu orang sepertimu bisa begitu takut terhadap singa,” katanya, masih tertawa.

Sungmin cemberut. “Aku panik, oke? Aku kira mereka akan melompat ke mobil dan merobek kita.”

“Itu tidak akan terjadi.” Sunny berputar ke kiri untuk menatap Sungmin.

Sungmin menatapnya. “Kenapa?”

“Karena aku akan melindungimu bila begitu.” Sunny tersenyum senang.

Sungmin hanya diam—dia senang, tentu saja, tapi dia tidak bermaksud Sunny harus melindunginya setiap saat. “Aku bisa melindungimu juga.”

Sunny tertawa. “Oke, kita akan melindungi satu sama lain.” Dia mengulurkan tangannya dan meraih tangan Sungmin, membuat lingkaran di tangannya dengan jemarinya.

“Apa yang kaulakukan?” tanya Sungmin penasaran.

“Menulis namaku,” jawab Sunny, lalu mendorong tangan Sungmin untuk menyentuh dada pria itu—di mana jantungnya terletak. “Nah. Sekarang namaku akan berada di hatimu selamanya.”

Sungmin terkekeh. Dia sungguh kekanak-kanakkan. Tapi, kekanak-kanakannya membuatnya berbeda. Perbedaan Sunny dengan orang lain banyak sekali. Tapi dia masih punya hati yang baik seperti orang-orang yang Sungmin kenal. Hati yang baik. Hati yang selalu menjadi milik Sungmin.

“Kau tidak perlu melakukannya,” kata Sungmin lembut. “Aku akan selalu mengingatmu.”

Sunny cemberut. “Tapi itu berbeda. Kalau kau mengingatku, kau melakukannya dengan pikiranmu, bukan hatimu.”

Sungmin tersenyum. Dia akan selalu mengingat Sunny. Bagaimana dia bisa melupakan orang yang telah membuatnya seperti ini? Sunny membuatnya merasa begitu nyaman, begitu bahagia. Bahkan kalau otak Sungmin dicuci, Sungmin ragu apakah dia akan melupakan Sunny. Dampak Sunny terhadapnya terlalu besar, bahkan untuk dirinya sendiri.

“Jangan khawatir, Sunny. Aku akan selalu mencintaimu.”

Sunny mengedipkan matanya.

Langsung. Sunny berpikir bahwa Sungmin terlalu takut untuk membicarakan perasaannya, tapi Sunny salah. Sungmin dengan jelas menyatakan bahwa dia mencintainya. Sunny tidak tahu harus menjawab apa.

Mungkin itu terlalu cepat. Mereka bersama hanya beberapa minggu. Tapi Sunny tidak bisa membantah bahwa bersama Sungmin adalah perasaan terbaik yang pernah dirasakannya.

“… Aku tahu.”

***

Rabu, 27 Juli, 2011

8.05 KST

Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Indonesia

***

“Kau akan baik-baik saja?”

“… Tidak.”

Siwon mendesah. Dia menarik Tiffany untuk sebuah pelukan erat, dan Tiffany langsung merasakan sakit. Mendadak, wajahnya dipenuhi air mata, dan Siwon sibuk mengusapnya.

Seohyun berdiri dan memeluk Tiffany erat. Dia akan jelas-jelas merindukan ini. Semua ii. “Unnie, aku tahu apa yang kaurasakan…”

“Aku… akan… merindukanmu…” Tiffany terisak.

Yoona berusaha untuk menahan tangis, tapi mustahil. Dia buru-buru mengusapnya, tapi katanya sambil gemetaran, “Kita semua akan merindukan ini.”

Kedelapannya seharusnya meninggalkan Bali pada hari yang berbeda, tapi mereka mengaturnya sehingga bisa pergi pada hari yang sama, meski bukan di pesawat udara yang sama. Kedelapannya akan pergi ke kota yang berbeda, negara yang berbeda, bagian dunia yang berbeda.

Dan Sungmin-lah yang akan pergi pertama.

Speaker memberikan pengumuman bahwa pesawat Sungmin sudah datang. Sunny membeku, dan dia memandang Sungmin. Dia merasa tidak enak. Lebih dari tidak enak. Sunny merasa sangat buruk, seperti sebuah boneka rusak.

Sungmin menghela napas dan berdiri. Dia memeluk semua orang untuk yang terakhir kalinya, dan ketika dia sampai di Sunny, dia memeluknya erat, lebih lama dari yang lain. “Janji padaku bahwa kau tidak akan pernah melupakanku.”

Sunny menjadi lemah dengan cepat. Dia jelas-jelas tidak punya kekuatan untuk berdiri tegak lagi. “T-Tidak akan…”

Sungmin melepas pelukannya dan pergi ke gerbang keberangkatan ke Roma secepatnya. Sunny menangis dalam diam, merasa mati rasa. Seohyun cepat-cepat menarik Sunny ke pelukannya juga.

“Ini tidak… baik-baik saja…” tangis Sunny.

Donghae lalu menepuk bahu Sunny. Dia tahu bagaimana rasanya. Dia akan merasakan rasa itu sebentar lagi. Ketika Yoona…

Suara koper ditarik membawa Donghae kembali. Dia berputar dan melihat Yoona memeluk Kyuhyun, lalu Siwon.

Dan dia berjalan ke arah teman-temannya.

“Jaga diri, kalian semua,” Yoona berbisik pelan karena isakannya. “Aku akan merindukan kalian. Kita akan bertemu lagi, aku janji.”

Donghae menarik napas dalam-dalam ketika Yoona berjalan ke arahnya.

“Tidak, jangan…” Donghae berusaha menghentikannya, tapi Yoona sudah terlanjur memeluknya. Hati Donghae pecah berkeping-keping—itu adalah perasaan paling buruk di dunia.

Yoona tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu bahwa berbicara hanya akan membuat Donghae sedih. Yoona hanya berusaha mengingat baunya, lengan Donghae melingkari pinggangnya, perasaan meninggalkan seseorang.

Yoona melepaskan pelukan, dan menarik napas. Panggilan terakhir, dan Yoona pergi ke gerbang keberangkatan menuju London, dan menghilang dari pandangan. Donghae merasakan rasa sakit mengguyurnya.

Siwon selanjutnya. Tiffany sudah selesai menangis, tapi orang-orang bisa melihat rasa terluka di matanya. Kyuhyun memeluk Siwon erat, dan Siwon pergi ke Seoul.

“Orang… orang… pergi…” Sunny tidak berhenti menangis.

Seohyun tetap memeluknya. “Unnie…”

Sunny terisak lagi, dan akhirnya gilirannya. Dia menarik kopernya sambil memeluk yang lain dalam diam. Dia mengusap air matanya dan berjalan menuju gerbang keberangkatan ke Shanghai.

Tidak ada yang berbicara, tapi akhirnya Seohyun menangis. Dia cepat-cepat mengusapnya, dan Tiffany memeluknya kali ini. Semuanya terasa buruk untuk mereka berempat.

Speaker pun menyala dan pesawat menuju Sydney sudah tiba. Seohyun menarik kopernya dan memeluk mereka semua, berkata, “Aku akan merindukan kalian.” Sebelum dia sempat berjalan ke arah Kyuhyun, pria itu telah menariknya untuk dipeluk, membuat Seohyun nyaris jatuh.

“Ingat aku.”

Seohyun tersenyum setengah hati. “Selalu, oppa.”

Seohyun lalu berjalan pergi, dan tepat setelah itu, giliran Donghae. Dia memeluk Kyuhyun dan Tiffany, dan pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Mereka semua tahu bagaimana rasanya.

“Jadi, tinggal kita,” kata Tiffany sambil mendesah.

Kyuhyun menganggukkan kepalanya. “Kau tahu bahwa aku akan merindukanmu juga, Tiffany?”

Tiffany memaksakan seulas senyum. “Tentu saja.” Speaker pun menyala lagi, dan dia mengangkat bahu. “Giliranmu, Kyuhyun. Aku akan merindukanmu juga.” Dia memeluk Kyuhyun dan memerhatikannya pergi ke Boston.

Aku selalu yang belakangan.

Setelah beberapa menit, penerbangan Tiffany ke Paris sudah siap. Dia menarik kopernya dan berjalan menuju gerbang keberangkatan, meninggalkan segala memori dan perasaan di belakang.

***

[A/N]: Eits, tunggu dulu! FF-nya blom selesai, lho! Inget teaser-nya? “Satu tahun berlalu”… Jadi itu petunjuknya, hehe. Tunggu ya, update selanjutnya!

 

First Meeting [Part 2]

Untitled-1 cópia

Title : First Meeting [Part 2] || Author : andinarima || Main Cast : Lee Donghae, Jessica Jung, Kris Wu, Tiffany Hwang || Other Cast : You’ll find out in this story || Length : Chapter || Genre : Romance, Drama, Friendship || Rating : PG+13 || Inspired : Novel ‘My Boyfriend’s Wedding Dress’ karya ‘Kim Eun Jeong’

Sesampainya di lokasi syuting, Jessica melihat Seohyun dan seorang namja sedang membujuk Yuri untuk melakukan syuting lagi. Jessica melangkah menuju tempat mereka.

“Seohyun?”

“Jess eonni? Kenapa eonni kemari?” Seohyun bertanya dengan nada takut.

“Tenang saja aku tidak ingin memarahi Yuri,” kata Jessica seraya menepuk lembut pundak Seohyun. Lalu Jessica berpaling ke Yuri. Gadis itu sepertinya benar-benar tidak mau syuting lagi, karena sudah beberapa orang yang membujuknya tapi tetap saja ia tak mau. Akhirnya Jessicalah yang turun tangan.

“Yuri-ya?” sapa Jessica lembut. Ia duduk di samping Yuri. “Ada apa? Kenapa kamu mendadak tidak mau syuting?”

Yuri menoleh lalu sifat aslinya muncul kembali. “Eon, kalau fotografernya bukan Changmin Oppa aku tidak mau difoto!” tandasnya. Shim Changmin, fotografer sebelum Donghae. Ia mengundurkan diri karena tidak tahan bekerja sama dengan model yang memiliki sifat seperti Yuri.

Jessica yang tahu alasan mengenai pengunduran diri Changmin hanya bisa menghela napas. Ia tidak sanggup berkata yang sejujurnya karena takut melukai perasaan Yuri.

Donghae yang melihat pemandangan itu dari jauh langsung menghampiri mereka.

“Kalau kamu tidak mau syuting lagi tidak apa. Karena tidak akan ada yang bisa membujukmu kecuali dirimu sendiri yang mau. Lagipula mungkin saja fotografer Shim tidak mau berurusan denganmu karena sifatmu itu yang sangatlah kekanak-kanakan. Menyebalkan,” ujar Donghae tajam.

Jessica yang mendengarnya langsung memelototi Donghae, tapi Donghae tetap stay cool dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.

Yuri melihat Donghae sekilas dan detik itu juga ia terpana. Gadis itu berdiri tepat di depan Donghae dan menatap Donghae dengan mata berbinar.

Oppa, apa Oppa fotografer pengganti Changmin Oppa?”

Donghae mendelik. “Jangan panggil aku dengan sebutan itu,” desisnya.

Semua orang disana terkejut. Yuri kalau sudah disinisin seperti itu ia akan langsung naik darah. Jessica dan Seohyun menahan napas ketika Yuri membuka mulutnya.

“Jawab saja pertanyaanku, Oppa,” kata Yuri manja. Ia tidak menghiraukan perkataan Donghae untuk tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Oppa’.

Jessica maju untuk menengahi. “Iya, Yuri-ya. Ia akan jadi fotografermu.”

Mata Yuri seketika semakin bercahaya. Ia memanggil Seohyun untuk melakukan persiapan segera dan berlari ke ruangannya untuk berganti baju dan make-up.

“Donghae-ssi, tolong maklumi sifat Yuri,” ujar Jessica pelan. Tetapi Donghae hanya mendengus pelan.

Ahh, aku bisa frustasi kalau seperti ini. Menghadapi Yuri saja sudah sangat melelahkan, apalagi menghadapi seorang lagi, batin Jessica.

Beberapa menit kemudian Yuri sudah siap dengan penampilannya dan Donghae–dengan permohonan dari Jessica–sudah siap dengan kameranya. Pemotretan untuk majalah Style pun dilakukan. Beberapa kali pengambilan gambar dari sisi yang menurut Donghae ‘cocok’. Beberapa kali terjadi adu mulut kecil antara fotografer dan modelnya. Dan beberapa kali juga ketika break Yuri mendapat sinisan dari Donghae. Sepertinya gadis itu sudah mulai melupakan fotografernya yang dulu. Dan sekarang ia siap untuk mendekati fotografernya kali ini.

“Jess Eon, sepertinya fotografer kita kali ini berhasil lagi membuat Yuri menjadi ‘jinak’,” ujar Seohyun ketika memperhatikan Yuri.

Jessica mengangguk setuju. “Menurutmu berapa lama Donghae akan bertahan?” suara Jessica terdengar khawatir.

Seohyun menghela napas. “Kalau itu aku tidak tahu Eon.”

B-bring the boys out… girls’ generation make you feel the heat…

Jessica mengambil ponselnya. Ada pesan dari Taeyeon.

“Jess, tadi Kris ke kantor. Ia membawa seorang namja dan menanyakan alamat tempat syuting Yuri. Mungkin sebentar lagi ia akan sampai di sana.”

Jessica menghela napas lalu mematikan panggilan.

Aigoo, kenapa harus sekarang? Bukankah baru dua minggu yang lalu?” gumamnya.

Annyeong.” Suara berat seorang namja terdengar di telinga Jessica dan Seohyun. Mereka berbalik dan terkejut. Terlebih Jessica.

A.. annyeong,” ucap Jessica.

Ya Tuhan, tolong aku…

“Ahh, Kris-ssi, apa namja di sebelahmu adalah model yang waktu itu kau ceritakan?” tanya Seohyun. Ia berusaha mengalihkan tatapan Kris ke Jessica dan … berhasil.

Kris tersenyum tipis lalu mengenalkan seorang namja yang tak kalah tinggi di sampingnya.

“Perkenalkan ini Kai, model yang sudah cukup terkenal di Inggris. Ia yang akan menjadi partner dari Yuri.”

Annyeong, Kai-imnida. Nice to meet you!” Kai tersenyum.

Jessica dan Seohyun tersenyum, namun Jessica masih dihantui perasaan bersalah terhadap Kris. Ia berharap akan ada seseorang yang membantunya.

Yuri dan Donghae berjalan menuju tempat Jessica. Mereka telah selesai mengambil gambar Yuri, yang nantinya gambar itu akan dipilih Jessica untuk menjadi cover majalah Style.

“Jess eonni,” panggil Yuri. Lalu matanya beralih ke kedua namja yang sedang mengobrol dengan mereka. “Kris-ssi?” Matanya terbelalak ketika melihat Kris. Lalu matanya kembali beralih ke Jessica. “Jessica eonni,” panggilnya lagi lebih pelan.

Jessica menoleh. “Ya?”

“Aku sudah selesai. Dan…” Yuri membisikkan kalimat berikutnya, “fotografer kita kali ini sangat tampan.”

Jessica melongo. “Hah? Menurutmu… begitu?” Yuri mengangguk dengan semangat.

“Sica-ssi, tolong antarkan aku kembali ke kantormu,” perintah Donghae, dan ia langsung melangkah menuju mobil Jessica tanpa sedikit pun melirik Kris dan Kai.

“Hah? Baiklah.” Jessica kemudian pamit kepada Seohyun, Yuri, dan Kai. Namun untuk Kris ia tak berani menatap matanya. Jessica melangkah menuju mobilnya yang di dalamnya sudah ada Donghae dan Yoona, dan menjalankannya menuju kantor Style.

Jessica sedang sibuk memiliih foto Yuri untuk dijadikan cover depan majalah Style. Ia sangat memperhatikan detail fotonya. Foto itu harus mampu memikat pembeli dari segi manapun. Dan isinya juga harus yang berkualitas.

Style Magazine. Majalah ibukota yang menjurus ke bidang fashion. Tak hanya fashion wanita, fashion pria pun menjadi salah satu rubrik andalan. Selain majalah, Style juga merupakan merek baju yang dikelola adik Jessica, yaitu Krystal. Kakak adik ini bekerja sama di bidang fashion. Style Magazine, majalah milik Jessica ini merupakan tempat promosi yang sangat baik bagi Style Clothes, merek baju yang diluncurkan Krystal. Selain memperat hubungan bisnis, mereka berdua juga mempererat hubungan persaudaraan dengan adanya kerjasama ini.

Tiba-tiba pintu terbuka tanpa adanya ketukan terlebih dahulu. Seorang namja tampan melangkah menuju meja Jessica dengan gaya santainya yang keren. Jessica mendongak dan langsung berubah kesal.

“Ya! Kau tidak bisa mengetuk pintunya terlebih dahulu?” serunya.

“Kupikir kau sedang tidak sibuk,” sahut Donghae enteng.

Jessica mengerucutkan bibirnya, kesal terhadap sikap namja ini. Dari pertama bertemu dengannya, Jessica sudah berfirasat kalau kerjasama ini tidak akan berjalan lancar.

“Setelah kau selesai dengan pekerjaanmu, tolong antarkan aku ke hotel,” kata Donghae tegas seraya berjalan ke arah pintu.

Mwo? Memangnya aku asistenmu?” ketus Jessica.

“Itu salahmu kenapa tidak menyiapkan aku asisten.” Donghae berbalik. “Aku tunggu lima menit dibawah. On time!” Lalu Donghae kembali melangkah keluar ruangan Jessica.

Jessica menghela napas. Benar-benar kesal atas sikap fotografer barunya. Sangat menyebalkan! Tapi sebagai pimpinan yang baik dan juga karena takut dimarahi Appa, mau tak mau Jessica menurut setelah memilih salah satu foto. Jessica mengabil map cokelat lalu memasukkan foto-foto tersebut ke dalam map itu. Ia mengambil tasnya lalu berjalan keluar. Sebelum ke lobi, ia akan ke ruangan editor majalah ini dulu untuk memberikan foto yang sudah dipilihnya.

“Yoona-ya, kau sedang tidak sibuk?” sapa Jessica ketika melihat Yoona sedang browsing tentang sesuatu–yang pasti tidak berhubungan dengan pekerjaannya.

Yoona gelagapan ketika mendengar suara itu. Ia lalu kembali ke aplikasi yang digunakannya untuk bekerja. “Ada apa eonni kemari?”

Jessica memberikan map cokelat yang dipegangnya ke tangan Yoona. “Itu foto yang sudah kupilih untuk cover depan, sisanya kuserahkan padamu. Aku pulang dulu. Annyeong!” ujar Jessica seraya berjalan menuju lobi.

“Lama sekali,” desis Donghae yang sudah berdiri dari duduknya.

Mian.” Jessica tak berniat meladeni Donghae lebih jauh. Ia berjalan menuju mobilnya dan mengendarai mobil itu keluar dari parkiran kantornya.

“Kau berniat menginap dimana?” tanya Jessica di sela-sela menyetirnya.

Donghae menggaruk kepalanya, bingung. “Aku tidak tahu penginapan bagus disini. Apa kamu punya rekomendasi?” Donghae menoleh.

Jessica tampak berpikir. “Bagaimana kalau di gedung apartment tempatku tinggal? Kurasa disana masih banyak apartment kosong.”

“Terserahmu sajalah.” Kembali Donghae sibuk dengan ponselnya.

Jessica menjalankan mobilnya menuju Seungri Apartment. Tak lama kemudian mereka sampai di gedung apartment berlantai 10 itu. “Kita sudah sampai.” Jessica mengambil tasnya lalu menyampirkannya di bahu. Ia turun dari mobil dan langsung bergegas memasuki gedung. Namun beberapa meter sebelum ia mencapai pintu masuk gedung ia berhenti mendadak. Donghae yang mengikutinya dari belakang berkerut heran.

“Kenapa berhen–” kalimat Donghae terputus ketika dia menyadari gadis di sampingnya kini berubah pucat. “Kau… gwaenchanayo?”

Jessica menggeleng. “Kamu masuk saja dulu.”

“Tapi–”

Kalimat Donghae terputus ketika ia mendengar sapaan seorang pemuda terhadap Jessica.

“Hai, Jess,” ucap pemuda itu dingin. Ia melangkah pelan menuju Jessica. “Kau terlihat baik-baik saja setelah lari dari pertunangan itu,” sindir pemuda itu.

Jessica merinding mendengarnya. “Hai, Kris-ssi,” sahutnya pelan. Sangat pelan sampai dia yakin kalau Kris dan Donghae tak dapat mendengarnya.

Wajah Kris menunjukkan keterkejutan. “Apa? Kau memanggilku dengan sebutan itu? Kau… tidak memanggilku dengan sebutan Oppa?” desis Kris.

Donghae yang tak mengerti apa masalah yang sesungguhnya mulai tak tahan melihat kedua orang yang baru dikenalnya ini bertengkar di tempat umum. Terlebih sekarang ia sudah sangat letih. Ia harus istirahat. Ia ingin sekali tidur!

“Hei! Kalian tak bisakah bertengkar nanti saja?” ujar Donghae kalem.

Kris, yang sepertinya baru menyadari kehadiran Donghae, menatap sebal ke arahnya. “Siapa kau? Dan kenapa bersama tunanganku?”

TBC

 

Three Little Words (Chapter 2)

Three Little WordsTitle: Three Little Words (Chapter 2)

Author: tatabrigita

Main Character: Siwon, Tiffany, Donghae, Yoona, Kyuhyun, Seohyun, Sungmin, Sunny

Main Song: BoA – Only One

Started: 060313

Genre: Romance, angst

Rating: General

Author’s Note: Double update! FF ini juga author tulis di AsianFanFics, bisa dilihat di sini.

 

***

Rabu, 6 Juli, 2011

6.12 KST

Gym Karma Kandara, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Tiffany berjalan menyeberangi jembatan cepat-cepat. Pagi itu lumayan, dan langit masih gelap. Dia tidak mau melewatkan kesempatan untuk berolahraga. Tubuhnya jadi sehat sempurna dengan berolahraga.

Setelah berjalan melewati spa, dia membelok ke kanan dan menemukan gym itu. Sudah dibuka, tapi masih kosong. Tiffany tidak ingin membuang waktu lagi dan mendekati treadmill. Setelah mengatur kecepatan, dia memakai earphone-nya, memainkan musik, dan mulai berlari.

Tiffany berlari cepat dan lebih cepat, tapi dia tidak terengah-engah. Itu adalah rutinitas untuknya, dan dia tidak gampang lelah. Dia memakai treadmill selama sekitar lima belas menit, ketika pintu gym terbuka.

“Tiffany!”

Tiffany hampir jatuh dari treadmill saking kagetnya. Untungnya, dia memegang pegangannya dan mampu menjaga keseimbangan. Dia mendongak, dan matanya bertemu dengan mata orang itu.

“Siwon-ssi?”

Siwon berdiri di sana, memakai T-shirt dan celana pendek, dan berdiri di depannya, kelihatan khawatir. “Kau baik-baik saja?”

Tiffany menganggukkan kepalanya dan menghentikan treadmill. “Ya, aku baik-baik saja.”

Siwon tiba-tiba memegang bahu Tiffany, dan Tiffany merinding. Jantungnya segera berdetak lebih cepat, tapi dia tidak tahu kenapa. Mungkin itu karena dia jarang berinteraksi dengan pria. “Kau yakin?” tanya Siwon lagi.

Tiffany mengangguk tanpa berbicara.

“Kau tahu,” nada suara Siwon berubah lebih lembut dan santai, “aku tidak tahu berapa usiamu.”

Tiffany menatapnya, mengangkat alisnya. “Kenapa kau bicara tentang usiaku?”

Siwon terkekeh dan menyingkirkan tangannya dari bahu Tiffany. “Aku tidak bicara, Tiffany-ssi—aku bertanya.”

“Aku tidak tahu usiamu juga,” balas Tiffany cepat-cepat.

“Wanita duluan.”

“Apa untungnya bagimu kalau kau tahu usiaku?”

Siwon tersenyum. “Kau sangat keras kepala.”

Bibir Tiffany melengkung membentuk senyum tipis. “Aku sering mendapatkannya.”

“Baiklah.” Siwon menyerah. “Aku dua puluh lima.”

Tiffany kaget. “Kau tidak kelihatan seperti orang dua puluh lima tahun. Sebenarnya, kau kelihatan cukup muda.”

“Aku juga sering mendapatkannya.” Siwon melipat kedua tangannya di depan dada. “Kau?”

“Dua puluh tiga,” jawab Tiffany.

Siwon menatapnya. “Ternyata desainer sukses sepertimu masih muda.”

Tiffany berdecak dan melanjutkan berlari. “Kau tidak berolahraga, Siwon-ssi?”

“Hei, aku lebih tua daripadamu. Kau harus memanggilku ‘oppa’.”

Tiffany memutar kedua bola matanya. Siwon sama keras kepalanya seperti dia sendiri. “Kenapa aku harus memanggilmu itu? Bukankah kita berdua oke-oke saja dengan ‘-ssi’?”

“Aku tidak.” Siwon berjalan menjauh untuk duduk di salah satu kursi hitam. Dia mengambil sebuah barble dan mulai fokus ke tangannya.

Tiffany berusaha untuk tidak memandangi Siwon. Dia tidak pernah mengalami roman dengan pria manapun. Tidak pernah. Tidak pernah. Dan pemandangan Siwon berlatih di depannya, terasa begitu… aneh. Tiffany menaikkan volume MP3-nya supaya dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Siwon.

Setelah beberapa detik, Siwon berhenti dan menatap Tiffany. “Tiffany-ah, ada pesta pantai malam ini. Kau tahu tentang itu?”

Tiffany tetap berlari. “Pesta pantai? Di mana?”

“Di sini, di Pantai Namos. Dibuka untuk semua orang, bahkan untuk yang tidak menginap di sini,” jelas Siwon. Mata pria itu entah kenapa berbinar-binar. “Apakah kau akan datang?”

“Apa kau akan datang?” Tiffany balik bertanya.

Siwon tersenyum. Tanpa sengaja, Tiffany juga ikut tersenyum. “Aku datang bila kau datang,” kata pria itu.

Tiffany berhenti berlari dan beristirahat sebentar, meregangkan kakinya. “Yah, kurasa aku akan datang,” gumamnya. “Aku bawa teman-temanku juga.”

Siwon menganggukkan kepalanya sebelum mengangkat barble lain, kali ini lebih berat. “Ah, bakal jadi malam khusus cewek-cewek, kalau begitu.”

Tiffany terkikik. “Tidak. Mereka tidak seperti cewek-cewek lain. Mereka sangat enak untuk diajak bergaul.”

“Apa mereka menginap di sini?”

“Ya, tapi kurasa mereka bukan orang-orang yang suka bangun pagi.” Tiffany menutup mulutnya sebentar sebelum bertanya. “Bagaimana denganmu? Kau datang, kan, Siwon-ssi?”

Siwon menatapnya. Sekali itu, jantungnya berhenti berdetak. “Ya. Aku juga akan membawa teman-temanku.”

“Siapa?” Tiffany otomatis bertanya.

Siwon mengangkat bahu. “Hanya beberapa cowok. Tiga. Mereka bilang mereka ketemu cewek beberapa hari yang lalu, tapi aku tidak tahu apa mereka masih saling kontak. Dan mereka bukan tipe yang romantis. Yah, jika mereka bersamaku. Aku tidak mengenal mereka bila kami semua berada dekat cewek. Mereka sungguh berbeda. Lebih manis dan romantis.”

Siwon tidak tahu kenapa dia baru saja “menumpahkan” penjelasan ke Tiffany. Bagaimanapun juga, dia baru mengenal Tiffany selama beberapa hari. Tapi entah bagaimana, Siwon percaya padanya. Siwon mempercayai Tiffany Hwang.

“Apa aku mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal?” tanya Siwon malu-malu.

Tiffany menunjukkan eye-smile-nya sambil tertawa. “Semacam itu. Teman-temanku juga. Mereka bertemu cowok beberapa hari yang lalu.”

“Mungkin kita bisa—” Siwon segera berhenti berbicara.

Tiffany mendongak. “Apa?”

Siwon menggeleng. “Bukan apa-apa.”

“Apa? Menjodohkan mereka?”

Mata Siwon berbinar. Tiffany mengerucutkan bibirnya. “Kurasa kita bisa melakukannya, Siwon-ssi. Maksudku, kita bisa mencoba.”

Siwon tersenyum lebar. “Berapa banyak temanmu?”

“Tiga.”

“Aku juga.”

“Ada apa sih, dengan kebetulan-kebetulan ini?” gumam Tiffany. “Aku sering mendapatkannya belakangan.”

Siwon tersenyum dan berdiri. “Mungkin itu hal yang bagus.” Dia mengedipkan mata ke arah alat-alat angkat beban. “Seberapa berat beban yang bisa kautangani?”

***

Rabu, 6 Juli, 2011

7.15 KST

Restoran Karma Kandara, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Yoona menunggu.

Dia baru saja menerima telpon menyebalkan dari Tiffany ketika dia masih tertidur, menyuruhnya pergi ke restoran resor untuk sarapan dengan dua orang lainnya. Yoona datang secepatnya, tapi tetap saja, belum ada yang datang dari ketiga orang itu.

Dia melihat pemandangan di depannya. Restoran itu berada di sebuah balkon, dan dia bisa melihat kolam-kolam renang di bawah dan suara ombak di Pantai Namos. Yoona duduk di kursi di sebelah pagar besi balkon, dan bisa melihat apabila ada orang yang akan memasuki restoran. Tempat itu sangat indah. Amat sangat indah.

“Kau di sini juga?”

Yoona mendongak. Sunny berdiri di sana, memakai T-shirt merah dan celana pendek denim. Kelihatannya dia baru saja menghabiskan waktu di pantai. Sebelum Yoona bisa menjawab, Sunny duduk di depannya. “Tiffany baru saja menelponku. Aku baru saja akan pergi ke pantai.”

“Pergi ke pantai di pagi hari?” gumam Yoona.

Sunny memutar bola matanya, tapi tidak menjawab. Malah, dia memanggil pelayan dan memesan es teh lemon. Meski baru pukul tujuh di pagi hari, matahari sudah terasa menyengat di kulitnya.

“Tiffany menelponmu juga?” tanya Yoona.

Sunny mengangguk. “Katanya tentang sesuatu yang penting.”

“Dia tidak memberitahuku itu.”

“Apa yang dikatakannya?”

“Tentang sarapan di sini. Kita berempat.”

Sunny mengangguk, dan pelayan datang kembali dengan pesanannya. Dia menyeruput minumannya sebelum berbicara, “Kau tahu, kau tidak memberitahuku apapun soal cowok itu.”

Yoona mengerutkan keningnya. “Cowok apa?”

“Cowok yang bertemu denganmu beberapa hari lalu. Kau tidak mengatakan apapun tentangnya.”

Yoona terkekeh dan bermain dengan jemarinya. “Sungguh, tidak ada yang spesial,” jelasnya. “Dia hanya mentraktirku makan setelah membawaku ke rumah sakit.”

Sunny nyaris tersedak. “Rumah sakit?” Matanya melebar. “Kenapa kau ke rumah sakit?”

“Aku tenggelam di tumpukan buku,” balas Yoona sederhana.

“Apa aku telat?” Kali ini, Seohyun muncul. Dia duduk di kursi di antara dua gadis lain dan tersenyum. “Tiffany unnie baru saja menelponku. Aku tidak menyangka dia akan menelpon kalian berdua juga.”

Sunny duduk tegak. “Tiffany lebih baik muncul,” katanya, mengubah topik.

Ketiganya menghabiskan beberapa menit berbicara, sebelum akhirnya Tiffany yang terengah-engah muncul. Rambut pendeknya basah dan berantakan, menunjukkan bahwa dia baru saja mandi. Dia duduk di antara Seohyun dan Yoona, menarik napas dalam-dalam.

“Sekarang, bisakah kau jelaskan kenapa kita di sini?” tanya Sunny. “Kita tidak berada di sini hanya untuk sarapan,kan?”

Tiffany menenangkan dirinya, dan kali ini ketiganya bisa merasakan kegembiraannya. Dia menunjukkan eye-smile-nya sebelum berbicara. “Ada pesta pantai malam ini. Kalian mau datang? Aku datang.” Dia berhenti. “Dengan cowok yang kutemui beberapa hari lalu.”

“Kau bertemu dengannya lagi?” Yoona angkat bicara.

“Kita jangan ngomong tentang hal itu dulu. Maukah kalian? Kumohon?” Tiffany memohon.

Sunny mengerucutkan bibirnya. “Kenapa kita harus datang? Kita hanya akan jadi penghalang atau apa di antara kau dan cowokmu.”

“Tidak!” desak Tiffany. “Dia akan membawa cowok-cowok lain juga.”

Seohyun terperangah. “Unnie! Kau akan menjodohkan kita bertiga?”

Tiffany mengangkat bahu. “Yang penting datang!”

“Aku tidak mau kencan buta,” keluh Yoona.

“Ya ampun, coba datang dan lihat cowoknya?” kata Tiffany.

Sunny tertawa. “Kenapa kita harus datang?”

Tiffany memutar bola matanya. “Karena ini temanmu yang meminta?”

Ketiga orang lainnya tidak berbicara untuk sementara.

“Baiklah, aku akan datang,” kata Yoona, menerima pandangan dengan mata terbelalak dari Sunny. “Apa? Tidak ada ruginya. Lagi pula, kupikir pantainya pasti keren saat malam hari.”

Seohyun menganggukkan kepalanya. Dia bukan tipe gadis yang suka berpesta, tapi dia suka menghabiskan waktu dengan teman-temannya. “Aku juga datang, unnie.” Dia mengalihkan perhatiannya ke Sunny. “Bagaimana denganmu, unnie?”

Sunny menyipitkan matanya. “Aku benci kalian.”

***

Rabu, 6 Juli, 2011

18.00 KST

Pantai Namos, Denpasar, Bali, Indonesia

***

“Aduh!”

“Sunny! Hati-hati!”

“Berhenti bicara! Aku benci sandal ini!”

“Kau harus berhenti mengeluh, unnie.”

Keempat gadis itu tetap berjalan menuju lift yang akan membawa mereka turun ke pantai. Tiffany telah menghabiskan seharian menyiapkan dirinya sendiri dan teman-temannya untuk pesta pantai. Untungnya, dia ingat dia telah meluaskan label fashion-nya ke Indonsia. Sangat mudah untuk menemukan pakaian yang pas untuk masing-masing. Tapi Sunny, yang tidak begitu suka fashion, mengeluh tentang sepatunya.

“Sandal ini bunyi kalau aku jalan.” Dia cemberut.

“Kau kelihatan cantik dengan itu,” ujar Tiffany.

Sunny mendengus.

Lift-nya datang, dan mereka berempat plus satu staf turun ke pantai. Sudah gelap, dan pestanya sudah mulai. Musik terdengar, dan pantai itu sangat ramai. Ada atraksi api, pertunjukan tari tradisional, bahkan permainan. Tiffany mendadak teringat akan Hawaii.

“Di mana teman cowokmu?” tanya Yoona antusias.

Tiffany tersenyum. “Kita turun dulu.”

Sunny telah berhenti mengeluh, karena dia melepas sandal berisik itu dari kakinya ketika menginjak pasir. “Ah, ini lebih baik,” bisiknya, kembali ke dirinya sendiri.

“Unnie, lihat bintangnya!” tunjuk Seohyun ke langit yang hitam.

Bintang-bintang itu terlihat seperti lampu sorot mini yang menerangi pantai. Bulan sabit berada di tengah-tengah langit, dan kau bisa melihat permukaannya dari jauh. Itu memang malam yang indah, dan tidak ada dari mereka berempat yang ingin menyia-nyiakannya.

Tiffany sibuk memandangi langit, ketika dia merasakan sentuhan lembut di bahunya. Dia berbalik.

“Siwon-ssi!”

Siwon tersenyum. Hatinya berbunga-bunga ketika dia melihat wajah Tiffany. Dia kira Tiffany takkan datang. “Jadi, ini teman-temanmu?” Dia mengangguk ke arah ketiga orang lainnya.

Tiffany tersenyum. “Ya, itu mereka. Ini Yoona, Seohyun, dan Sunny.” Dia menunjuk ketiga gadis itu.

“Senang bertemu dengan kalian semua.” Siwon membungkuk sopan, dan ketiga gadis itu membungkuk juga.

Tiffany berputar ke Siwon lagi. “Bagaimana dengan teman-temanmu yang kita bicarakan?”

Sunny menahan diri agar tidak memutar bola matanya.

“Mereka akan datang ke sini sebentar lagi,” jawab Siwon. “Mereka menggunakan waktu mereka dengan sangat serius untuk bersiap-siap—ah, ini mereka!”

Senyum merayap ke wajah Siwon, dan keempat gadis berbalik, menghadap sebuah bar yang berada di dekat lift. Tapi pemandangan itu mengejutkan ketiga gadis lain lebih dari yang diduga Siwon dan Tiffany.

“Kau?!” Yoona, Seohyun, dan Sunny berkata bersama-sama, kaget.

Donghae, Kyuhyun, dan Sungmin hanya berdiri di situ, membeku.

***

“Aku berani bertaruh Siwon hyung akan menjodohkan kita dengan cewek-cewek seksi,” kata Kyuhyun riang.

“Hei, jaga pikiranmu,” Donghae terkekeh.

“Apa gunanya? Dia sudah begitu sejak awal,” timpal Sungmin.

Ketiga pria itu berjalan menuju lift pantai. Lift-nya berada di bawah, jadi mereka harus menunggunya naik.

Kyuhyun melihat sekeliling. “Mana Siwon hyung?”

“Dia sudah di bawah sana,” jawab Donghae. “Mungkin dengan cewek-ceweknya.”

Lift datang dan mereka masuk. Ketika lift berhenti, mereka berjalan keluar, menikmati angin sepoi-sepoi yang dingin. Mereka sibuk berbicara dan memukul satu sama lain dengan kekanak-kanakan ketika mereka akhirnya menginjak pasir.

“Akhirnya,” bisik Sungmin, mendongak. Tapi matanya terpaku pada tiga gadis—salah satunya familiar.

“Kau?!” Ketiga gadis itu berteriak.

Sungmin memandang Donghae dan Kyuhyun, yang juga membeku sepertinya.

“Kalian kenal satu sama lain?” tanya Siwon, kaget.

Yoona terperangah. “Dia yang kutemui,” bisiknya, matanya tertuju pada Donghae.

Tiffany mendesah. “Yah, itu bagus. Ini berarti kalian semua sudah saling mengenal, dan tidak ada tujuan untuk menjodohkan. Kalian masing-masing kelihatan bagus bersama-sama.” Dia menggerakkan tangannya di udara, di antara keenam orang itu.

“Aku—aku—” Donghae tergagap.

“Ini sangat keren,” gumam Kyuhyun, dan semua orang menatapnya. “Apa. Kebetulan ini. Ini keren.”

Siwon berdeham. “Tapi aku yakin kita berdelapan tidak tahu satu sama lain.”

Masing-masing mengenalkan diri mereka sendiri, tapi di akhirnya, mereka semua tertawa karena pipi Seohyun mendadak memerah.

“Yah, kenapa pipimu?” Sunny terkikik, memeluk Seohyun dengan lengan kirinya.

“Aku tidak tahu,” balasnya, menekan pipinya dengan kedua tangan. “Mungkin karena…” Dia mendongak menatap Kyuhyun sebelum menunduk lagi.

Tiffany tersenyum. Dia belum pernah sebahagia ini untuk teman-temannya—terutama karena dia tidak punya begitu banyak teman. “Oh, aku dan Siwon akan melihat penampilan tari itu,” ujarnya cepat-cepat, menarik Siwon ke tengah-tengah pantai. “Sampai jumpa!”

***

Musik terdengar semakin keras, tapi Tiffany tidak keberatan. Para penari bergerak sesuai irama, menarikan tari bernama tari Pendet. Dia belum pernah melihat orang-orang menari sebegitu anggunnya. Dia mulai berpikir bahwa datang ke Bali bukan ide yang buruk.

“Mereka bagus.” Siwon mengangguk, terhibur.

“Bagus?” Tiffany terkekeh. “Mereka luar biasa!”

Siwon tertawa. Dia melanjutkan menonton penampilan tari, dan menyadari bahwa Tiffany mulai bertepuk tangan sesuai irama, seperti yang lain. Tiffany tersenyum lebar—dan dia kelihatan cantik. Jantung Siwon mendadak berdegup kencang, seperti jatuh ke perutnya.

“Bagus untuk tahu kebudayaan seperti ini,” kata Tiffany keras supaya Siwon bisa mendengarnya. “Aku belum pernah melihat tarian seperti ini.”

Siwon membutuhkan waktu lama untuk merespon. “Oh? Um, yeah.”

Ketika tarian itu selesai, musiknya berubah menjadi semacam musik remix rap dan R&B. Penari breakdance mulai muncul, dan menampilkan formasi tarian luar biasa, dengan bermacam-macam popping, locking, dan handstand.

“Woah!” Siwon terkesiap ketika salah satu penari melakukan moonwalk di atas pasir. “Aku mendukung dia.”

Tiffany terkekeh lagi. “Tidak ada lomba. Kenapa kau mendukung cowok itu?”

“Aku tidak tahu, dia bisa moonwalk,” kata Siwon, tertawa.

Tiffany tersenyum ketika dia melihat wajah Siwon. Dia sangat tampan, sangat… menakjubkan. Tiffany merasa bahagia ketika dia melihat Siwon lagi. Gelombang rasa senang menghampirinya, seperti sekarang. Dia tidak tahu kenapa, tapi melihat Siwon membuatnya bahagia.

Lalu, para penari mulai berjalan mendekati para penonton. Mereka menari sangat dekat, tepat di depan mereka. Tiffany jelas-jelas tidak mau melewatkan ini. Tanpa berpikir, dia meraih tangan Siwon, dan menyeretnya ke barisan depan kerumunan.

Siwon tersentak ketika dia merasakan kulit Tiffany yang hangat di atas kulitnya. Tiffany menggenggam tangannya, seraya dia tidak ingin melepasnya. Dan Siwon sangat senang soal itu. Dia tidak pernah punya perasaan terhadap orang lain—atau setidaknya sesuatu yang spesial—tapi ada sesuatu tentang Tiffany Hwang yang menariknya lebih jauh, untuk mengenalnya lebih jauh, untuk berada di situ bersamanya.

Dan Tiffany tidak melepas tangannya sepanjang malam.

***

Karena pantai itu luas, ada banyak pertunjukan diadakan sekaligus. Setelah Siwon dan Tiffany pergi untuk melihat para penari, Donghae menggandeng tangan Yoona menuju kerumunan orang yang menari.

“Apa yang kita lakukan?” tanya Yoona penasaran.

Donghae hanya tersenyum dan berbalik, menghadap Yoona. Yang disebut terakhir tersentak karena berhenti tiba-tiba. Dia hampir saja memeluk Donghae. Yoona cepat-cepat berjalan mundur, tapi Donghae keburu memeluk pinggangnya.

Sentuhannya membuat Yoona merinding. Bahunya menggigil karena sentuhan hangatnya. Donghae hanya tertawa dan mengaitkan jemarinya dengan jemari Yoona.

“Apa yang kita lakukan?” ulang Yoona, kali ini suaranya lebih kecil.

Donghae menjawab, “Menari.”

Mata Yoona melebar.

Ide menari membuatnya terkejut. Dia tidak takut untuk memalukan dirinya—dia adalah seorang instruktur tari, bagaimana bisa?—tapi menari dengan Donghae, itu berbeda. Meski di pertemuan pertama mereka, mereka hanya pergi ke rumah sakit dan makan dan lainnya, tapi sekarang? Yoona akan menari dengan orang asing yang membuatnya merinding!

Mereka mulai berputar pelan, dan Donghae memutar Yoona dua kali. Itu adalah tarian waltz, dan Yoona baik-baik saja dengan itu. Dia menerima fakta bahwa dia perlu menyentuh Donghae di tarian macam ini, tak peduli seberapa cepat jantungnya berdegup saat itu.

“Aku tidak akan pernah terbiasa dengan orang asing,” gumam Yoona.

“Aku orang asing?” tanya Donghae sebelum terkekeh. “Lalu, kenapa kita tidak menjadi orang asing?”

Dia memutar Yoona lagi, sebelum memeluknya.

Yoona mengangkat bahu. “Kurasa itu boleh saja. Kenapa kau di sini?”

“Liburan,” jawab Donghae riang. “Manajerku sangat cerewet soal album baruku.”

Yoona mengangkat alisnya. “Album?”

Donghae mengangguk. “Aku telah dilatih sebagai seorang pianis. Aku akan merilis album debut sebentar lagi.”

Yoona tersenyum. Dia tidak pernah tahu cara bermain piano, tapi dia selalu menikmati ketika seseorang memainkannya. “Aku akan membelinya.”

Donghae terkekeh. “Masih lama,” dia mengingatkan. “Aku belum selesai rekaman.”

“Harus, di sini,” ujar Yoona, kali ini memberanikan dirinya untuk memeluk leher Donghae dengan lengannya. “Atau aku harus mendengarmu bermain piano mungkin.”

“Aku tidak sebagus itu.”

Yoona cemberut, dan Donghae hanya tertawa dan menyentuh bibirnya. “Aku berani bertaruh kau bagus,” ujar Yoona, berani.

Donghae tersenyum. Yoona kelihatan menggemaskan ketika dia cemberut dan berakting keras kepala seperti itu.

Irama mulai bergerak lebih cepat, dan akhirnya berubah menjadi tarian salsa. Semua orang tertawa dan menari cepat, dan Yoona adalah salah satu dari mereka. Dia mulai menari lebih cepat, dan Donghae terkejut bahwa Yoona menari dengan bagus.

“Donghae-ssi! Berputar!” pekik Yona ketika mereka tiba-tiba berpegangan tangan.

Donghae melakukan seperti apa yang disuruhkan, dan Yoona juga ikut berputar. Mereka mulai berdansa dengan aneh, membawa tawa ke keduanya. Donghae sadar bahwa dia sangat bahagia ketika dia melihat Yoona tersenyum dan tertawa. Dia tidak tahu kenapa—dia hanya merasa bahagia.

***

“Satu… Dua… Tiga…”

“Kita selesai di dua puluh! Kenapa kau mulai dari awal?”

“Oh, yeah, benar. Dua puluh satu… Dua puluh dua… Aku lupa.”

Seohyun tertawa. Dia mengangkat lengannya tinggi di udara, menunjuk satu bintang di langit, dan mulai menghitung. “Satu, dua, tiga… Itu bintang atau kembang api?” Dia menunjuk ke cahaya perak yang terang.

Kyuhyun mengangkat bahu. “Bilang saja itu bintang. Jadi itu empat…”

Kyuhyun dan Seohyun melanjutkan menghitung bintang-bintang. Mereka duduk jauh dari kerumunan orang, di atas batu karang dekat laut. Keduanya tidak suka tempat yang ramai, dan menghitung bintang—meski itu mungkin kedengaran payah—bisa menjadi hal yang bagus untuk menghabiskan waktu bersama.

“… Lima belas.” Seohyun selesai menghitung di satu sisi langit.

Dia tidak sadar bahwa lengannya menggigil. Dia menurunkan lengannya dan memeluk kedua kakinya. Mata Kyuhyun terpaku di langit, menghitung dalam diam.

“Kurasa ada dua puluh—hei, lihat!”

Seohyun mengedipkan matanya dan melihat apa yang dibicarakan Kyuhyun. Bintang jatuh. Seohyun melihatnya dengan takjub, setelah akhirnya bintang jatuh itu lenyap. Dia kembali ke dunia nyata, dan dia menoleh ke kanannya, melihat Kyuhyun menutup matanya sambil tersenyum.

“Apa kau memohon sesuatu?” tanya Seohyun senang.

Kyuhyun membuka matanya dan tersenyum. “Ya.”

“Apa yang kau minta?”

“Aku tidak bisa memberitahumu. Nanti tidak terwujud.”

Seohyun cemberut. Dia benci orang yang menyimpan rahasia darinya. “Kumohon? Aku tidak akan memberitahu siapa-siapa.”

Kyuhyun terkekeh dan menggelengkan kepalanya. “Tidak.”

Seohyun mendesah, menyerah. Dia mendongak melihat langit, sementara Kyuhyun melihat Seohyun. Dia terlihat seperti seorang putri dari negeri dongeng. Ah, apa yang dipikirkannya?

“Kau kedinginan,” kata Kyuhyun.

Seohyun memandangnya. Wajahnya menunjukkan kebingungan. “Apa maksudmu?”

Kyuhyun menunjuk ke arah bahu Seohyun. “Kau kedinginan. Ini.” Dia melepas jaketnya dan mengenakannya pada Seohyun. Jaket itu terlalu besar untuknya, tapi Kyuhyun mengenakannya mengitari lengan dan bahu Seohyun untuk membuatnya hangat. “Nah. Hangat?”

Seohyun tersenyum lebar. “Ya. Terima kasih, Kyuhyun-ssi.”

“Bukan masalah,” katanya, lengkungan senyum di wajahnya. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi dia merangkak lebih dekat ke Seohyun dan merangkul tubuhnya dengan lengannya. “Bagaimana dengan sekarang?”

Pipi Seohyun mendadak memerah. Dia menggigit bibirnya. “Terlalu hangat.”

Kyuhyun tertawa dan membuat Seohyun menaruh kepalanya di bahu Kyuhyun. “Aku tidak keberatan, tuh.”

“Kenapa kau sangat baik padaku?”

“Mungkin karena aku seorang gentleman?”

Seohyun tertawa. “Tidak, kau tidak terlihat seperti itu.”

“Mungkin karena…,” Kyuhyun berhenti selama beberapa saat. “Aku tidak tahu. Kau hanya membuat hatiku berbunga-bunga, Seohyun-ssi.”

***

“Lihat sebelah sana.”

“Ketemu!”

Sunny melompat girang. Di tangannya ada kerang berwarna pink terang. Kerang itu bergaris-garis putih, dan terlihat indah. Sunny terkikik dan memberikannya kepada Sungmin, yang sedang mencari kerang di sisi lain pantai. “Untukmu. Katamu kau suka warna pink.”

Sungmin menatap kerang itu dan tersenyum lebar. “Terima kasih,” katanya tulus, menerima kerang itu. “Kelihatannya indah. Kita harus datang ke sini lebih sering.”

Sunny mengerucutkan bibirnya. “ ‘Kita’?”

Sungmin tersentak. Pipinya mulai terasa panas. “Eh, um—aku—maksudku—”

Tapi Sunny hanya terkikik dan menepuk bahu Sungmin, membuat yang disebut terakhir merinding. “Tidak apa-apa. Aku hanya bercanda. Ayo kita cari lebih banyak kerang!” Dia berbalik dan mulai berlari kekanak-kanakan.

Sungmin menenangkan dirinya dan mengikuti Sunny, yang mencari-cari kerang di dekat batu karang. Keduanya tidak tertarik untuk menikmati pesta—justru, mereka mencari kerang. Pada awalnya, Sungmin ingin melihat atraksi api dan mengikuti permainan, tapi itu tidak lagi berada di pikirannya.

Sunny adalah satu-satunya yang berada di pikirannya.

“Sungmin-ssi, lihat!” Sunny menunjuk ke arah gumpalan keras dan mengangkatnya. Sebuah kerang putih. Kerang itu tidak sama persis dengan kerang pink Sungmin, tapi ukurannya sama.

Sungmin tersenyum lebar. “Untukmu, kalau begitu. Kutebak kau suka warna putih.”

Sunny mengangkat bahu. “Aku suka semua warna.” Dia tiba-tiba tersenyum malu-malu ketika melakukan kontak mata dengan Sungmin.

Sungmin tertawa. “Kau sangat kekanakan, kau tahu itu?” Dia mengangkat tangannya untuk mengacak-acak rambut Sunny yang berwarna coklat gelap.

Sunny cemberut, menunjukkan aegyo-nya, dan merapikan rambutnya dengan tangannya yang bebas. “Aku tahu itu. Aku sering mendapatkannya. Kurasa aku lahir dengan wajah ini.”

“Wajah yang cantik,” puji Sungmin. “Dan kau cantik. Sangat cantik.”

Sunny berhenti merapikan rambutnya, dan buru-buru menyentuh pipinya yang memerah dengan tangannya. “Hentikan. Kau membuatku malu.”

Sungmin hanya tersenyum dan bermain dengan kerang di tangannya. “Tapi itu benar.”

Sunny memaksakan senyum tulus. “Terima kasih,” katanya, sepelan bisikan.

Sungmin tertawa dan memegang tangan Sunny dengan tangan kirinya. Mereka berjalan menuju kerumunan orang, meninggalkan sisi pantai yang kosong. Sunny awalnya merasa gelisah, tapi kehangatan tangan Sungmin berhasil menenangkan hatinya.

“Apa kau masih menyimpan Lee?” Sungmin tiba-tiba bertanya.

Sunny mengangguk dan malu-malu mulai mengayunkan kedua tangan mereka, maju-mundur. “Ya. Kurasa aku akan membawanya pulang.” Dia menatap Sungmin. “Atau kau mau membawanya pulang bersamamu?”

Sungmin menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau pantas mendapatkannya.”

“Kau kedengaran seperti pria tua menyeramkan.”

Sungmin tertawa. “Benarkah?”

“Ya. Tapi kau tidak menyeramkan, kok. Kau…” Sunny berusaha untuk menemukan sebuah kata. “… Menggemaskan?”

Sungmin tersenyum dan menatap Sunny. Matanya yang coklat gelap berbinar bahagia. Dan Sungmin berharap bahwa dia bisa menjadi alasan Sunny bahagia selamanya.

***

Sudah pukul sembilan malam, tapi pestanya belum selesai. Tapi mereka semua sudah ingin pergi tidur.

“Kurasa kita semua harus menghabiskan liburan ini bersama-sama,” usul Kyuhyun ketika mereka berdelapan menunggu lift. “Pasti akan sangat keren!”

Yoona menggelengkan kepalanya. “Maksudmu seperti menyewa bus mini dan pergi keliling kota?”

Kyuhyun cemberut.

“Lift-nya datang,” kata Seohyun, berdiri dan memasuki lift, diikuti oleh gadis-gadis yang lain. Karena lift itu kecil dan tidak bisa membawa terlalu banyak orang, para gadis menggunakannya terlebih dulu. “Kyuhyun-ssi, sampai jumpa… secepatnya.”

“Jaga diri,” ujar Siwon sambil melambaikan tangan.

Lift itu mulai naik, dan keempatnya tersenyum.

Mendadak, semuanya berubah menjadi indah.

***

 

 

 

Three Little Words (Chapter 1)

Three Little WordsTitle: Three Little Words (Chapter 1)

Author: tatabrigita

Main Character: Siwon, Tiffany, Donghae, Yoona, Kyuhyun, Seohyun, Sungmin, Sunny

Main Song: BoA – Only One

Started: 060313

Genre: Romance, angst

Rating: General

Author’s Note: Halo, author comeback dengan FF baru… Maaf ya, udah lama author nggak nge-post FF, jadi bisa dibilang comeback 🙂 Author juga nulis FF ini di AsianFanFics, bisa dilihat di sini. Happy reading!

***

Kamis, 30 Juni, 2011

14.25 KST

Kantor Pusat Hwang’s Fashion House, Paris, Prancis

***

Suara kertas-kertas yang dibolak-balik hanyalah suara yang bisa didengar dari dalam kantor desainer utama. Dia bahkan tidak mengedipkan matanya, berkonsentrasi pada tumpukan kertas di depannya.

Terdengar ketukan lembut di pintunya, dan akhirnya gadis itu mendongak.

“Ibu,” gumamnya lamban.

Ibunya tersenyum dan melangkah memasuki kantor, meski putrinya tidak menyuruhnya masuk. Dia duduk di sebuah kursi berpunggung tegak yang empuk. “Masih bekerja, Tiffany?”

Gadis di depannya tersenyum pahit. “Benar, Ibu,” jawabnya dalam bahasa Inggris. Dia selalu berbicara dengan keluarganya menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Korea, kadang-kadang, tapi tidak pernah berbicara dalam bahasa Prancis dengan mereka.

Tiffany Hwang kembali membenamkan dirinya ke dalam tumpukan kertas. Pensil yang sedang dipegangnya, seperti menari di atas material putih tersebut. Ny. Hwang menghela napas, tapi Tiffany tidak berhenti menggambar sketsa pakaian.

“Kau perlu istirahat, Tiffany.”

“Apa?” Tiffany mendongak. “Apa yang baru saja kaukatakan, Ibu?”

Ny. Hwang memutar bola matanya. “Istirahat. Kau bekerja terlalu keras.”

Tiffany sama sekali tidak menduga kalimat itu dari ibunya. Bekerja terlalu keras? Tiffany tidak akan mengatakan dia sendiri bekerja terlalu keras, tapi dia menghabiskan hampir setiap hari di dalam gedung besar itu, mengendalikan label fashion-nya.

Pekerjaannya merupakan seorang desainer. Desainer yang berbakat. Dia tidak pernah menikmati sesuatu lebih dari menghabiskan waktunya menggambar sketsa dan mencocokkan pakaian. Apakah benar dia bekerja terlalu keras? Itu adalah hal kesukaannya, bagaimana pun juga.

“Ibu, aku—”

Tapi Ny. Hwang menggelengkan kepalanya. “Sekarang musim panas, Sayang. Kau sebaiknya menghabiskan waktumu di luar kantor. Biarkan aku dan ayahmu mengendalikan hal ini untuk sementara.”

Tiffany ingin membantah. Bagaimana pun juga, pekerjaannya merupakan kewajiban sekaligus hobinya. Tapi Tiffany adalah tipe orang yang tidak berani untuk melawan orangtuanya.

“Baiklah,” dia memutuskan. “Aku akan menghabiskan musim panas di apartemenku.”

Ny. Hwang tertawa pahit. “Itu adalah ide yang buruk. Bagaimana dengan melihat matahari untuk sementara?”

***

Sabtu, 2 Juli, 2011

8.00 KST

Bandara Internasional Charles de Gaulle, Paris, Prancis

***

“Hati-hati, unnie!”

Tiffany menoleh ke belakang, melihat adiknya melambai ke arahnya. Dia menunjukannya eye-smile-nya yang terkenal. “Tak perlu khawatir, Sulli-ah. Aku akan kembali secepatnya.”

Sulli Hwang menganggukkan kepalanya, masih melambaikan tangan. “Aku berharap liburanmu menyenangkan.”

“Sayangnya aku tidak menghabiskannya di sini,” Tiffany berbisik pelan. Dia selalu tidak suka meninggalkan negara ini.

“Apa yang kaukatakan?”

Tiffany buru-buru menggelengkan kepalanya. “Bukan apa-apa. Aku akan bertemu denganmu secepatnya, Sulli-ah!” Dia menyeret koper berodanya sebelum memasuki bandara.

***

Tiffany memasuki pesawat dan menemukan tempat duduknya. Dia duduk dan membuka jendela, menunjukkan pemandangan lapangan terbang di luar.

“Berapa lama sih, penerbangan ini?” gumamnya.

Lalu, suara seorang wanita terdengar dari speaker. “Selamat pagi, bapak-ibu sekalian. Kami ingin menyambut Anda di penerbangan France Airlines nomor KE 657 menuju Bali, Indonesia. Lama penerbangan 14 jam 24 menit, dan kami mengharapkan penerbangan yang lancar hari ini. Terima kasih karena telah memilih kami untuk terbang bersama Anda dan kami harap Anda menikmati penerbangan ini.”

Mata Tiffany melebar setelah wanita tersebut selesai berbicara. Empat belas jam? Apa yang akan dilakukannya di dalam sebuah pesawat yang penuh sesak selama empat belas jam?

Dia bersandar di kursinya, cemberut. Setidaknya dia berada di area first class.

***

Sabtu, 2 Juli, 2011

11.30 KST

Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Tiffany segera pergi untuk mengambil kopernya. Penerbangan tadi baik, tapi Tiffany tidak pernah menikmatinya. Dia mengambil koper berodanya dan pergi ke kamar mandi untuk memeriksa penampilannya. Dia tidak memakai make-up, tapi dia terlihat cantik seperti biasa.

Dia menarik napas sejenak di dalam kamar mandi yang kosong, kedua tangan berada di pinggiran wastafel. Tiffany menatap ke cermin. Seorang wanita muda yang periang menatap balik ke arahnya, rambut hitamnya yang pendek berantakan. Setelah menghabiskan waktu di dalam kamar mandi yang besar selama hampir setengah jam, Tiffany berjalan keluar dan naik taksi.

Untungnya, Tiffany menguasai bahasa Indonesia. Aksennya mungkin bukan yang terbaik, tapi setidaknya dia menguasai dasar-dasarnya.

“Ke mana, Nona?” Si pengemudi berbicara dalam bahasa Indonesia.

Tiffany ingat nama resor yang diberitahukan oleh ibunya. “Resor Karma Kandara Ungasan, please.”

Si pengemudi menganggukkan kepalanya dan mulai menyetir. Tiffany bersandar, memejamkan matanya. Ketika dia sampai, dia akan langsung pergi tidur.

***

Resornya luar biasa. Dinding-dindingnya terbuat dari bebatuan putih dan Tiffany merasakan angin sepoi-sepoi malam yang dingin di kulitnya. Setelah check in, dia berjalan menuruni undakan, melewati sebuah gym dan spa, sebelum menyeberangi sebuah jembatan kayu. Di bawahnya, ada semacam hutan, dan Tiffany langsung mendengar suara-suara monyet.

Setelah menyeberangi jembatan—yang membuatnya takut, Tiffany benci binatang—dia menaiki undakan lain sebelum akhirnya sampai di pintu kuning di rumahnya. Resor itu cukup besar, dan kamar-kamarnya merupakan rumah-rumah dengan nomor. Dia berjalan masuk, mengagumi dekorasinya yang minimalis, meski didominasi dengan kayu.

“Ini bagus,” Tiffany berkata dengan senyuman. Dia melempar tasnya ke sofa dan menyalakan TV berlayar datar. Tapi sebelum dia sempat memutuskan saluran mana yang akan ditontonnya, matanya terpejam dan dia melayang ke dunia mimpi.

***

Minggu, 3 Juli, 2011

10.30 KST

Toko Suvenir Krishna, Denpasar, Bali, Indonesia

***

“Dan jangan lupa untuk membelikanku barang-barang.”

“Baiklah.” Tiffany baru saja akan mengakhiri pembicaraan, ketika kakak laki-lakinya berbicara lagi.

“Dan aku tidak mau gantungan kunci—aku sudah punya cukup banyak. Mungkin sandal? Atau kaos?” Heechul Hwang tetap mengoceh di telpon.

Tiffany memutar bola matanya dan keluar dari taksi. Dia membayar supirnya dan memasuki sebuah bangunan besar. “Aku akan membelikanmu sesuatu, oppa.”

Heechul berbicara lagi. “Jangan gantungan kunci. Ingat itu, Tiffany. Kau orang yang pelupa.”

Tiffany mendengus. “Jika itu benar, aku tidak akan ingat untuk membelikanmu suvenir.”

Hening sesaat, dan Heechul menyerah. “Baiklah, baiklah. Belikan aku sesuatu. Tapi ingat, jika itu sandal, pastikan warnanya biru.”

“Baiklah,” Tiffany berbicara, dan sebelum kakaknya sempat berbicara lagi, dia mengakhiri pembicaraan. Anggota keluarganya bisa sangat mengganggu, kadang-kadang.

Tokonya luas, dan Tiffany sedang ingin berbelanja. Dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari batik, yaitu kain dengan pola-pola tertentu di atasnya. Tiffany tidak tahu banyak tentang Indonesia, tapi dia ingin tahu lebih banyak.

Tiffany ingin menemukan sandal untuk Heechul, ketika telinganya menangkap sesuatu.

“Dan aku beruntung dia tidak menggambar robot lagi—anak-anak sekarang! Bahkan cewek-cewek suka mobil-mobilan dan semacamnya!”

Tiffany tentu saja akan berjalan melewati wanita itu, yang sedang berbicara, tapi dia sedang berbicara dalam bahasa Korea. Dan Tiffany tidak tahu bahwa orang Korea—atau orang yang bisa berbicara dalam bahasa Korea—sering pergi ke Bali.

Tiffany sedang memeriksa rak berisi dompet-dompet ketika dia melihat sekilas wanita yang sedang berbicara. Seorang wanita pendek, dengan rambut coklat yang panjang. Dia sedang berbicara dengan kedua orang temannya. Keduanya sekepala lebih tinggi darinya—yang pertama berambut hitam sebahu dan sangat kurus, dan yang satunya berambut coklat lurus panjang.

Tiffany mengamati mereka. Dua wanita tinggi itu kelihatan familiar—dia tidak bisa melihat wanita pendek itu, karena punggungnya menghadap ke arah Tiffany—tapi Tiffany bersumpah bahwa dia belum pernah melihat kedua wanita itu sebelumnya. Lalu, kenapa tiba-tiba…?

Tiffany tidak menyadari bahwa wanita berambut hitam tadi sedang mengamatinya juga. “Tiffany!”

Wanita yang disebutkan, mengedipkan matanya beberapa kali. “Er—apa?”

Wanita berambut hitam itu mendekatinya, nyaris melompat. Tiffany tidak ingat siapa dia, tapi kelihatannya yang disebutkan belakangan mengingat dirinya.

“Fany-ah, kau ingat aku?” Wanita itu berbicara. Dia tersenyum lebar, dan matanya…

“Yoona?”

Wanita itu merintih senang. Dia menarik Tiffany untuk sebuah pelukan, masih tersenyum. “Fany! Kau ingat aku!”

Mata Tiffany melebar. Yoona? Itu benar-benar Yoona?

Dua wanita yang lain, yang sekarang mulai memandangi Tiffany dan Yoona, melihat mereka. Dia bisa melihat wajah wanita yang pendek—dan ingatan lain tentang seorang wanita muda, sangat pandai dalam melakukan aegyo, muncul di kepala Tiffany.

“Sunny?”

Yoona melepaskan pelukannya dan berputar ke arah dua orang lain. “Kalian, ingat dia?” Dia menunjuk Tiffany, melompat-lompat. Tapi dua orang yang lain terlihat seperti tidak melihat apa-apa.

Yoona mendecak dan berkata, “Ini Tiffany! Tiffany Hwang! Kapten tim cheerleader SMA kita! Yang menjadi homecoming queen dua tahun berturut-turut?”

Wajah keduanya tiba-tiba berubah cerah, dan mereka lalu memeluk Tiffany. Tiffany berhasil tahu identitas Yoona dan Sunny, tapi wanita satunya sedikit sulit.

Wanita tinggi itu tersenyum. “Unnie, aku Seohyun.”

Seohyun! Tiffany menyadari. Tentu saja itu dia! Seohyun adalah adik kelas Tiffany, jadi wajar dia tidak mengingatnya—tapi keempatnya dulu sangat dekat di SMA. Ketiganya bergabung di tim cheerleader sekolah, dan Sunny sering berada di atas piramid karena berat badannya yang ringan dan proporsi tubuhnya.

Lee Sunny memukul lengan Tiffany pelan, tersenyum. “Jadi, sekarang kau seorang desainer, eh?”

Sebelum Tiffany sempat berbicara, Im Yoona berkata, “Kenapa kita tidak makan siang saja? Aku tidak sarapan dan aku kelaparan.”

“Aku dengar ada restoran Indonesia yang bagus di dekat sini,” ujar Seohyun. Itu sangat lucu untuk Tiffany—Seohyun adalah tipe gadis yang kalem, dan dia jarang berbicara, meski dia orang yang ramah.

Sunny menganggukkan kepalanya dan mengaitkan lengannya dengan lengan Tiffany. “Baiklah, kalau begitu! Sudah lama sekali sejak kita semua terakhir kali bertemu! Ayo!”

Lima belas menit kemudian, keempat gadis itu sudah duduk melingkari sebuah meja bundar di dalam sebuah restoran. Tiffany sangat senang dia bertemu dengan teman-teman sekolahnya—menghabiskan liburan di tempat yang sangat indah tidak menyenangkan bila sendirian.

Setelah si pelayan datang dan mengambil pesanan, Sunny meanruh lengannya di atas meja dan menatap Tiffany. “Kenapa kau bisa di sini? Aku selalu tahu kau orang yang suka sekali bekerja. Dulu kau menjadi kutu buku yang cantik.”

Ketiganya tertawa, tapi Tiffany memutar bola matanya. “Aku ingin tetap berada di Paris, tapi kedua orangtuaku memaksaku untuk berlibur di sini.”

“Bagus untuk melihat matahari sesekali,” Yoona berbicara. “Aku sudah berada di sini selama berminggu-minggu. Aku sudah mengunjungi Pantai Kuta sekitar ribuan kali. Kau harus ke sana, Tiffany-ah. Selalu menyenangkan ketika kau mengunjunginya di sore hari.”

Tiffany mengangguk, menambahkan Pantai Kuta ke daftar tempat-tempat yang harus dikunjunginya di kepalanya.

“Kau menginap di mana, unnie?” tanya Seohyun. Tiffany cepat menyadari bahwa dia menggunakan jondaemal—bahasa formal.

Tiffany berdecak. “Kau masih menggunakan bahasa formal?”

Pipi Seohyun berubah warna menjadi pink terang. “Yah, ini kebiasaan, unnie. Dan kau tidak menjawab pertanyaanku.”

Tiffany tertawa. Seohyun sangat menggemaskan, tapi Sunny justru lebih menggemaskan ketika yang disebut belakangan menunjukkan aegyo-nya. “Di Karma Kandara. Kau tahu, resor itu.”

“Yang mana?” tanya Yoona. “Ada dua. Satu di Ungasan, dan yang satu lagi… Yah, aku tidak tahu di mana yang satu lagi.”

“Yeah, yang di Ungasan.”

Mata Yoona melebar. “Benarkah? Karena kami bertiga juga menginap di sana!”

Sungguh kebetulan.

Makanan mereka tiba, dan Yoona-lah yang paling bersemangat. Sunny, yang sedari tadi tidak berbicara, membuka mulutnya. “Kautahu, kita bisa saja menghabiskan seluruh musim panas bersama. Kita berempat.”

Ide itu kedengaran bagus untuk Tiffany. Itu adalah hari pertamanya di Bali, dan dia sudah tidak sendirian lagi. “Menurutku itu ide yang bagus.”

Sunny tersenyum ke arahnya sebelum menatap gadis-gadis yang lain. “Jadi?”

“Yah, aku oke-oke saja dengan itu.” Yoona mengangkat bahu. “Kau, Seo?”

Seohyun menganggukkan kepalanya. “Ya, menurutku itu bagus.”

“Sudah diputuskan, kalau begitu!” kata Sunny gembira.

***

Minggu, 3 Juli, 2011

5.25 KST

Pantai Namos, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Resor itu luas, dan Tiffany baru saja tahu bahwa ada sebuah pantai bernama Pantai Namos di dekatnya. Yang perlu kaulakukan hanyalah naik ke lift putih yang akan menuruni jalan rel baja, dan kau sampai. Di sore hari, setelah berbelanja untuk semua suvenir untuk keluarganya—Heechul gembira sekali setelah Tiffany mengirimkan foto sandal barunya—dan berpisah dengan Yoona, Seohyun, dan Sunny, Tiffany menghabiskan waktunya di pantai.

Tiffany tidak berani bermain di air. Dia tidak ingin tenggelam atau semacamnya. Dia hanya berjalan di pantai, terkadang mengambil kerang sebelum mengembalikannya ke tanah. Dia mengeratkan syal sutra di lehernya. Agak dingin suasananya di sore hari.

Tiffany selesai berjalan berputar-putar seperti orang gila dan duduk di salah satu kursi pantai yang panjang. Setelah memesan minuman, dia bersandar, menikmati pemandangan langit yang berwarna abu-abu terang. Langit itu terlihat seperti lukisan dari bawah sini.

Ketika matahari sudah terbenam dan hanya sedikit orang yang berada di sana, Tiffany meninggalkan pantai. Dia memasuki lift dengan salah satu staf yang selalu berada di sana. Dia kembali ke rumahnya di resor, berbaring di tempat tidurnya yang bertiang empat.

“Berapa lama lagi sampai aku pergi?” Tiffany bergumam kepada dirinya sendiri. Dia ingin kembali bekerja… Dia jarang bersosialisasi sama sekali.

Tiffany pergi untuk mandi sebelum menyadari sesuatu. Dia menyentuh lehernya dengan tiba-tiba.

Di mana syalku?!

Dia memandang tempat tidurnya, yang tidak ada apapun di atasnya kecuali selimut dan beberapa bantal. Tiffany berjalan keluar dari rumah, panik terlihat jelas di wajahnya. Itu bukan hanya sebuah syal—itu adalah syal dari neneknya tersayang. Dan Tiffany tidak ingin kehilangan apapun di sini.

Tiffany pergi ke lift, tapi lift tersebut berada di bawah, di pantai. Dia perlu menunggu lift itu naik ke atas lagi. Tiffany bergumam pelan, ketika dia merasakan seseorang menyentuh bahunya pelan.

“Permisi, Nona?”

Itu adalah suara yang jelas-jelas suara pria, dan Tiffany berputar. Seorang pria tinggi dan berotot berdiri di depannya, memegang sesuatu yang tampaknya merupakan…

“Syalku!” tunjuk Tiffany.

Pria itu terkekeh dan memberikannya ke Tiffany. “Aku melihatmu meninggalkannya di kursi pantaimu tadi. Aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi—untung saja aku menemukanmu.”

Tiffany menerima kembali syalnya, menunjukkan senyum tulus ke pria itu. “Aku tidak bisa cukup berterima kasih padamu untuk ini.”

“Tidak apa-apa,” balas pria itu, memberi Tiffany senyuman lebar.

“Sungguh, adakah sesuatu yang bisa kulakukan untuk membalasmu?” Tiffany berkata, lebih terkesan memaksa.

Pria itu terdiam selama beberapa saat, sebelum tersenyum lagi. “Kau bisa membelikanku secangkir kopi besok.”

Kopi? Tiffany mengharapkan sesuatu seperti mencuci bajunya atau semacamnya. “Baiklah. Starbucks?”

Pria itu menganggukkan kepalanya, senyum masih terpasang di wajahnya. “Kita mungkin perlu memperkenalkan diri kita sendiri dulu.” Dia mengulurkan tangannya. “Choi Siwon.”

Tiffany menjabatnya. “Tiffany Hwang.”

***

Senin, 4 Juli, 2011

9.00 KST

Starbucks Coffee, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Tiffany mulai merasa konyol.

Dia baru saja bertemu seorang pria kemarin. Apa itu baik untuk bertemu seorang asing di hari pertama liburanmu? Tiffany tidak suka bertemu dengan orang asing, tapi dia perlu berterima kasih kepada pria itu.

Tiffany mengetuk meja dengan jemarinya, menatap pemandangan di luar. Hari ini cerah, dan Tiffany ingat “janjinya” pukul satu siang nanti. Menghabiskan waktu dengan teman-temannya.

“Apa aku telat?”

Dia mendongak dan melihat pria itu berdiri di sampingnya. Tiffany berdiri dalam diam, tersenyum. “Tidak. Aku datang terlalu pagi.” Dia melambaikan tangannya, menyuruhnya duduk.

Setelah keduanya duduk dan mendapatkan pesanan mereka, Tiffany menatap pria itu. Siwon. Ya, itu namanya. “Apa yang membuatmu datang ke Bali?” tanyanya dalam bahasa Korea.

Siwon nyaris tersedak. “Kau bisa berbicara dalam bahasa Korea?”

Tiffany menganggukkan kepalanya. Siwon memang berbicara kepada Tiffany dengan bahasa Inggris kemarin. “Kau kelihatan seperti orang Korea.”

“Aku hanya menghabiskan liburan di sini,” jawab Siwon, tersenyum. Tiffany berpikir bahwa tidak melelahkan baginya untuk tersenyum sepanjang hari. “Enak rasanya keluar dari kantor sesekali.”

“Kantor?” Tiffany tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Siwon mengangguk. “Aku direktor eksekutif di perusahaan keluargaku.”

Tiffany mengerutkan bibirnya sambil mengangguk. “Begitu.”

“Kenapa kau di sini?”

“Orangtuaku.”

Siwon mengangkat sebelah alis, menunjukkan bahwa dia tidak mengerti.

Tiffany memandang pemandangan di luar. Entah bagaimana dia menyukainya. Dia tidak pernah melihat pemandangan luar dalam waktu yang lama, karena pekerjaannya. “Mereka ingin aku istirahat dari pekerjaanku.”

“Pasti susah menjadi seorang desainer.”

Tiffany mengamatinya. “Bagaimana kau tahu?”

Siwon terkekeh sambil meminum kopinya. “Kau terkenal, Tiffany-ssi. Ibuku sangat menyukai label fashion-mu. Hwang’s Fashion House, kan?”

Tiffany menganggukkan kepalanya. “Dan kau sendiri? Bidang macam apa tempat kau bekerja?”

“Arsitektur.”

“Ah.” Ekspresi Tiffany berubah cerah. “Keluargaku punya satu. Itu juga perusahaan arsitektur, tapi saudaraku yang mengelolanya.”

Siwon tersenyum. “Begitu,” dia meniru kata-kata Tiffany sebelumnya.

Tiffany tidak bisa menahan tawanya.

“Apa yang kautertawakan?” Senyum Siwon memudar.

“Aku tidak tahu. Kau hanya terlihat…” Tiffany berusaha menemukan kata yang tepat. “Lucu?”

Siwon mengangkat alisnya, sebelum tawanya meledak juga. “Lucu? Ini kali pertama seseorang menyebutku seperti itu.”

Tiffany tersenyum. “Kalau begitu, aku merasa terhormat.”

Dan Tiffany cukup kaget, karena percakapan mereka berjalan cukup baik. Mereka tidak kehabisan topik, dan bagus baginya untuk mengenal seseorang, terpisah dari pegawai baru. Tiffany langsung tahu bahwa Siwon adalah pria yang ramah—dan sangat sopan, pula.

“Oh, sudah hampir jam setengah sebelas!” Siwon memandang jam tangannya. “Kurasa kita telah lupa waktu.”

Tiffany memandangi jam tangan Siwon. Sudah hampir jam setengah sebelas. Lalu dia teringat. “Oh!” Dia buru-buru berdiri, membuat Siwon mendongak ke arahnya, kebingungan.

“Aku harus pergi.” Tiffany segera mengemasi barang-barangnya, meski barang-barangnya tidak begitu banyak. “Aku punya semacam janji dengan teman-temanku.”

Siwon menganggukkan kepalanya. “Begitu. Yah, senang bertemu denganmu, Tiffany-ssi.” Dia berdiri juga. “Dan terima kasih atas kopinya.”

Tiffany tersenyum, menunjukkan eye-smile-nya. “Tidak apa-apa. Aku berhutang padamu.” Dia membungkuk dan pergi, tapi kakinya berhenti ketika Siwon memanggilnya.

“Kita akan berbicara lagi, kan?”

***

Senin, 4 Juli, 2011

10.00 KST

Toko Buku Gramedia, Denpasar, Bali, Indonesia

***

“Di mana, sih?”

Yoona mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan ke rak buku yang lain, kedua tangannya berada di atasnya, mencari-cari sebuah buku bersampul coklat.

Tidak ada di sana.

Yoona cepat-cepat berdiri, menyeret kakinya ke rak buku lain.

Dia sedang mencari sebuah buku. Bukan hanya sebuah buku, tapi sebuah buku yang spesial. Judulnya An Autumn Symphony. Yoona tahu tentang buku ini dari ibunya—buku itu menceritakan tentang cinta, hidup, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Ny. Im sendiri punya buku itu, tapi sudah rusak—banyak halaman sudah sobek, tulisan yang kabur, membuatnya mustahil untuk dibaca.

Yoona melanjutkan mencari sambil berjalan. Matanya terpaku pada sebuah rak buku di sebelah kirinya, tidak melihat apa yang ada di depannya. Hingga…

BRUK.

Semuanya terjadi dengan begitu cepat.

Hal berikutnya yang diketahui Yoona, dia berada di bawah tumpukan buku, kepalanya berputar-putar hingga sakit.

“Oh!” Dia mendengar seorang pria berteriak. Tiba-tiba dia ditarik dari lautan buku itu.

Ternyata yang menariknya adalah seorang pria tinggi, berotot, dengan rambut coklat yang tidak begitu rapi. Dia kelihatan sangat terkejut. “Kau baik-baik saja?” katanya dengan bahasa yang asing.

Yoona mengangkat alisnya. Dia menebak itu pasti bahasa Indonesia. Yoona tidak memahami bahasa itu. “Maaf?” katanya dalam bahasa Korea.

Mata pria itu berubah cerah, tapi berubah lagi menjadi khawatir. “Apa kau baik-baik saja, Nona?” Dia bertanya dalam bahasa Korea kali ini.

Oh. Dia bisa berbicara bahasa Korea. “Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja,” Yoona cepat-cepat menyatakan. Dia benar-benar tidak suka menunjukkan kelemahannya kepada orang lain. Yoona ingin dianggap sebagai wanita yang kuat, bukan wanita yang manja.

“Apa kau yakin?” desak pria itu. “Menurutku buku-buku tadi mengenai kepalamu dengan cukup keras. Aku minta maaf karena telah menyebabkan insiden ini.”

Yoona menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku baik-baik saja, sungguh.”

“Apa kau perlu pergi ke rumah sakit?”

Mata Yoona melebar. “Tidak, tentu saja tidak. Aku bilang, aku baik-baik saja.”

Yoona baru saja akan membungkuk dan berjalan pergi, tapi pria itu memegang tangannya. “Kumohon. Aku masih merasa bersalah tentang apa yang terjadi.”

“Itu bukan salahmu,” kata Yoona, berharap hal itu akan menyelesaikan pembicaraan mereka.

Tapi Yoona bukanlah orang yang punya hati seperti es. Dia tidak bisa berjalan pergi meninggalkan seseorang yang jelas-jelas merasa bersalah.

Setelah beberapa permohonan dari pria asing itu, Yoona mendesah. “Baiklah, kalau begitu. Kau bisa membawaku ke rumah sakit.”

Pria itu tersenyum dan menarik Yoona keluar dari toko buku. Mereka memasuki mobilnya, dan Yoona mulai merasa tidak nyaman. Dia sedang berada di dalam sebuah mobil dengan orang asing. Bagaimana kalau dia seorang penculik atau semacamnya?

Dalam perjalanan, Yoona mengecek jam tangannya. Dia masih harus ke mal untuk pergi janjian dengan teman-temannya. Dia tidak boleh telat. Yoona baru saja ingin bicara, ketika mobil berhenti. Mereka telah sampai.

Keduanya keluar dari mobil—pria itu menawarkan membukakan pintu untuk Yoona, tapi yang disebutkan belakangan menolak—dan Yoona pun diperiksa. Setengah jam kemudian, Yoona melihat pria asing itu lagi, dengan seorang dokter.

“Bagaimana dia?” tanya pria itu.

“Tidak ada masalah. Dia baik-baik saja,” kata dokter itu. “Kau telah melakukan hal yang benar, karena dia tenggelam di tumpukan buku. Tapi dia berada dalam kondisi yang bagus.”

Pria itu berterima kasih kepada dokter tersebut dan membawa Yoona keluar. Yoona menyunggingkan senyum tipis. “Terima kasih, tapi kau seharusnya tidak mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

Pria itu mengangguk. “Tapi aku bukan tipe orang yang bisa mengabaikannya begitu saja.”

“Baiklah, kalau begitu. Terima kasih untuk tumpangannya, dan rumah sakit tadi—aku benar-benar harus pergi.” Yoona berjalan menuruni undakan tangga rumah sakit, tapi lagi-lagi pria itu menghentikannya.

“Bagaimana kalau aku membelikanmu makanan?”

***

Yoona belum pernah datang ke restoran Indonesia ini sebelumnya. Restoran itu mewah, sangat mewah. Pria itu mentraktirnya, masih merasa bersalah. Yoona tahu bahwa berdebat dengannya tidak ada gunanya.

“Jadi, karena kau mentraktirku,” Yoona berbicara setelah mereka memesan makanan, “bukankah aku harus tahu namamu?”

Pria itu tersenyum. Yoona bersumpah bahwa entah bagaimana, dia mengingatkannya akan ikan. “Lee Donghae,” dia menjawab.

Yoona juga terenyum. “Im Yoona.” Dia mengulurkan tangannya, dan keduanya berjabat tangan.

“Kau tidak bisa berbicara bahasa Indonesia?” Donghae bertanya.

Yoona menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku hanya bisa bahasa Korea, Jepang, dan Inggris. Kelihatannya ketiga bahasa itu tidak membantu banyak.”

Donghae terkekeh. “Kau harusnya membawa kamus bahasa Indonesia. Aku berani bertaruh kau tidak tahu apapun tentang apa yang dikatakan dokter tadi.”

Yoona memutar bola matanya. “Kau penejermahku.”

“Kau di sini sendirian, kalau begitu?”

“Tidak. Aku bertemu teman-temanku. Kami janjian jam satu.”

Donghae menganggukkan kepalanya, mengamati tempat itu. “Kurasa aku tidak akan membuatmu tinggal lama di sini.”

Yoona tertawa, meski tidak ada yang bisa ditertawakan.

Setelah makanan mereka tiba, mereka mengenal satu sama lain. Yoona tidak pernah merasa nyaman dengan orang asing—itulah alasan kenapa dia tidak punya banyak teman. Tapi, dengan suatu cara, Lee Donghae membuatnya nyaman.

“Astaga, sudah hampir jam satu!” Yoona melihat jam tangannya. Dia cepat-cepat berdiri, mengambil tas tangannya. “Aku minta maaf, Donghae-ssi, tapi aku harus pergi.”

Donghae mendongak ke arahnya, kaget. “Apa kau perlu tumpangan?”

Yoona menggelengkan kepalanya dan mulai berlari menuju pintu depan. “Terima kasih untuk segalanya, Donghae-ssi! Selamat tinggal!”

***

Senin, 4 Juli, 2011

10.05 KST

Time Zone Game Center, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Sunny memasuki ruangan besar yang mengambil satu lantai untuk ruangan itu sendiri di dalam mal. Tempat itu adalah Time Zone, game center terkenal. Sunny selalu senang bermain games. Memenangkan hadiah dengan mengumpulkan tiket selalu membuatnya bersemangat.

Dia pertama-tama berjalan menuju game DDR—Dance Dance Revolution. Itu adalah game favoritnya, terutama karena dia bisa menari dengan cukup baik. Tapi sayangnya, seseorang telah memainkan game itu sendirian.

Orang itu laki-laki, dengan rambut hitam yang membingkai wajahnya dengan sempurna. Dia sedang memegang bar merah di belakangnya, sementara kakinya “bekerja” di lantai. Hal itu menarik perhatian orang lain, dan Sunny dengan cepat menjadi cemburu. Dia selalu suka menjadi pusat perhatian, dan itu membuatnya kesal bila orang lain juga menjadi pusat perhatian.

Lagu itu berhenti, dan orang-orang berjalan pergi. Sunny sedikit senang tentang ini, dan mendekati pria berambut hitam itu. “Permisi,” katanya.

Pria itu menoleh ke arah Sunny. Apa yang dilihatnya membuatnya terkejut. Tiba-tiba, jantungnya berdegup lebih cepat, tapi Sunny tidak menyadari ekspresi wajahnya.

“Apa kau selesai dengan itu?” Sunny menunjuk ke arah DDR.

Sunny menunggu respon pria itu, tapi kelihatannya dia tidak akan merespon. “Halo? Permisi?”

Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia tersenyum canggung, sebelum berkata, “Bagaimana kalau kau menari bersamaku?”

“Maaf?” Kata itu meluncur dari mulut Sunny.

Pria itu mengangkat bahu. “Aku mencari rival menari. Dan”—matanya mengamati Sunny sesaat—“kau kelihatannya… lumayan.”

Sunny tidak suka melakukan apapun dengan orang asing. Dia bisa saja berbahaya, pikirnya. Tapi bagaimana bisa, dengan wajah pria itu yang lucu dan menggemaskan—dan juga tampan?

“Halo? Nona?”

Sunny kembali ke dunia nyata. “Oh, ya.” Dia menatap Sungmin, menimbang-nimbang sejenak. Dia bisa saja bermain game yang lain, tapi bagaimana kalau mereka bertemu setelahnya? Pasti akan canggung, dan Sunny benci menjadi orang yang canggung.

“Baiklah, sekali saja.”

Sunny berjalan naik, dan tiba-tiba orang asing itu mengulurkan tangannya. “Kurasa kita harus mengenalkan satu sama lain dulu. Aku Lee Sungmin.”

“Lee Sunny.” Sunny menjabat tangannya. “Kita punya nama keluarga yang sama, eh?”

Sungmin tersenyum. “Mungkin itu hanya kebetulan.” Dia berdiri tegak dan mulai menginjak panah-panah di lantai, membuat bunyi yang keras. “Mau lagu yang mana?”

Sunny memilih satu lagu, dan Sungmin mengaturnya menjadi battle untuk dua orang. Ketika lagu dimulai, Sunny tidak memikirkan hal lain kecuali panah-panah yang berkelap-kelip di layar. Kakinya bergerak sesuai irama, dan itu merupakan hal yang gampang untuknya, karena dia adalah penari yang berbakat.

Ketika lagu itu akhirnya berhenti, Sunny mengalahkan Sungmin. Sunny tersenyum bahagia, menatap “teman barunya”, yang kelihatan capek. “Aku menang! Aku minta maaf aku mengalahkanmu saat kita pertama kali bertemu.”

Sungmin mengibaskan tangannya. “Tidak apa-apa, sungguh. Tapi… bagaimana dengan pertandingan ulang?” Dia nyengir.

Sunny menyipitkan matanya, kemudian nyengir balik. “Oke.”

Di babak kedua, Sungmin menang. Sunny ingin pertandingan ulang, dan kali ini Sunny menang lagi. Terus berlanjut, sampai mereka tidak tahu berapa kali mereka telah bermain DDR.

“Menurutku kita harus istirahat.” Sungmin turun dari “panggung” dan menaruh kedua tangan di pinggangnya.

Sunny mengangkat alisnya, dadanya naik-turun. “ ‘Kita’?”

Mata Sungmin dan Sunny bertemu. Tidak ada yang bicara, tapi Sunny mematahkan kontak mata yang tegang itu cepat-cepat.

“Yah, kau sendirian di sini, kan?” Sungmin berkata, berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa.

Sunny mengangguk.

“Kurasa kita bisa… bermain beberapa game bersama? Tidak akan seru kalau kita bermain sendiri-sendiri.”

Sunny tetap diam. Ya, itu tidak akan seru. Lagi pula, apa ruginya? Mungkin dia bisa membuka diri ke si Sungmin ini dan berteman dengannya.

“Baiklah,” balas Sunny. “Game apa lagi?”

Sungmin tersenyum dan meraih tangan Sunny, menariknya turun dari panggung. Mereka memainkan game yang bisa memberikan mereka tiket, dan mulai mengumpulkannya. Mereka menjelajahi lantai itu, dan mengumpulkan lebih dari selusin tiket dalam dua jam, lebih atau kurang.

Sunny, yang memegang semua tiket pink mereka, menjerit bersemangat. “Ini bagus! Kita bisa membaginya menjadi dua dan—”

“Jadi dua?” potong Sungmin. “Kurasa kita bisa memberikan semuanya ke salah satu staf. Mungkin kita akan dapat hadiah yang bisa kita bagi.”

Sunny setuju dan keduanya berjalan ke konter. Tiket mereka cukup untuk mendapatkan sebuah boneka teddy bear raksasa yang berwarna putih dan halus.

“Oh, lihat!” Sunny menunjuk ke arah boneka seperti anak kecil. “Sangat lucu!”

Seorang staf pria memberikan Sunny boneka itu, dan dia memeluknya erat-erat. Sisi kekanak-kanakannya sedang muncul lagi. Dia membenamkan wajahnya di bulu boneka yang lembut. Aromanya seperti permen lolipop.

“Terima kasih,” Sungmin berkata kepada staf itu dan menyeret Sunny menjauh dari konter, yang masih tersenyum dan memeluk boneka itu. “Kau kelihatan seperti seorang anak kecil, jujur saja, Sunny-ssi.” Sungmin terkekeh.

Sunny cemberut, menunjukkan aegyo padanya. “Aku hanya menyukai boneka.” Mereka melanjutkan berjalan keluar dari game center, hingga Sunny berhenti. “Tunggu. Kita tidak bisa memotong Lee menjadi dua.”

Sungmin menoleh ke arahnya. “Lee siapa?”

Sunny cemberut lagi dan setengah menggoyangkan tubuhnya, mengangguk ke arah teddy bear putih di pelukannya. “Aku menamainya,” jelasnya, sebelum Sungmin bisa bicara. “Karena nama keluarga kita sama. Aku ingin menamainya Lolipop, tapi dia kelihatannya laki-laki.”

Sungmin menahan godaan untuk memutar bola matanya. Lee Sunny sungguh berbeda dari cewek-cewek yang pernah ditemuinya sebelumnya. “Kurasa boneka ini tidak punya jenis kelamin.”

Sunny mengangkat bahu. “Pilih satu, kalau begitu.” Dia berputar ke arah Sungmin. “Apa kita perlu membaginya? Aku akan memegang sisi kanan bonekanya—”

Sungmin segera menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak! Jangan bagi dia. Itu untukmu,” katanya, tersenyum tulus.

“Kenapa?”

“Aku tidak suka putih. Aku suka pink.”

Wajah Sunny berubah kosong. Jarang bagi laki-laki untuk menyukai warna pink, tapi biarlah. “Aku masih merasa kita harus membaginya jadi dua.”

Sungmin tertawa dan mengibaskan tangannya. “Tak apa-apa. Aku baik-baik saja. Senang bertemu denganmu, Sunny-ssi.” Dia membungkuk, dan Sunny balik membungkuk. Ketika dia berdiri tegak lagi, dia teringat sesuatu.

“Oh, aku harus pergi!” Dia buru-buru berlari ke arah lift, meninggalkan Sungmin yang kebingungan sendirian.

***

Senin, 4 Juli, 2011

11.00 KST

Perpustakaan Kota, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Perpustakaan itu tenang, seperti perpustakaan-perpustakaan lainnya. Tidak ramai, dan atmosfernya sunyi. Seohyun adalah salah satu orang yang senang membaca di sana.

Seohyun tersenyum dan menutup buku yang baru saja selesai dibacanya. Itu adalah buku tentang sejarah dunia. Dia mengambil jurusan Sastra dan Sejarah saat kuliah, dan Seohyun sangat tertarik dengan keduanya.

Dia berdiri, menaruh buku kembali di raknya, dan mulai mencari buku yang lain. Janjinya dengan teman-temannya masih dua jam lagi. Seohyun tidak tahu apa yang harus dilakukannya hingga pukul satu, jadi dia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan—dan itu adalah keputusan yang bagus.

Sebagian buku di sini berbahasa Indonesia, tapi itu bukan kesulitan untuk Seohyun. Dia menguasai bahasa Indonesia karena dia mempelajarinya di Australia.

Lalu, ada sebuah buku bersampul kulit coklat, huruf-huruf emas terembos di permukaannya. Judulnya tentang sebuah buku sejarah lainnya, dan Seohyun menariknya dari rak secepatnya. Tapi, yang membuatnya kaget, adalah buku itu tertarik kembali ke raknya, tidak memperbolehkan Seohyun menariknya keluar.

“Apa?” Seohyun tersentak, tangannya masih di buku itu. Dia menariknya lagi, dan hal yang sama terjadi.

Buku itu tetap menarik dirinya sendiri ke dalam rak, dan Seohyun mulai merasa kesal. Dia cemberut, tapi dia menarik buku itu lagi.

Dan kali ini, muncul sebuah cela di antara buku-buku, menunjukkan sepasang mata pria.

Jantung Seohyun melompat dan dia tersentak. Kalau bukan untuk kursi di belakangnya, dia pasti jatuh ke lantai. Ketika jantungnya stabil lagi, seorang pria sudah berdiri di sampingnya. Seohyun mengenali matanya. Itu pasti pria yang telah melihatnya lewat cela tadi.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya.

Seohyun mengedipkan matanya. “Y-Ya, aku baik-baik saja.”

Matanya menangkap buku itu, yang berada di lantai. Dia pasti tidak sadar buku itu jatuh ke lantai. Dia ingin mengambilnya, tapi pria itu jauh lebih dulu daripadanya.

“Maafkan aku, aku yang menarik buku ini dari sisi sebaliknya.” Pria itu meminta maaf.

Seohyun tersenyum. “Tidak apa-apa. Kau bisa membacanya duluan.”

Di luar dugaannya, pria itu cemberut. “Kita bisa membacanya bersama-sama. Tak akan adil kalau tidak.”

Seohyun menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, sungguh.”

“Aku bersikeras.” Pria itu tersenyum dan menarik kursi. Dia duduk, memberi Seohyun isyarat bahwa dia sebaiknya duduk di sebelahnya.

Seohyun merasa tidak nyaman—dia biasanya menghindari berkontak dengan orang asing dengan cara apapun—tapi apa yang bisa dilakukannya? Kabur dari perpustakaan?

“Tidak apa-apa, aku tidak menggigit atau semacamnya,” pria itu terkekeh.

Masih ragu, Seohyun duduk di sebelah pria itu. Pria itu membuka buku dan menaruhnya di atas meja. Dia mulai membaca, dan Seohyun juga. Setelah beberapa saat, Seohyun akhirnya mengabaikan jarak mereka dan membaca buku itu dengan nyaman.

“Siapa namamu?” Dia mendengar pria itu bertanya.

Seohyun menatapnya. Pria itu hanya tersenyum. “Aku hanya berpikir ini sedikit tidak nyaman, karena aku tidak tahu namamu.”

“Seohyun,” Seohyun berbicara. “Joo Seohyun.” Tanpa berpikir, dia mengulurkan tangannya.

Pria itu menjabatnya. “Cho Kyuhyun. Senang bertemu denganmu, Seohyun-ssi.”

“Senang bertemu denganmu juga.”

Mereka berhenti berbicara, dan pembicaraan mereka hanya, “Siap untuk pergi ke halaman selanjutnya?”, “Ya, silahkan”, dan “Sebentar, aku belum selesai”.

“Jadi, kenapa kau datang ke sini?” Kyuhyun tiba-tiba berkata.

Seohyun memandangnya, tapi Kyuhyun tidak memandang balik. “Aku hanya sedang berlibur.”

Kyuhyun mengangguk, membalik halaman. “Kau kelihatan muda, harus kukatakan.”

Seohyun tersenyum. “Aku sering mendapatkannya. Aku dua puluh dua tahun.” Seohyun tidak tahu kenapa dia baru saja memberitahunya usianya, tapi si Kyuhyun ini kelihatannya bisa dipercaya.

“Kau dua tahun lebih muda dariku,” Kyuhyun terkekeh. “Aku yang tua.”

Seohyun menggelengkan kepalanya. “Sebenarnya, kau kelihatan muda. Kau punya semacam wajah yang lucu.”

Mata Kyuhyun bertemu dengan mata Seohyun. Mereka saling menatap untuk beberapa saat, sebelum Kyuhyun akhirnya berbicara. “Wajah yang lucu? Itu kali pertama aku dipanggil ‘wajah yang lucu’.”

Seohyun terkikik. “Aku merasa terhormat.”

Mereka melanjutkan membaca, tapi Kyuhyun membuka mulutnya lagi. “Kau pasti sudah lulus kuliah.”

“Ya, aku sudah,” Seohyun mengiyakan. “Musim semi ini.”

Kyuhyun tersenyum. Entah bagaimana, Seohyun merasa terkesan telah melihat senyum indah itu. “Selamat.”

“Terima kasih.” Seohyun setengah membungkukkan kepalanya. “Bagaimana denganmu?”

“Aku?” Kyuhyun menunjuk ke dirinya sendiri. “Aku juga baru saja lulus. Harvard.”

Bibir Seohyun membentuk huruf O. “Itu luar biasa. Harvard adalah universitas yang sangat bergengsi.”

“Jurusan apa yang kau ambil?”

“Sastra dan Sejarah.”

“Aku mengambil medis.”

“Jadi, kau akan menjadi seorang dokter?”

“Semacam itu. Apa kau menulis buku? Kau mengambil sastra.”

Seohyun merasakan panas merayap ke pipinya. Selalu seperti ini bila orang-orang menanyakannya pertanyaan itu. “Ya. Hanya satu, sebenarnya. Aku mengerjakannya sejak dua tahun lalu. Untung publik menyukainya.”

Kyuhyun menatap Seohyun dengan penuh kekaguman. “Kau pasti terkenal!”

Mereka berbicara dalam waktu yang sangat lama, hingga Seohyun mengecek jam tangannya. Jam satu kurang empat puluh lima menit. “Oh, astaga, aku telat!” Dia berdiri dan mengambil barang-barangnya.

“Telat?” ulang Kyuhyun, bingung.

Seohyun mengangguk. “Aku punya janji dengan senior-seniorku.” Dia memakai jaketnya dan menyelempangkan tasnya di bahunya. “Sangat senang bertemu denganmu, Kyuhyun-ssi. Aku harap kita bisa bertemu lain waktu.”

Kyuhyun mengangguk, meski wajahnya dipenuhi ekspresi kecewa. “Sangat senang bisa bertemu dengan gadis mengagumkan sepertimu juga, Seohyun-ssi.”

Wajah Seohyun nyaris berubah warna menjadi merah seperti tomat, tapi dia segera keluar dari perpustakaan. “Selamat tinggal!”

***

Senin, 4 Juli, 2011

13.05 KST

Pizza Hut, Denpasar, Bali, Indonesia

***

Mereka sudah berada di dalam, duduk mengitari meja kayu bundar di dalam restoran Italia. Semuanya menatap Sunny, yang membawa boneka besar dengannya.

“Apa gunanya itu dibawa?” tunjuk Yoona.

Sunny memandang Lee dan tersenyum. “Aku memenangkannya.”

“Kukira game center buka jam sepuluh,” gumam Tiffany. “Kau pasti cukup cepat dalam mengumpulkan tiket.”

Sunny mengangkat bahu. “Aku bertemu seorang pria yang membantuku memenangkan ini.”

Ketiga orang lainnya langsung memfokuskan diri mereka ke Sunny. Sunny menatap balik. “Apa? Itu hanya seorang cowok, ya ampun. Bukan berarti kita berkencan atau apa. Kami bermain DDR dan lainnya, tidak ada yang istimewa.”

Yoona menganggukkan kepalanya, menyeringai. “Yeah. Tidak ada yang istimewa.”

Sunny menyipitkan matanya ke arah Yoona. “Yoona-ah, ada apa di dalam pikiranmu?”

Yoona menggelengkan kepalanya secara defensif. “Tidak ada, Sunny-ah.”

“Kenapa kita tidak memesan makanan?” timpal Seohyun.

Setelah si pelayan mengambil pesanan mereka dan pergi meninggalkan meja, Tiffany menghela napas. “Aku punya sesuatu untuk dibicarakan. Aku baru saja bertemu dengan seorang cowok hari ini. Yah, kami punya janji, sebenarnya. Aku membelikannya kopi.”

Yoona, Seohyun, dan Sunny kelihatan kagum. Tiffany sangat pemilih soal cowok. “Apa?” tanya Tiffany, menatap mereka semua. “Dia sangat baik.”

Seohyun tersenyum. “Itu bagus, unnie. Aku juga bertemu seorang cowok hari ini di perpustakaan. Dia dari Harvard. Dia mungkin sangat berbakat.”

“Kita semua bertemu cowok,” kata Sunny. “Dan bagaimana dengan Yoona kita?”

Semuanya secara otomatis berpaling ke arah Yoona. Yoona terbelalak dan menggigit bibirnya. “Apa? Aku, yah, aku juga bertemu cowok.”

Tiffany kelihatan tidak percaya. “Kita semua? Di hari yang sama?”

“Bagaimana kalau ini seperti di film-film?” bisik Sunny. “Kita berempat bertemu cowok yang sama.”

Seohyun menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak. Perbedaan waktunya. Aku sedang berada di perpustakaan dan pergi lima belas menit sebelum jam satu, ketika Sunny unnie pergi lima menit kemudian. Dia tidak bisa berada di empat tempat secara bersamaan.”

“Aku penasaran apakah aku akan bertemu dengannya lagi,” kata Yoona berangan-angan. “Dia sangat baik, kalian tahu.”

“Dan tampan,” tambah Tiffany.

“Dia tidak tampan, dia menggemaskan,” balas Sunny.

“Kurasa dia sama-sama tampan dan menggemaskan,” Seohyun berbicara.

Keempatnya berhenti berbicara, hanya bertukar senyum, pikiran mereka dipenuhi oleh pria yang telah mereka temui.

***

Senin, 4 Juli, 2011

14.15 KST

Resor Karma Kandara Ungasan, Denpasar, Bali, Indonesia

***

“Tiga puluh empat… tiga puluh lima… tiga puluh enam…”

Siwon melanjutkan kegiatan push-up-nya di lantai, ketika dia mendengar bel berbunyi.

Dalam beberapa detik, Siwon sudah berdiri, alisnya berkerut. Siapa yang datang? Tiffany hanya satu-satunya yang dikenal Siwon di tempat ini, kecuali…

Dia membuka pintu, menunjukkan tiga orang yang sudah diduganya.

“Hyung!” Kyuhyun tersenyum lebar dan memeluk Siwon. “Bagaimana keadaanmu?”

Siwon terkekeh. “Baik, seperti biasa. Silahkan masuk.”

Dia menyingkir, membiarkan Kyuhyun, Donghae, dan Sungmin berjalan masuk. Ketiga tamu itu melihat sekeliling, mengagumi rumah bergaya minimalis itu. “Hotel tempat aku menginap tidak begitu bagus,” gumam Donghae. “Kurasa aku harus pindah ke sini.”

“Dan check out beberapa minggu kemudian?” Sungmin mendengus. “Itu hanya membuang-buang uang, Donghae-ah.”

Siwon meraih handuk dan mengusap wajahnya dengan benda itu. “Jadi, apa yang membuat kalian datang kemari?” Donghae, Kyuhyun, dan Sungmin adalah teman-teman Siwon dari SMA-nya. Mereka berempat dekat, dan masih saling kontak sampai sekarang.

“Kami hanya berkunjung, hyung,” jelas Kyuhyun, duduk di atas bangku di sebelah Siwon. “Kami dengar kau juga menginap di sini.”

Siwon menganggukkan kepalanya. “Kukira kau orang lain.”

Donghae memandang Siwon, curiga. “Orang lain? Siapa? Kau bertemu seseorang di sini?”

Siwon menganggukkan kepalanya. “Yeah. Seorang cewek. Dia sangat baik. Dan cantik. Dan baik.”

Donghae dan Kyuhyun bertukar pandang, kemudian keduanya kembali menatap Siwon.

“Benarkah?” gumam Sungmin dari seberang ruangan. “Aku juga bertemu cewek.”

“Mwo?” Donghae berputar. “Sungmin-ah, benarkah? Siapa?”

Sungmin tertawa. “Aku tidak akan memberitahumu. Tapi dia sangat menggemaskan dan manis.”

“Hyung suka seseorang,” goda Kyuhyun.

Siwon pura-pura menonjok bahu Kyuhyun. “Bagaimana denganmu? Kau lebih muda daripada kami bertiga—seharusnya kau sudah bertemu cewek.”

Kyuhyun mengangguk. “Sudah. Di perpustakaan.”

Donghae menatap Kyuhyun. “Ah, jadi sekarang kau yang suka seseorang?”

Mulut Kyuhyun terbuka lebar. “Aniyo! Aku, maksudku—dia sangat cantik, tapi—”

Ketiganya tertawa. Donghae tersenyum dan menatap teman-temannya. “Aku juga bertemu cewek. Aneh. Kita bertemu cewek di hari yang sama.”

“Bagaimana dia, Hae?” tanya Siwon.

“Cantik, tinggi, dan kurus,” Donghae mendeskripsikan. “Aku mentraktirnya makan.”

“Kau pasti suka dia,” Sungmin berbicara. “Kalian berdua mengenal satu sama lain lewat acara makan.”

Donghae mengangkat bahu. “Yah, dia memang mirip tipe idealku.”

“Dia punya kening yang bagus?” balas Kyuhyun polos.

Donghae menyipitkan matanya ke arah Kyuhyun.

“Kau menyukainya, Wonnie?” tanya Sungmin, setengah berteriak.

Siwon menatap Sungmin. “Aku tidak tahu. Tapi kami cukup akrab.”

Kyuhyun mengangkat bahu. “Katanya, cinta sejati tidak akan pergi ke mana-mana.”

Donghae memutar bola matanya. “Yah, dia tidak bisa jadi cinta sejatiku.” Dia memukul Kyuhyun, yang buru-buru menghindar ke samping.

“Yah, kita tidak tahu itu,” gumam Sungmin.

Siwon ikut mengangkat bahu. “Siapa yang tahu?”

***

Author’s Note: Chapter pertama! Udah bisa nebak couple-nya, kan? Author sekalian nge-update 2 chapter, biar sama kayak yang di AsianFanFics. ^^

Three Little Words (Teaser)

Three Little Words

THREE LITTLE WORDS (TEASER)

Casts:

  • Siwon
  • Donghae
  • Kyuhyun
  • Sungmin
  • Tiffany
  • Yoona
  • Seohyun
  • Sunny

Author: Park Ye Lin/ tatabrigita

***

Ketika kau jatuh cinta, rasanya indah.

Ketika kau melihat orang yang kaucintai bahagia, kau juga ikut bahagia.

Tapi bagaimana kalau kalian berdua berpisah?

Satu tahun berlalu…

Dan semuanya tidak seperti sebelumnya?

***

[A/N]: Annyeonghaseyo! Author balik lagi dengan teaser! Mian lama ngilang .__.v Sebenernya author udah nge-post FF ini di AsianFanFics, tapi pake bahasa Inggris. Jadi ditunggu ya, FF-nya! Kamsahamnida! ^^

First Meeting [Part 1]

Poster FF First Meeting

Author            : @andinarima [http://andinarima.wordpress.com]

Title                : First Meeting

Genre             : Romance, drama, family

Main Cast      :           – Jessica Jung Girls’ Generation

– Kris Wu EXO

– Lee Donghae Super Junior

– Tiffany Hwang Girls’ Generation

Support Cast :           – SMTOWN Family

Rating             : PG+17

Length            : Chapter – Ongoing

Disclaimer      : Di hari special ini aku mau posting FF yang mungkin udah kalian tunggu-tunggu dari pertama kali aku publish teasernya. Maaf ya pendek, soalnya aku mau tahu dulu respon kalian seperti apa, hehehe. Pliss banget kritik dan saran yang membangun sangat aku harapkan. FF and Poster IS MINE!!!

Inspired by Novel karya Kim Eun Jeong – My Boyfriend’s Wedding Dress

Teaser

### Baca lebih lanjut

My Destiny

Judul : My Destiny

Author : Choi Yoo Rin

Cast : Tiffany Hwang, Choi Siwon, Choi Sooyoung

Length : oneshoot

Rating : general

Genre : romance

 

Disclaimer : Author Cuma minjem nama para tokoh, selebihnya karya author, milik author sendiri. Jika ada kesamaan judul maupun jalan cerita itu hanya kebetulan semata karena ini MURNI IDE SAYA.

 
Baca lebih lanjut